Jumat, 12 Oktober 2012

love for the heart 2


2


“Nyonya ada telpon dari rumah sakit,” kata salah satu pelayan sambil memberikan gagang telpon pada Sintia.
“Rumah sakit?” Sintia mengambil gagang telpon dan langsung mengangkatnya, “halo…”. Setelah mendengar kabar dari rumah sakit, Sintia sangat kanget dan shock, “apa”. Gagang telpon terlepas dari tangannya dan terjatuh di lantai. Air mata menetes membasahi pipinya, “tidak… tidak…!!!” yang sangat shock.
***
Lica baru menyadari terjadinya kecelakaan setelah menganti pakaian di ruang ganti. Dia bingung dan penasaran kenapa banyak orang berkumpul di luar sana. Lica mencoba mencari tahu, dia pun bertanya pada salah satu ibu, “ada apa Bu?” tanyanya.
“Kecelakaan,” jawab Ibu itu.
“Ohhh…”.
Ketika Lica akan kembali masuk ke gedung, seseorang memanggilnya sambil berlari kearahnya, “Lica!! Lica…!!!”.
Lica menolek, dan dia mengenal siapa orang yang memanggilnya itu, “Paman, ada apa Paman?” tanyanya.
“Ayahmu…!” kata Degu yang sangat panik, “Ayahmu…!!”.
“Ayah?” Lica ikut panik, “ada apa dengan Ayah?!”.
“Ayahmu di tahan polisi!”.
Lica sangat terkejut.
***
Sama seperti Lica, Dewi dan Edwan pun sangat terkejut saat mendapatkan kabar bahwa Hendro di tahan dari tetangganya. Mereka bergegas ke kantor polisi. Setiba di kantor polisi Dewi bertemu dengan Hendro. Dilihatnya suaminya berada di dalam teruji besi, air mata menetes tak bias menahan kesedihannya.
Hendro menyadari kehadiran istrinya, “Ibu…”.
“Apa yang terjadi?” Tanya Dewi menggunakan bahasa isyarat.
Hendro diam terpaku dan tak berani menatap wajah istrinya.
Melihat suaminya diam, Dewi mulai menduga-duga, “kau lakukan lagi?!”.
“Maafkan aku. Semua itu aku lakukan untuk mendapatkan uang operasi,” penjelasan Hendro.
“Lebih baik aku mati, dari pada aku melihatmu seperti ini,” kata Dewi menujukan wajah kekecewaannya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Dewi pergi meninggalkan suaminya dengan penuh kekecewaan.
Hendro menanggis, dia sangat menyesalin perbuatannya.

Edwan segaja menunggu di luar kantor polisi. Cukup lama dia menunggu yang akhirnya melihat Lica yang baru datang. “Bagaimana Ayahku?!” Tanya Lica yang terlihat sangat panik. Padangan Edwan dan Lica  tertujuh pada Dewi yang baru ke luar dari kantor polisi. Terlihat jelas kesedihan dari wajah Dewi. Lica mendekati Ibunya, “bagaimana dengan Ayahmu Bu?” tanyanya polos. Dewi menatap Lica lalu memeluknya sambil menanggis. Lica semakin panik melihat Ibunya menanggis tiba-tiba, “Bu… ada apa Bu?”.
***
Sintia dan Darwin menunggu di luar ruang operasi. Mereka menanti operasi yang dilakukan pihak rumah sakit untuk menyelamatkan Kay. Sudah hamper 3 jam lebih Kay berada di dalam, dan tak satu pun yang keluar untuk memberitahu keadaan Kay pada mereka. Tampak jelas kekuatiran dari wajah mereka masing-masing terutama Darwin dan Sintia.
Sintia yang masih sangat shock kejadian yang menimpah putranya hanya menanggis sejak tadi, sama seperti Sintia, Darwin pun sangat shock, dia diam terpaku menanti berakhirnya operasi. Lain dengan Ayu, walaupun dia menujukan wajah sedih tapi di hatinya dia sangat puas melihat istri dari pria yang di cintainya itu sangat menderita.

Beberapa saat kemudian, Dokter Acton adik dari Sintia keluar bersama dokter-dokter yang ikut membantu mengoperasi Kay bersama beberapa perawat. Sintia dan Darwin langsung mendekati Dokter Acton, “bagaimana?” Tanya Sintia yang cemas.
“Operasi berjalan lancar,” jawab Dokter Actor, “dan…”.
“Dan apa?” Tanya Sintia yang merasakan adiknya menyimpan sesuatu darinya.
“Kita bicara di ruanganku,” kata Dokter Acton, “kalian bias melihat Kay setelah di pindahkan ke kamar rawat. Permisih…” lalu pergi.
Ayu curiga kenapa Dokter Acton tidak mengatakan keadaan Kay sebenarnya, dan apa sebenarnya terjadi pada Kay.

Kay sudah di pindahkan ke kamar rawat. Semua menunggu Kay sadar termasuk Sintia dan Darwin yang setia medampingin Kay sejak dipindahkan. Sekali-kali Sintia meneteskan air mata namun segera di hapuskan agar saat Kay bangun tidak melihatnya menanggis.
Dokter Acton mendekati Sintia, “aku ingin bicara”.
Sintia menolek kearah suaminya yang sudah tertidur di sebelah Kay dengan menidurkan kepalanya di atas rajang tempat Kay terbaring tak sadarkan diri. “Ada apa? Apa ada masalah?” tanyanya.
“Operasi berjalan dengan baik,” Dokter Acton yang mencoba menjelaskan pada kakaknya, “tapi dampak dari luka itu ternyata lebih parah dari yang di perkirakan Bu”.
“Apa maksudmu?!” Sintia mulai cemas dengan kondisi putranya.
“Kay mengalami benturan keras di kepalanya. Benturan itu mengenai bagian mesencephalon, hal ini Kay bisa kehilangan penglihatan, gerakan mata, pembesaran pupil mata, mengaturan tubuh dan pendengaran,” penjelasannya Dokter Acton.
“Maksudmu Kay akan…” yang mulai menduga-duga.
“Kay akan cacat Kak”.
Sintia terjatuh lemas dilantai. Dia tidak bisa menerima kenyataan yang akan terjadi pada putranya, “tidak…tidak mungkin… huhuhu…” Sintia menaggis.
Suara tangisan Sintia membangunkan Darwin. Darwin langsung mendekati istrinya dan membantunya berdiri, “kau kenapa?” yang menguatirkan keadaan istrinya, “Kay anak yang kuat, dia akan segera pulih,” menyakinkan Sintia.
Sintia yang tak bisa menghancurkan harapan suaminya hanya bisa memeluk dan menanggis di pelukan Darwin. Darwin membiarkan istrinya melepaskan kesedihannya di pelukannya sambil menepuk pelat pungung Sintia.
***
“Ibu tidak apa-apa?” tanya Lica yang melihat ibunya murung sejak pulang dari kantor polisi.
Dewi menolek dan berusaha untuk tersenyum, “kau sudah makan?” tanyanya dengan menggunakan bahasa isyarat.
Lica mengangguk, “Ibu belum makan?”.
Tiba-tiba Dewi batuk, dia langsung menutup mulutnya dengan tangan. Berkali-kali dia batuk, itu membuat Lica cemas dan langsung bergegas ke dapur untuk mengambil minum. Setelah batuk berakhir, Dewi melihat tangannya penuh dengan darah. Dewi panik, di tambah saat dia melihat Lica datang mendekatinya dengan membawa segelas air. Dia langsung mengelap tangan dan mulutnya dengan sarung yang dipakainya, agar Lica tidak melihat itu semua.
Lica tiba dengan membawa segelas air, “ini Bu,” memberikan pada ibunya.
Dewi mengambil dan langsung meminumnya, “trimah kasih sayang”.
Lica tersenyum.

Setelah ibunya tidur, Lica keluar dari rumah dan melihat Edwan sedang duduk di teras, “Kakak sedang apa?” tanyanya sambil duduk di sebelah Edwan.
 “Menunggu bintang jatuh,” jawab Edwan dengan padangan tertuju ke langit.
Lica ikut memadang langit, “apa Kakak percaya dengan bintang jatuh?”.
Edwan mengangguk.
“Sepertinya malam ini tidak ada bintang jatuh”.
Edwan balik memadang Lica, “apa ada yang ingin kau inginkan?”.
Lica mengangguk.
“Apa?”.
“Kebebasan Ayah”.
Edwan memeluk Lica, “Ayahmu pastih akan bebas, dia orang baik,” bujuk Edwan.
Lica hanya tersenyum mendengar perkataan Edwan yang membuat hatinya tersajung.
***

Sintia menemui Dokter Acton di ruangannya. “Apa ada yang ingin Kakak bicarakan?” tanya Dokter Acton heran meihat kakaknya menemuinya sepagi ini.
“Aku ingin kau jangan mengatakan apa-apa dengan Darwin,” kata Sintia yang tidak ingin suaminya tahu kenyataan yang akan terjadi pada putranya.
“Kenapa Kak?! Kak Darwin harus tahu!” bingung apa yang dipikiran kakaknya saat ini.
Sintia menatap Dokter Acton dengan tajam, “Kay belum sadar! Kau tidak ada hak memponis Kay cacat atau tidak!” yang masih menyakinkan Kay tidak akan cacat seperti apa yang dikatakan adiknya.
Dokter Acton hanya menghela nafas panjang.
“Kau harus membantuku, harus…”.
Dokter Acton mengangguk tanda dia akan membantu Sintia apa yang akan dilakukannya.
***
Edwan mendekati Dewi yang masih terlihat murung di perkarangan belakang rumah. “Ibu tidak apa-apa?” yang mulai menguatirkan keadaannya.
Dewi menolek ke belakang dengan memaksakan tersenyum, lalu menepuk tanah di sebelahnya tanda dia mengajak Edwan untuk duduk di sebelahnya. Edwan mengikuti apa yang  di minta Dewi. Dewi membelai kepala Edwan dengan lembut, seperti dia mengharapkan Edwan mau melakukan sesuatu untuknya tapi dia tidak bisa mengatakannya.
“Ibu baik-baik saja?” tanya Edwan lagi.
Dewi masih tersenyum dan membelai kepala Edwan.
***
Lica menemui ayahnya di kantor polisi. Dia memberitahukan keadaan ibunya saat ini. “Semalaman Ibu murung dan sekali-kali aku melihat Ibu menanggis,” kata Lica yang tak bisa menutupi kesedihannya juga.
Hendro semakin merasa bersalah apa yang dilakukannya, “apa Ibu tidak mau bertemu dengan Ayah lagi?”.
“Ibu tidak mau ikut saat aku mengajak mengujungi Ayah”.
Hendro tidak bisa berkata apa-apa lagi, “jaga Ibu baik-baik,” harapan Hendro yang sekarang sepenuhnya pada putri kecilnya.
Lica mengangguk.
“Maafkan Ayah”.
Lica berusaha ceria di hadapan ayahnya.

Dari kantor polisi, Lica segaja melewati tempat latihannya belah diri. Dilihatnya seperti tidak ada aktifitas apa-apa di dalam gedung dan tidak ada mobil BMW yang dilihatnya kemarin terpakir di depan gedung. Lica segaja datang untuk bertemu dengan Kay yang berjanji akan datang hari ini, tapi ternyata tidak ada siapa-siapa. “Apa dia sudah pergi,” yang melihat matahari sudah sangat terik.
***
Budi menemui Hendro di penjara. “Aku akan membawa istrimu ke rumah sakit untuk segera melakukan operasi,” kata Budi menepati janjinya.
“Tidak usah,” Hendro menolak.
“Tapi…”.
Hendro memotong perkataan Budi, “jika aku menerimahnya, aku akan semakin bersalah pada istriku,” menuruti apa yang diinginkan istrinya, “aku tidak akan melibatkan dirimu. Aku yang melakukannya, dan aku yang harus menanggungnya,” Hendro yang besikeras dengan keputusannya.
“Terserah kau saja,” yang tak ingin memaksa apa yang sudah di putuskan Hendro.
***
Ayu mendapatkan telpon dari anak buahnya, “apa! Kau sudah menemukan putraku!” yang bahagia akhirnya bisa menemukan putranya yang hilang.
***
Di rumah sakit tempat Kay di rawat hanya ada Sintia yang selalu menemani Kay sepanjang waktu. Dia memadangin putranya sambil memengang erat tangannya. Tiba-tiba jari-jari Kay bergerak pelan. Sintia sangat terkenjut, “Kay…” yang senang melihat Kay perlahan-lahan membuka matanya. Spontan Sintia berteriak memanggil Dokter, “Dokter… Dokter…!!” Sintia yang bercampur senang dan kuwatir.

Beberapa saat kemudian Dokter Acton dan beberapa perawat masuk ke dalam kamar. “Kay…!” panggil Dokter Acton yang mencoba mengetes mendengar ponakannya itu.
Kay diam dan terlihat bingung.
Perawat langsung melepaskan kabel-kabel dan selang oksigen dari tubuh Kay  hanya selang infus yang tidak dilepaskan.
“Sayang… kau sudah sadar” Sintia yang sangat bahagia melihat putranya telah sadar.
Kay memadang mamanya bicara dengannya tapi tak ada suara yang sampai ke telinganya. Dia hanya melihat gerakan bibir Sintia. “Mama bicara apa? Aku tidak mendengar apa yang Mama katakan?” tanya Kay yang mulai ketakutan.
“Kay… kau pastih bercanda khan…” yang masih tidak terimah kenyataan, “kau pastih mendengar suara Mama khan!!” desak Sintia sambil meneteskan air mata.
Kay masih memperhatikan gerakan bibir mamanya tapi tetap saja terasa sepi di telingahnya padahal mamanya berulang kali mengerakan bibir, “aku tidak mendengar!! Aku tidak bisa mendengar!!” teriak Kay sambil menutup telingahnya, “aku tidak bisa mendengar… aku tidak bisa mendengar Ma… huhuhu…” Kay  pun menanggis.
Sintia langsung memeluk Kay erat-erat, “jangan takut sayang… Mama akan melindunginmu… Mama akan melindunginmu…”. Walaupun Kay tidak bisa mendengar apa yang di ucapkan Sintia, tapi dia mulai terlihat tenang saat Sintia memeluknya dengan penuh kasih sayang.
***
Ayu mendatangi alamat yang di berikan anak buahnya. Sebuah rumah yang bisa di bilang sangat sederhana. Dia mulai mengetuk pintu dan berharap banyak dia tidak salah alamat. “Tok… tok… tok…!!”. Cukup lama Ayu tidak mendapatkan jawaban dari dalam rumah itu membuat dia mulai ragu. Di dalam rumah hanya terdengar suara orang batuk-batuk berkali-kali.

Di dalam rumah, Edwan sibuk mengambilkan minuman untuk Dewi yang tidak berhenti batuk sejak tadi. “Ini Bu,” sambil membantu Dewi untuk minum. Namun baru seteguk Dewi menelan air, tiba-tiba dia muntah darah. Dewi belum berhenti batuk, dia terus batuk dan berkali-kali menguarkan darah dari mulut dan hidungnya namun segera di lapnya.
Edwan yang melihat itu semua panik dan ketakutan. Dia lalu keluar rumah untuk segera memintah pertolongan, namun di luar rumah bertapa terkejutnya Edwan melihat ibu kandungnya sudah berada di depan pintu, “Bunda!”.
“Edwan,” Ayu yang sangat bahagia melihat putranya.
Edwan tidak terbawa suasana, dia langsung menarik Ayu ke dalam rumah, “ayo Bunda”.
Mengikuti Edwan, “ada apa Edwan?”. Bertapa terkejutnya Ayu melihat wanita yang terkapar lemas di lantai, wajah dan pakaiannya berumuran darah.
“Ibu…” Edwan yang akan membantu Dewi langsung di tahan Ayu, “Bunda… kita harus membantu Ibu,” desak Edwan pada Ayu.
Ayu memengang kedua lengan Edwan sehingga Edwan bisa menatapnya, “Bunda tidak akan membiarkanmu mendekati wanita penyakitan itu!!”.
“Bunda!” marah Edwan.
Ayu tidak memperdulikan sikaf perlawanan yang di tunjukan Edwan padanya. Dia menyeret putranya keluar dari rumah dan memaksa Edwan masuk ke dalam mobil. Setelah berhasil memasukkan Edwan ke dalam mobil, Ayu pun bergegas meninggalkan tempat itu tanpa memperdulikan wanita yang telah menampung putranya selama ini.
Jangankan untuk mengejar, berteriak pun Dewi tidak sanggup lagi. Nafasnya seakan seperti sudah di ujung tenggorokan. Air matanya menetes membayangkan dirinya bersama keluarga kecilnya sedang menikmati hari-hari di rumah yang sudah 2 tahun di tempati mereka itu. Dan perlahan-lahan matanya tertutup dan… Dewi pun menghebuskan nafas terakhir dengan meneteskan air mata kesedihan.

Beberapa saat kemudian Lica kembali, dia langsung memanggil ibunya, “Bu… Bu aku pulang,” sambil masuk ke dalam rumah. Bukan mendapatkan ibunya yang sedang menyiapkan makan siang melainkan melihat ibunya terkapar di lantai. Air matanya menetes sambil berteriak, “Ibu….!!!”.
***
Ayu membawa Edwan langsung ke rumah sakit menemui Darwin yang yakin Darwin ada di rumah sakit saat ini. “Ayo turun!” minta Ayu.
Edwan masih duduk di tempatnya, “kenapa Bunda tidak menolong Ibu?” tanyanya polos.
Ayu membuka pintu mobil sebelahnya, “Bunda tidak akan membiarkanmu dekat dengan wanita penyakitan itu!” sambil memengang lengan Edwan, “ayo!” lalu menyeretnya keluar, “Bunda akan mempertemukanmu dengan Ayah kandungmu!!”.
Edwan mengikuti ibu kandungnya dengan terpaksa.
***
“Kakak harus segera beritahu Kakak ipar,” saran Dokter Acton mengajak kakaknya berbicara di ruangannya.
Sintia mengangguk.

Sintia kembali ke kamar tempat Kay di rawat. Tapi di dalam kamar tidak ada siapa-siapa, Kay menghilang. Sintia panik, “Kay…” dia mencoba mencari di setiap sudur ruangan dan kamar mandi, tapi tetap saja dia tidak bisa menemukan putranya, “Kay… Kay…!!” teriaknya yang cemas kehilangan putranya.
Beberapa perawat masuk, “ada apa Bu?” tanya salah satu mereka.
Sintia menanggis, “putraku… putraku…” yang sangat shock.
*** 
Hendro mendapatkan kabar dari salah satu polisi yang memberitahukan istrinya meninggal beberapa jam yang lalu. Hendro sangat shock, dia jatuh ke lantai dengan air mata menyesalan mengalir membasahi pipinya. Dia teringat dengan kata-kata isyarat kekecewaan Dewi saat melihat dirinya berada di dalam teruji besi, “lebih baik aku mati, dari pada aku melihamu seperti ini”. Air mata semakin deras mengalir, dia sangat menyesalin apa yang dilakukannya itu dan menyakinkan menyebab kematian istrinya di karenakan dirinya.
Tangisan itu hanya sesaat, tiba-tiba Hendro tiba-tiba tertawa sendiri tanpa ada sebab, “hahah…hahaha…haha…!!”. Tawanya semakin keras, itu membuat pidana yang lain mulai ketakutan melihat keadaan Hendro.
 ***
Di perjalanan menuju tempat Kay di rawat, Ayu dan Edwan berpapasan dengan Darwin yang akan masuk ke dalam lift. “Darwin!” panggil Ayu sambil mendekatinya.
Darwin menghentikan langkahnya dan menolek ke arah Ayu, “kau datang,” lalu melihat anak kecil yang datang bersama Ayu, “siapa dia?”.
“Putra kita,” jawab Ayu dengan mata berkaca-kaca.
“Apa!” Darwin terkejut.
“Dia Edwan, putra kita,” Ayu terus menyakinkan Darwin.
Darwin jongkok di hadapan Edwan, “kau putraku?” antara percaya dan tidak.
Edwan tidak menujukan ekpresi apa-apa di wajahnya. Dipikirannya saat ini hanya menguatirkan keadaan Dewi yang ditinggalkannya begitu saja.
Darwin yang melihat Edwan yang menatapnya dengan padangan kosong, dia berpikir Edwan pastih masih bingung melihatnya tiba-tiba muncul di hadapannya. Darwin memeluk putranya dengan penuh kerinduraan, “maafkan Ayah… Maafkan Ayah yang sudah mengelantarkanmu,” katanya.

Tanpa disadari mereka, Sintia sedang memperhatikan mereka dari kejauhan. Air matanya terus menetes dengan penuh kekecewaan saat mengetahui putra dari kekasih suaminya yang lahir sebelum mereka menikah telah di temukan di tambah dia masih cemas Kay belum di temukan sampai saat ini.
Sesaat kemudian, hpnya bordering, Sintia langsung mengangkatnya setelah mengetahui siapa yang menghubunginya dari layar hp, “halo…” dia mendapatkan kabar bawah Kay sudah di temukan, “baiklah, aku akan datang,” lalu menutup telpon. Sintia memberanikan dirinya untuk mendekati mereka, “sayang…!” Sintia memanggil Darwin.
Darwin tersentak kanget melihat Sintia, “sayang,” yang akan merangkul Sintia namun Sintia langsung menghindar, “sayang, aku akan jelaskan”.
“Aku tak mau mendengarnya,” kata Sintia mulai menujukan sikaf dingin, “aku ingin membawa Kay ke Amerika hari ini”.
Darwin terkejut, “kenapa tiba-tiba?! Apa terjadi sesuatu pada Kay?!” yang belum tahu apa-apa tentang keadaan Kay.
“Kay tidak apa-apa. Dia hanya shock. Dan aku ingin membantu menghilang tromanya”.
“Tapi sayang…”.
Sintia memotong perkataan Darwin, “aku sudah memesan tiket,  4 jam lagi kami berangkat”.
Dengan terpaksa Darwin melepaskan istri dan putranya, “baiklah, jika itu keputusanmu”.
Tanpa basa basi Sintia langsung meninggalkan mereka. Ayu terlihat puas dengan keputusan Sintia untuk pergi. Itu bisa menjadi kesempatannya untuk kembali bersama dengan Darwin.
***
Kay pergi meninggalkan rumah sakit. Shock, cemas, ketakutan bercampur aduk yang dirasakannya saat ini. Suara kendaraan dan orang yang melintasin dirinya tak bisa di dengarnya itu membuat Kay tambah keakutan. Jangankan mendengar itu semua, suaranya saja tak bisa di dengarnya, berkali-kali dia berteriak, tak sedikitpun suara melintas di telingahnya,”ahhh…ahhh…!! Aaaahhh…!!”.
Orang-orang yang melihat itu semua hanya heran dan bingung kenapa Kay tiba-tiba berteriak. Di pikiran mereka penuh dengan pertanyaan dan pikiran yang macam-macam, baik itu kerasukan dan ada juga yang mengira Kay gila karena Kay masih menggunakan pakaian rumah sakit. “Kasihan masih kecil sudah gila,”kata di antara mereka yang mengerumuli Kay.
“Ahhh… aaahhh…!!” Kay terus berteriak sambil menutup teligah dengan kedua tangannya.
Sebuah mobil BMW berhenti di gerumulan orang-orang tersebut, ternyata itu Sintia. Sintia yang melihat putranya yang ketakutan langsung bergegas keluar dari mobil, dan langsung memeluk Kay dengan eratnya, “sayang…” Sintia yang merasakan penderitaan yang dirasakan Kay saat ini.
Kay melihat Sintia dengan mata berkaca-kaca, “Mama…” rengeknya.
“Kita akan pergi, kita akan pergi,” lalu mengedong Kay dan membawanya masuk ke dalam mobil, “jalan!” perintah Sintia pada Pak sopir.
“Baik Nyonya,” Pak sopir segera menjalankan mobil meninggalkan tempat itu.
Kay masih memeluk mamanya dengan erat, seakan tidak ingin terlepaskan lagi.

Di Bandara Sukarno_Hatta, Dokter Acton mendekati Sintia dan Kay yang menunggu di bangku tunggu. Dokter Acton memberikan 2 Visa dan 2 tiket pesawat pada Sintia, “dua bulan lagi aku menyusul,” ucapnya.
Sintia mengambilnya.
Dokter Acton melihat Kay tertidur di pangkuan Sintia, “kau harus pelan-pelan mengajarkannya gerakan bibir pada Kay,”sarannya.
Sintia memadang adiknya dengan penuh harap, “kau tidak akan mengikari janjimu kan?”
“Kau tidak akan bisa selamanya berbohong”.
“Sampai saat itu tiba, aku akan terus melakukannya”.
Dokter Acton menarik nafas panjang melihat keangkuan kakaknya.
Suasana terhening sejenak, “kau sudah tahu siapa yang melakukan semua ini?” Tanya Sintia.
Dokter Acton diam.
“Siapa?” Tanya Sintia lagi yang yakin adiknya sudah tahu pelaku yang mencelakai putranya.
Dokter Acton masih diam. Dia tidak berniat  mengatakan semua itu pada kakaknya.
“;Apa dia di perintahkan oleh Ayu?”.
Dengan terpaksa Dokter Acton menganggu menyatakan apa yang diperkirakan kakaknya selama ini benar. Kecelakaan yang menimpah Kay sudah di rencanakan selama ini oleh Ayu. Tubuh Sintia lemah menahan masalah yang menimpahnya, Kay yang berada di pangkuannya hampir jatuh, untungnya ada Dokter Acton yang langsung menangkap Kay, “kakak tidak apa-apa?” kuatir Acton.
Terlihat jelas kebencian di mata Sintia, “Ayu akan merasakan semua ini! Aku pastihkan itu!!” dendam Sintia yang sangat membara pada Ayu yang sudah mencelakai putranya.
***
Di rumah, Darwin duduk di meja kerjanya sambil memikirkan keputusan istrinya pergi membawa Kay tanpa menjelaskan apa-apa padanya. Semua itu membuat dirinya serbah salah menjadi kepala keluarga. Beberapa saat kemudian Ayu muncul dari balik pintu, “malam sayang…” sapanya sebelum masuk ke dalam ruangan.
Darwin berdiri, “sebaiknya kau jangan memanggilku seperti itu, aku tak mau orang-orang berpikir lain tentang kita,” katanya lalu berjalan ke arah pintu.
“Aku tidak masalah,” menatap Darwin dengan mata berkaca-kaca.
Darwin menghentikan langkahnya, dan menatap Ayu.
“Aku masih mencintaimu, sekarang, dan selamanya,” lalu memeluk Darwin dengan erat, “aku mohon, jangan perlakukan aku seperti ini, aku mohon…” menanggis di pelukkan Darwin. Sesaat Darwin membiarkan Ayu menanggis di pelukkannya, namun sesaat kemudian tangannya mulai merangkul tubuh Ayu, membuktikan dia menerima cinta Ayu. Ayu tersenyum, rencananya selama ini berjalan seperti apa yang di harapakannya selama ini.
***
Setelah Ibunya di makamkan, di rumah hanya Lica seorang yang tinggal. Di dalam rumah masih ada sisa-sisa minuman acara pemakaman yang berserakat di lantai. Lampu rumah hanya sebagian di yalahkan, itu menambah suasana terlihat sangat sunyi. Air mata berkali-kali menetes membasahi pipinya tapi dia tetap berusaha untuk kuat dan tegar menghadapi masalah yang membelenggunya.
*** 


Bersambung