Satu
Tabrakan yang sangat keras
membuat orang-orang di sekitar yang berada di daerah itu langsung bergegas
menyelamatkan semua penumpang yang mengendarain mobil sedan berwarna hitam. Di
dalam mobil sedan itu terdapat 5 pria termasuk sopir dan salah satu penumpang
di borgol dengan mengenakan pakaian pidana.
Beberapa saat kemudian mobil
polisi dan beberapa ambulan memenuhin lokasi kecelakaan. Para medis segera
memeriksa korban semua korban kecelakaan terutama penumpang yang memakai
borgol. Polisi segera mengamatkan tempat kejadian dan sebagiannya lagi
menertipkan lalu lintas yang hampir mancet karena masyarakat yang melintas
penasaran melihat kecelakaan tersebut. Dugaan sementara dalam kecelakaan ini di
segaja oleh pihak yang menginginkan pria yang diborgol itu tewas dalam
kecelakaan untuk menghilangkan saksi mata.
“Bagaimana?” Tanya Acton yang
baru tiba di lokasi dan langsung bertanya pada Robby bawahannya.
“Dia koma Komadan,” jawab
Robby memberitahukan keadaan pria yang di borgol.
“Brensek!!!” marah Acton.
***
Beberapa hari kemudian,
“Acton…Acton…!!!” teriakan keras menuju ruangan kerja Acton yang berada di paling pojok ruangan.
Acton keluar dari ruangannya,
“ada apa?”.
“Robet… Robet…” Gita yang
gos-gosan karena kelelahan berlari dari lantai satu ke lantai tiga setelah
mendapatrkan kabar dari rumah sakit.
“Ada apa?” Tanya Acton lagi.
“Robet sadar”.
“Benarkah??”.
“Ya”.
Tanpa pikir panjang
Acton berserta beberapa anak buahnya
bergegas ke rumah sakit.
Setiba di rumah sakit Acton
langsung keruang rawat dan langsung bertanya pada dokter yang keluar dari ruang
rawat, “bagaimana keadaannya Dok?”.
“Maaf, kami sudah berusaha,”
jawab Dokter.
“Aaahhh…!!” kesal Acton
menujukkan kekesalannya.
Beberapa saat kemudian Saidun
atasan mereka keluar dari ruang rawat berserta beberapa bawahannya, “sabar…”
sambil menepuk bahu Acton dengan pelat.
Acton tidak menujukkan respon
apa-apa, dia berusaha untuk tenang.
***
Joni mendatangin sebuah rumah
berlantai dua dengan halaman yang cukup luas. Ada beberapa penjaga menjaga
rumah tersebut. Salah satu penjaga itu mengantar Joni menemuin pemilik rumah
yang sudah menunggu kedatangannya sejak tadi. “Pak Joni sudah datang Presdir,”
kata penjaga pada Surya yang sedang menikmatin secangkir kopi di teras samping
rumah.
Surya menolek, “duduklah,”
perintahnya pada Joni.
Joni duduk.
“Kau tahu kan Robet sudah
tewas?”.
“Ya”.
“Aku ingin kau segera
menemukan dokumen itu!”.
Joni diam.
“Jika kau tidak mendapatkannya,
aku tidak bisa menjamin keselamatan putri angkatmu!” acam Surya.
“Tapi Presdir…”.
“Aku tidak penduli ada
hubungan apa antara putri angkatmu dengan putraku!! Aku ingin kau segera dapatkan dokumen itu!”.
“Baik,” Joni yang mengetahuin
sifat Surya yang tidak pernah main-main dengan acamannya.
***
“Sekarang bagaimana?” tanya
Gita pada Acton yang terlihat murung di meja kerjanya.
“Jangan tanya!” jawab Acton
yang sangat stress untuk mengungkap kasus yang sudah 2 tahun di taganinnya itu.
“Apa kau akan diam?!”.
Acton menatap Gita, “bisakah
kau diam!!?”.
Di waktu yang sama terdengar
suara langkah menuju ruangan. Acton melihat siapa yang masuk keruangannya.
Ketika mengetahuin siapa yang datang, Acton
langsung berdiri dan langsung memberi horman.
“Jangan terlalu pormal,” kata
Saidun atasan Acton, “kau akan dibantu seseorang dari Agen Kepolisian Polda
Bandung,” sambil meletakkan beberapa file di atas meja.
“Aku…”.
Saidun langsung memotong
perkataan Acton, “dia sudah lebih duluan menyelidikin kasus ini. Dan aku harap
kalian bisa bekerja sama dengan baik,” yang tidak ingin mendengar penolakkan
Acton.
“Tapi Jedral…”.
“Dia akan menyelidikin di
lapangan”.
“Maksud Jedral, aku harus menunggu!!” kecewa Acton
atas keputusan atasannya.
“Jangan bertindak
macam-macam!! Komisaris sangat kecewa karena tewasnya Robet” Saidun memberikan
pengertian pada Acton.
Acton diam.
“Namanya Kim. Dia Agen terbaik
diantara yang lain. Sudah beberapa kasus diselesainkannya”.
Acton tetap diam.
“Semua data-datanya ada dalam
file. Aku harap kalian bisa bekerja sama dengan baik!” Saidun memberi semangat
sambil berjalan keluar, “ohhh iya…” menghentinkan langkahnya, “foto dan alamat
segaja tidak aku berikan. Ini untuk kerahasiaan indetitasnya. Selama bertugas,”
lalu melajutin jalannya keluar dari ruangan.
Gita memadang Acton yang
tampak jelas kekesalan dari ekpresi wajahnya, “kau tidak apa-apa?” tanyanya.
Acton mengambil file di atas
meja, “aku mau pulang,” lalu pergi.
Gita segaja tidak mengejar
Acton. Dia tahu saat ini Acton butuh sendiri.
***
“Tok…tok…tok…tok…!!!”
terdengar suara ketukkan pintu yang sangat keras dari luar. Seorang pria yang
umurnya sekitar 55 tahun langsung membukakan pintu. Lalu tersenyum melihat tamu
yang sudah lama ditunggu kedatangannya, “masuklah…” lalu duduk di sofa.
“Aku pikir kau akan datang di
acara wisudaku,” kata Kim sambil duduk.
“Kau bukan putraku, untuk apa
aku harus datang,” kata Hendro dengan nada cetus.
Kim hanya tersenyum
menanggapin sikaf dingin yang ditunjukkan Hendro padanya.
“Aku harap rencanamu
berhasil”.
“Ya,” Kim melihat foto pria
seumurannya terpanjang di dinding.
“Sudah dua setengah tahun
Putra tiada,” menujukkan kesedihan di wajahnya.
Kim merasakan kesedihan yang
menyelimutin pria yang sudah berumur setengah abab itu.
***
“Apa tidak terlalu aneh
Ayahmu menyuruhmu untuk berlibur?” tanya Deana pada sahabatnya yang sedang
menikmatin makan siangnya di lestoran hotel.
“Aku tidak penduli. Ini
kesempatanku untuk menemuin Kak Potter,” jawab Via yang tidak ingin
menyia-yiakan kesepatan.
“Kau serius ingin mengatakannya”.
“Iya”.
“Kau ini!” kesal Deana
melihat sikaf Via yang cuek.
“Untuk apa aku mempertahankan
Kak Potter yang faktanya aku tidak mencintainnya”.
“Kau ini!”.
Hp Via tiba-tiba berdering.
Via melihat nomor yang menghubunginnya itu nomor yang tidak tercantum dalam
kontak hpnya.
“Dari siapa?” tanya Deana
pada Via yang terlihat bingung.
“Gak tahu,” karena penasaran
Via pun mengangkat telpon tersebut, “halo…” lalu mendengarkan apa yang
dikatakan si penelpon padanya. Beberapa saat kemudian Via menutup telpon.
“Dari siapa?” tanya Deana
pada sahabatnya setelah menerima telpon.
“Dari rumah sakit,” dengan
menujukkan wajah sedihnya, “aku diterima jadi perawan,” kata Via yang
sekali-kali memakan salad pesanannya.
“Bagus dong…”.
“Aaahhh…” kesal Via yang
tidak ingin pusing karena pekerjaan.
“Sampai kapan kau seperti
ini! Apa kau akan trus tergantung dengan Ayahmu!”.
“Deana!!” kesal Via mendengar
perkataan Deana padanya.
“Faktanya gitu kan!!”.
“Aaahhh…!!!”. Karena kesalnya
Via tidak menyadarin suaranya menganggu pengujung lestoran yang juga sedang
menikmatin makan siang mereka.
“Diam…!” Deana yang malu
semua orang melihat kearah mereka berdua.
Di antara orang-orang yang
melihat kearah mereka berdua, Kim termasuk di antara mereka. Kim yang duduk didekat
kaca bersama Arnila hanya menahan senyum melihat sikaf manja yang ditunjukkan
Via dari kejauhan.
“Aku tidak menyukainnya,”
ucap Arnila.
Kim menatap Arnila dengan
tatapan penuh tanda tanya.
“Jangan menatapku seperti
itu,” katanya yang tidak ingin Potter tahu perasaannya saat ini, “Kau nyakin
bisa menyelesaikan kasus ini?” tanyanya membuka topik baru.
Kim tidak terpancing dengan
topik baru Arnila tanyakan, “kau mulai
ada perasaan dengan pria itu?”.
Arnila cukup lama menjawab,
“tidak”.
Kim tahu Arnila berbohong,
“aku tidak memintahmu untuk tidak
mencintainya. Tapi kau harus tahu, mereka sudah di jodohkan,” yang tidak ingin
sahabatnya itu terlalu berharap.
“Aku tahu”.
“Bekerjalah dengan baik”.
“Ya”.
***
Didalam rumahnya, Acton
memperhatikan file yang di bawaknya dari kantor polisi. Satu persatu file
dilihatnya, “namanya Kim Jun Litton, asal dari Amerika. Dan sudah 6 tahun
menjadi agen rahasia di Polda Bandung,” lalu melihat data-data Kim yang lainnya,
“kasus pembunuhan, nakoba, penyuludupan sejata, barang mesium hahaha…” Acton
terlihat cukup kagum melihat kinerja pria yang akan bekerja sama dengannya itu.
***
“Kau mau kemana?” tanya Deana
melihat Via yang bersiap-siap untuk pergi.
“Aku mau menemuin Kak
Potter,” jawab Via.
“Memang kau sudah dapat
alamatnya?”.
“Kau pikir aku datang ke Bali
dengan kosong,” Via menyobongkan dirinya sendiri.
“Terserah kau saja,” lalu
kembali tidur.
Dengan gaya wanita modern,
Via berjalan keluar dari hotel.
***
Kedatangan Acton di sambut
oleh Gita, “bagaimana?” Gita yang penasaran keputusan yang akan diambil Acton.
Akton tidak memperdulikan
sikaf penasaran yang ditunjukkan Gita padanya, dia terus masuk ke ruangannya.
Gita mengikutin Acton sampai
keruangan, “bagaimana?”.
Acton menatap Gita, “apa kau
tidak ada kerjaan lain selain mencampurin urusan orang lain!!”.
Gita menujukkan wajah
cemberutnya.
“Segera ke rumah sakit, ambil
laporan kematian Robet!” perintah Acton yang tidak penduli dengan ekpresi yang
ditunjukkan Gita padanya.
“Eeeehhh!!” kesal Gita lalu
keluar dari ruangan dan segera mengerjakan tugas yang diperintahkan Acton
padanya.
Acton menatap hpnya yang
diletakkan diatas meja, “apa rencanamu sebenarnya???” seperti sedang menunggu
seseorang menelponnya.
***
“Ini untuk Dokter,” Arnila
memberikan secangkir kopi pada Potter yang sedang menikmatin suasana pantai
dari kejauhan.
“Trimah kasih,” Potter
mengambil kopi tersebut.
“Disini pemadangannya sangat
indah”.
“Ya. Lusa aku akan kembali ke
Jakarta”.
Arnila tersenyum, “aku tahu.
Dokter hanya sebulan di klinik ini. Dan akan datang lagi dokter-dokter yang
akan menggantikan Dokter. Andai bisa memilih… apa Dokter akan tinggal di Bali
selamanya?”.
Potter hanya tersenyum
menanggapin perkataan Arnila, “Rumah sakit pusat membutuhkanku”.
“Aku tahu. Aku hanya
bercanda”.
“Tapi aku dengar ada tawaran
dari pusat untukmu? Kenapa kau tidak menerimahnya?”.
“Apa Dokter berharap aku
menerima tawaran itu?” tanya Arnila yang diam-diam menyimpan perasaan pada
Potter.
“Ya”.
“Baiklah. Aku akan memikirkannya
lagi”.
“Aku tunggu”. Ketika mau
membalikkan tubuhnya, betapa terkejutnya Potter melihat Via dihadapannya,
“Via…”.
Via menujukkan wajah
cemberut, “tenyata Kakak disini sekalian pacaran yach…?”.
Potter ingin menjelaskan pada
Via, “kau salah paham”.
“Aku tidak penduli dengan
penjelasan Kakak! Setidaknya ini alasan untuk membatalkan perjodohan kita”.
“Via!”.
“Untungnya sampai saat ini
aku belum jatuh cinta pada Kakak!” lalu pergi dari tempat itu.
Arnila langsung menahan
Potter yang akan mengejar Via, “dia lagi emosi Dok”.
Potter menghentikan niatnya
untuk mengejar Via.
***
Via masuk ke salah satu cave
yang tak jauh dari hotel tempat dirinya menginap, “beraninya dia bermain di
belakangku!! Dia pikir aku wanita seperti apa?!” ngomel Via, “apa dia pikir aku
sudah jatuh cinta padanya! Hahhh… kalau caranya seperti ini, seribu kali aku
mikir mau menjadi istrinya!”. Via baru menyadarin ternyata dari tadi dirinya di
perhatikan oleh orang-orang yang berada di dalam cave. Via sangat malu.
Ditambah pria yang duduk di meja didepannya tersenyum padanya itu membuat Via
tambah malu. Karena tidak bisa menutupin rasa malunya lagi Via pun memutuskan
pergi dari cave dan langsung kembali ke hotel.
Setiba di hotel, Via melihat
Potter berdiri di lobi hotel menunggu kedatangannya, “kau sedang apa disini?!”
cetus Via.
“Kau salah paham,” Potter
yang masih mencoba menjelaskan pada Via.
“Kau tidak perluh menjelaskan
apa-apa. Kita tidak ada hubungan apa-apa,” lalu berjalan masuk ke hotel.
Namun Potter langsung
memengang tangan Via untuk menahannya masuk, “Via…”.
Dengan kasarnya Via
melepaskan tangannya, “jangan sentuh aku!!”. Via melihat pria yang tersenyum
padanya sewaktu di cave akan melewatin mereka berdua. Via langsung membuat
rencana, “sayang…” langsung mengandeng tangan pria itu yang tenyata Kim.
Dibandingkan Kim, Potter yang
paling terkejut dengan kata-kata Via, “sayang??”.
“Aku mohon, bantu aku,” bisik
Via pada Kim.
Kim baru mengerti apa yang
direncanakan Via. Dia hanya tersenyum.
“Aku ke Bali hanya ingin
memperkenalkan pada Kakak pria yang aku cintain. Dan aku ingin Kakak
membatalkan rencana perjodohan itu,” harapan Via.
Potter menatap tajam kearah
Kim yang tersenyum padanya. Kim mejulurkan tangannya, “Kim…”.
Potter tidak membalas apa
yang dilakukan Kim, “permisih!!” dengan kesalnya Potter meninggalkan hotel.
“Hahhh… akhirnya berakhir
juga,” kata Via yang puas.
“Sepertinya rencanamu
berhasil,” kata Kim.
“Ya,” yang masih mengandeng
Kim. Via memadang Kim, dan baru menyadarin dirinya masih mengandeng pria yang
baru dikenalnya itu, “maaf… aku lupa”.
Kim hanya tersenyum.
“Trimah kasih yach…”.
“Ya”.
“Dahh…” lalu masuk ke dalam
hotel yang sekali-kali menolek ke belakang.
Tiba-tiba Arnila sudah berdiri di samping Kim, “apa rencanamu
sekarang?”.
“Belum tahu,” jawab Kim tanpa
menolek kearah seakan mengetahuin kehadiran Arnila sejak tadi.
“Kau tidak berencana untuk
mendekatinya kan?” tanya Winna.
“Itu hanya kebetulan”.
***
“Kau dari mana aja baru
sekarang pulang?” tanya Deana menyambut kedatangan Via yang langsung
menjatuhkan tubuhnya diatas kasur.
“Menemuin Kak Potter”.
“Kau sudah mengatakannya?”.
Via mengangguk.
“Apa kau tidak akan
menyesal?”.
Via bangkit, “untuk apa
menyesal?”.
“Kau kan akan bekerja di
rumah sakitnya”.
“Bukan di rumah sakitnya,
tapi di rumah sakit orang tuanya,” Via memperjelas perkataan Deana.
“Itu sama saja! Rumah sakit
itu juga akan menjadi milik Kak Potter!”.
“Gak ada pengaruhnya
denganku”.
“Via!”.
“Sudahlah… gak akan terjadi
apa-apa”.
“Hahhh… kau ini!” Deana yang
sudah sangat menyerah dengan sikap cuek yang ditunjukkan Via.
***
Potter memikirkan perkataan
Via di lobi klinik dengan tatapan tertujuh ke pantai, “aku ke Bali hanya ingin memperkenalkan pada Kakak pria yang aku
cintain. Dan aku ingin Kakak membatalkan rencana perjodohan itu”. Dan saat Kim memperkenalkan dirinya pada
Potter, “Kim…”. Semua itu membuat
Potter kesal.
Arlina mendekatin Potter,
“maafkan aku Dok”.
Potter menolek, “untuk apa
kau memintah maaf?”.
“Via salah paham karena aku Dok”.
Potter tersenyum, “jangan
terlalu menyalahkan diri sendiri. Sifat Via memang susah di tebak,” Potter yang
sudah lama mengenal Via.
“Jika Dokter membutuhkan teman bicara, aku siap
untuk mendengarkannya”.
“Trimah kasih”.
***
“Via…!!” Deana membangunkan
Via yang masih tertidur lelap.
“Apa sih…!” Via yang masih
sangat mengantuk.
“Kau gak ikut?” tanya Deana
yang sudah bersiap-siap pergi ke pantai untuk menikmatin pemadangan pantai pada
pagi hari.
“Nanti aku nyusul,” jawab Via
bermalas-malasan di tempat tidur.
“Ya udah. Nanti kalau sudah
di pantai telpon aku yach…”.
“Ya”.
Deana pun pergi sendiri ke
pantai tanpa ditemanin siapapun.
***
Arnila mengajak Kim ketemuan
di salah satu cave yang berada di tepi pantai Kutai. “Apa kau akan terus
menyelidikin Potter?” tanya Arnila.
“Kau ingin berhenti?” Kim
balik bertanya.
Arnila diam.
“Aku tidak akan menahanmu
jika kau ingin berhenti”.
“Aku sudah janji akan
membantumu”.
Kim tersenyum. Tiba-tiba hp
Kim berdering. Kim mendapatkan telpon dari nomor yang tidak di kenalnya namun
tetap diangkatnya untuk mengetahuin siapa yang menghubunginnya, “halo… ini
siapa?”.
“Kau dimana?!” tanya Acton yang
tenyata yang menelpon.
“Kau siapa?” tanya Kim.
“Acton”.
“Bukanya kau menolak”.
“Kau dimana?!”.
“Aku? Aku di Bali,” jujur Kim.
“Apa!! Kau tahu kasus ini
sangat penting untukku!!” marah Acton.
Raut muka Kim berubah,
“dibandingkan kau, kasus ini lebih penting untukku! Setiba di Jakarta aku akan
menghubunginmu!” lalu mematikan telpon.
“Kau tidak apa-apa?” tanya
Arnila yang melihat Kim terlihat murung.
“Ya”.
***
“Bagaimana?” tanya Gita pada
Acton setelah selesai menelpon Kim.
“Dia mematikan telponku!!”
Acton yang semakin kesal.
“Benarkah. Tenyata ada juga
yang berani mematikan telpon darimu”. Acton menatap Gita. Gita berusaha
bersikaf biasa saja dengan sikaf dingin yang ditunjukkan Acton padanya karena
perkataannya.
***
Potter medatangin sebuah
rumah berlantai dua yang berada di pinggir pantai. Ini untuk pertama kalinya
dia datang di rumah itu. “Tok…tok…tok…” setelah beberapa kali mengetuk, pintu
pun terbuka lebar, “siang om…” sapa Potter pada pemilik rumah yang membukakan
pintu untuknya.
“Kau sudah dewasa,” kata
Hendro.
“Maaf, baru hari ini aku
mengujungin om”.
“Aku juga baru tahu dari
Ayahmu,” sambil masuk ke rumahnya, “masuklah”.
Potter mengikutin Hendro
masuk ke dalam rumah, “om menghubungin Ayah?” seakan tidak percaya.
“Kenapa? Kau pikir kami
bermusuhan”.
“Aku senang akhirnya om mau
memaafkan Ayah”.
“Aku yang salah sudah menuduh
Ayahmu macam-macam. Tak seharusnya aku melakukan itu,” Hendro membesar hati,
“aku memintah Ayahmu untuk menerimah ponakkanku bekerja di rumah sakit kalian”.
Walaupun masih bingung Potter
tetap mengiyakannya.
Tiba-tiba terdengar suara
yang memanggil Hendro dengan sebutan Om, “Om….”. Hendro dan Potter menolek
kearah suara. Terlihat jelas Potter sangat terkejut melihat Kim yang berada di
rumah Hendro. Kim yang sudah mengetahuin keberadaan Potter di rumah Hendro
berpura-pura terkejut, “kau…?”.
“Kalian sudah saling kenal?”
tanya Hendro.
“Senang bertemu denganmu
lagi,” kata Kim sambil menjulurkan tangannya seakan tidak terjadi apa-apa.
Kim dan Potter berpindah
tempat ke teras. Potter masih memadang Kim seakan tidak percaya Kim ponakkan om
Hendro dan pertemuan mereka yang sangat kebetulan.
“Jangan menatapku seperti
itu,” kata Kim yang masih berpura-pura tidak terjadi apa-apa.
“Ini sangat kebetulan!”.
Kim tersenyum, dia sangat
puas melihat reaksi yang ditunjukkan Potter, “ya”.
“Aku dengar kau akan bekerja
di rumah sakit orang tuaku?”.
“Ya”.
Suasana terhening sejenak,
“jangan sakitin dia,” kata Potter membuka pembicaraan baru.
“Siapa yang kau maksud?”
bingung Kim.
“Kau pastih tahu siapa yang
aku maksud!” kata Potter lalu melangkah pergi.
Awalnya Kim tidak mengerti
siapa yang di maksud Potter namun itu hanya sesaat ketika dirinya teringat
dengan kejadian semalam, “hahaha… apa dia pikir aku pacarnya?!”.
Hendro mendekatin Kim yang
masih mengamatin Potter yang melangkah pergi, “hukum mereka yang telah membunuh
putraku! Kau harus tepatin janjimu itu!”.
“Ya”.
Hendro kembali masuk ke dalam
rumah dengan menutup kembali pintu rumah yang terbuka.
Kim masih berdiri di
tempatnya berdiri dengan mata tertujuh di pintu masuk rumah. Kim teringat masa
kecilnya yang pahit, saat dirinya mendapatkan sang kakak tewas di depan
rumahnya dengan tubuhnya penuh dengan jahitan yang tidak teratur.
***
Via menyusul Deana ke pantai,
namun Via tidak menemukan keberadaan Deana. Sudah cukup jauh Via berjalan
menyusurin tepi pantai namun keberadaan Deana tidak ada tanda apa pun. Berkali-kali
dia menghubungin nomor hp Deana tapi tetap saja tidak dapat dihubungin, “kemana
sih dia!!!?” kesal Via.
***
Ternyata Deana kembali ke
hotel. Dilihatnya Via tidak ada lagi di dalam kamar hotel, “mana dia?” yang
tidak menyadarin Via mencarinya di pantai.
***
Karena sudah lelah mencari
Deana yang juga tidak mengetahuin bahwa Deana sudah kembali ke hotel, Via
memutuskan meninggalkan pantai. Tak jauh dari pantai Via melihat pria yang
berpakaian compang camping mendekatin dirinya, “sial banget sih aku ketemu
orang gila…”. Via mulai ketakutan ketika pria itu semakin dekat dengannya.
“Mintak uang…” kata orang
gila itu pada Via yang ketakutan.
“A..ku gak… ba…wak uang…”
gugup Via.
“Bohong!!!” marah orang gila
itu.
“A…aku gak bohong…” yang
semakin ketakutan.
“Dasar wanita murahan!!”
orang gila itu mau memukul Via.
“Aaahhh…!!”.
Tangan orang gila itu
berhasil di tangkap oleh Kim. Kim yang kebetulan melintasin daerah itu dan
melihat Via ketakutan segera menolong, “kau tidak apa-apa?” tanya Kim pada Via.
Via tanpak kanget melihat
Kim.
Kim memberikan selebar uang
100.000,- pada pria gila itu, “pergilah!”.
Orang gila itu pun pergi.
“Kau sedang apa disini?”
tanya Via yang masih heran.
Dibandingkan menjawab
pertanyaan Via, Kim malah membuka pembicaraan lain, “apa kau tidak punya
sepeserpun!!?” lalu melangkah pergi.
Via langsung memengang tangan
Kim untuk menahannya pergi, “kau pikir aku pelit?!!” yang tidak terimah dengan
perkataan pria yang baru dikenalnya itu.
“Apa namanya kalau bukan
pelit”.
“Heiii…!!!” kesal Via, “kalau
aku ada uang! Tidak mungkin tidak aku berikan pada orang gila itu!!” yang tidak
terimah dengan tuduhan Kim padanya.
Kim menahan tawa. Dia memang
segaja mengatakan seperti itu ingin melihat Via marah.
“Dan siapa yang menyuruhmu
untuk membantuku?!!” kali ini Via yang melangkah pergi meninggalkan Kim yang
masih memadangnya.
Tatapan Kim tertujuh pada
mobil sedan yang berlaju kearah Via yang mau menyebrangin jalan. Tampak jelas
mobil itu semakin melaju kencang ketika jarak Via yang tidak begitu jauh lagi.
Tanpa pikir panjang Kim langsung mendorong Via untuk menghindarin mobil itu
yang terus berlaju pergi. Via dan Kim jatuh di pinggir jalan. Kim berhasil
menyelamatkan Via walaupun lengan dan lutut Via terluka karena mengenai aspal,
“kau tidak apa-apa?”.
“Aku berdarah,” rengek Via.
“Itu hanya luka kecil”.
“Bagi perempuan, luka sekecil
ini sangat besar,” Via yang sangat memetingkan penapilannya.
Kim tersenyum mendengar
perkataan Via.
Bersambung
Tidak ada komentar :
Posting Komentar