2
“Nyonya ada telpon dari rumah sakit,” kata salah satu
pelayan sambil memberikan gagang telpon pada Sintia.
“Rumah sakit?” Sintia mengambil gagang telpon dan
langsung mengangkatnya, “halo…”. Setelah mendengar kabar dari rumah sakit,
Sintia sangat kanget dan shock, “apa”. Gagang telpon terlepas dari tangannya
dan terjatuh di lantai. Air mata menetes membasahi pipinya, “tidak… tidak…!!!”
yang sangat shock.
***
Lica baru menyadari terjadinya kecelakaan setelah
menganti pakaian di ruang ganti. Dia bingung dan penasaran kenapa banyak orang
berkumpul di luar sana. Lica mencoba mencari tahu, dia pun bertanya pada salah
satu ibu, “ada apa Bu?” tanyanya.
“Kecelakaan,” jawab Ibu itu.
“Ohhh…”.
Ketika Lica akan kembali masuk ke gedung, seseorang
memanggilnya sambil berlari kearahnya, “Lica!! Lica…!!!”.
Lica menolek, dan dia mengenal siapa orang yang
memanggilnya itu, “Paman, ada apa Paman?” tanyanya.
“Ayahmu…!” kata Degu yang sangat panik, “Ayahmu…!!”.
“Ayah?” Lica ikut panik, “ada apa dengan Ayah?!”.
“Ayahmu di tahan polisi!”.
Lica sangat terkejut.
***
Sama seperti Lica, Dewi dan Edwan pun sangat terkejut
saat mendapatkan kabar bahwa Hendro di tahan dari tetangganya. Mereka bergegas
ke kantor polisi. Setiba di kantor polisi Dewi bertemu dengan Hendro.
Dilihatnya suaminya berada di dalam teruji besi, air mata menetes tak bias menahan
kesedihannya.
Hendro menyadari kehadiran istrinya, “Ibu…”.
“Apa yang terjadi?” Tanya Dewi menggunakan bahasa isyarat.
Hendro diam terpaku dan tak berani menatap wajah
istrinya.
Melihat suaminya diam, Dewi mulai menduga-duga, “kau lakukan lagi?!”.
“Maafkan aku. Semua itu aku lakukan untuk mendapatkan
uang operasi,” penjelasan Hendro.
“Lebih baik aku mati,
dari pada aku melihatmu seperti ini,”
kata Dewi menujukan wajah kekecewaannya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Dewi pergi
meninggalkan suaminya dengan penuh kekecewaan.
Hendro menanggis, dia sangat menyesalin perbuatannya.
Edwan segaja menunggu di luar kantor polisi. Cukup lama
dia menunggu yang akhirnya melihat Lica yang baru datang. “Bagaimana Ayahku?!”
Tanya Lica yang terlihat sangat panik. Padangan Edwan dan Lica tertujuh pada Dewi yang baru ke luar dari
kantor polisi. Terlihat jelas kesedihan dari wajah Dewi. Lica mendekati Ibunya,
“bagaimana dengan Ayahmu Bu?” tanyanya polos. Dewi menatap Lica lalu memeluknya
sambil menanggis. Lica semakin panik melihat Ibunya menanggis tiba-tiba, “Bu…
ada apa Bu?”.
***
Sintia dan Darwin menunggu di luar ruang operasi. Mereka
menanti operasi yang dilakukan pihak rumah sakit untuk menyelamatkan Kay. Sudah
hamper 3 jam lebih Kay berada di dalam, dan tak satu pun yang keluar untuk
memberitahu keadaan Kay pada mereka. Tampak jelas kekuatiran dari wajah mereka
masing-masing terutama Darwin dan Sintia.
Sintia yang masih sangat shock kejadian yang menimpah
putranya hanya menanggis sejak tadi, sama seperti Sintia, Darwin pun sangat
shock, dia diam terpaku menanti berakhirnya operasi. Lain dengan Ayu, walaupun
dia menujukan wajah sedih tapi di hatinya dia sangat puas melihat istri dari
pria yang di cintainya itu sangat menderita.
Beberapa saat kemudian, Dokter Acton adik dari Sintia
keluar bersama dokter-dokter yang ikut membantu mengoperasi Kay bersama
beberapa perawat. Sintia dan Darwin langsung mendekati Dokter Acton,
“bagaimana?” Tanya Sintia yang cemas.
“Operasi berjalan lancar,” jawab Dokter Actor, “dan…”.
“Dan apa?” Tanya Sintia yang merasakan adiknya menyimpan
sesuatu darinya.
“Kita bicara di ruanganku,” kata Dokter Acton, “kalian
bias melihat Kay setelah di pindahkan ke kamar rawat. Permisih…” lalu pergi.
Ayu curiga kenapa Dokter Acton tidak mengatakan keadaan
Kay sebenarnya, dan apa sebenarnya terjadi pada Kay.
Kay sudah di pindahkan ke kamar rawat. Semua menunggu Kay
sadar termasuk Sintia dan Darwin yang setia medampingin Kay sejak dipindahkan.
Sekali-kali Sintia meneteskan air mata namun segera di hapuskan agar saat Kay
bangun tidak melihatnya menanggis.
Dokter Acton mendekati Sintia, “aku ingin bicara”.
Sintia menolek kearah suaminya yang sudah tertidur di
sebelah Kay dengan menidurkan kepalanya di atas rajang tempat Kay terbaring tak
sadarkan diri. “Ada apa? Apa ada masalah?” tanyanya.
“Operasi berjalan dengan baik,” Dokter Acton yang mencoba
menjelaskan pada kakaknya, “tapi dampak dari luka itu ternyata lebih parah dari
yang di perkirakan Bu”.
“Apa maksudmu?!” Sintia mulai cemas dengan kondisi
putranya.
“Kay mengalami benturan keras di kepalanya. Benturan itu
mengenai bagian mesencephalon, hal ini Kay bisa kehilangan penglihatan, gerakan
mata, pembesaran pupil mata, mengaturan tubuh dan pendengaran,” penjelasannya
Dokter Acton.
“Maksudmu Kay akan…” yang mulai menduga-duga.
“Kay akan cacat Kak”.
Sintia terjatuh lemas dilantai. Dia tidak bisa menerima
kenyataan yang akan terjadi pada putranya, “tidak…tidak mungkin… huhuhu…”
Sintia menaggis.
Suara tangisan Sintia membangunkan Darwin. Darwin
langsung mendekati istrinya dan membantunya berdiri, “kau kenapa?” yang
menguatirkan keadaan istrinya, “Kay anak yang kuat, dia akan segera pulih,”
menyakinkan Sintia.
Sintia yang tak bisa menghancurkan harapan suaminya hanya
bisa memeluk dan menanggis di pelukan Darwin. Darwin membiarkan istrinya
melepaskan kesedihannya di pelukannya sambil menepuk pelat pungung Sintia.
***
“Ibu tidak apa-apa?” tanya Lica yang melihat ibunya
murung sejak pulang dari kantor polisi.
Dewi menolek dan berusaha untuk tersenyum, “kau sudah makan?” tanyanya dengan
menggunakan bahasa isyarat.
Lica mengangguk, “Ibu belum makan?”.
Tiba-tiba Dewi batuk, dia langsung menutup mulutnya
dengan tangan. Berkali-kali dia batuk, itu membuat Lica cemas dan langsung
bergegas ke dapur untuk mengambil minum. Setelah batuk berakhir, Dewi melihat
tangannya penuh dengan darah. Dewi panik, di tambah saat dia melihat Lica
datang mendekatinya dengan membawa segelas air. Dia langsung mengelap tangan
dan mulutnya dengan sarung yang dipakainya, agar Lica tidak melihat itu semua.
Lica tiba dengan membawa segelas air, “ini Bu,”
memberikan pada ibunya.
Dewi mengambil dan langsung meminumnya, “trimah kasih sayang”.
Lica tersenyum.
Setelah ibunya tidur, Lica keluar dari rumah dan melihat
Edwan sedang duduk di teras, “Kakak sedang apa?” tanyanya sambil duduk di
sebelah Edwan.
“Menunggu bintang
jatuh,” jawab Edwan dengan padangan tertuju ke langit.
Lica ikut memadang langit, “apa Kakak percaya dengan
bintang jatuh?”.
Edwan mengangguk.
“Sepertinya malam ini tidak ada bintang jatuh”.
Edwan balik memadang Lica, “apa ada yang ingin kau
inginkan?”.
Lica mengangguk.
“Apa?”.
“Kebebasan Ayah”.
Edwan memeluk Lica, “Ayahmu pastih akan bebas, dia orang
baik,” bujuk Edwan.
Lica hanya tersenyum mendengar perkataan Edwan yang
membuat hatinya tersajung.
***
Sintia menemui Dokter Acton di ruangannya. “Apa ada yang
ingin Kakak bicarakan?” tanya Dokter Acton heran meihat kakaknya menemuinya
sepagi ini.
“Aku ingin kau jangan mengatakan apa-apa dengan Darwin,”
kata Sintia yang tidak ingin suaminya tahu kenyataan yang akan terjadi pada
putranya.
“Kenapa Kak?! Kak Darwin harus tahu!” bingung apa yang
dipikiran kakaknya saat ini.
Sintia menatap Dokter Acton dengan tajam, “Kay belum
sadar! Kau tidak ada hak memponis Kay cacat atau tidak!” yang masih menyakinkan
Kay tidak akan cacat seperti apa yang dikatakan adiknya.
Dokter Acton hanya menghela nafas panjang.
“Kau harus membantuku, harus…”.
Dokter Acton mengangguk tanda dia akan membantu Sintia
apa yang akan dilakukannya.
***
Edwan mendekati Dewi yang masih terlihat murung di
perkarangan belakang rumah. “Ibu tidak apa-apa?” yang mulai menguatirkan
keadaannya.
Dewi menolek ke belakang dengan memaksakan tersenyum,
lalu menepuk tanah di sebelahnya tanda dia mengajak Edwan untuk duduk di
sebelahnya. Edwan mengikuti apa yang di
minta Dewi. Dewi membelai kepala Edwan dengan lembut, seperti dia mengharapkan
Edwan mau melakukan sesuatu untuknya tapi dia tidak bisa mengatakannya.
“Ibu baik-baik saja?” tanya Edwan lagi.
Dewi masih tersenyum dan membelai kepala Edwan.
***
Lica menemui ayahnya di kantor polisi. Dia memberitahukan
keadaan ibunya saat ini. “Semalaman Ibu murung dan sekali-kali aku melihat Ibu
menanggis,” kata Lica yang tak bisa menutupi kesedihannya juga.
Hendro semakin merasa bersalah apa yang dilakukannya, “apa
Ibu tidak mau bertemu dengan Ayah lagi?”.
“Ibu tidak mau ikut saat aku mengajak mengujungi Ayah”.
Hendro tidak bisa berkata apa-apa lagi, “jaga Ibu
baik-baik,” harapan Hendro yang sekarang sepenuhnya pada putri kecilnya.
Lica mengangguk.
“Maafkan Ayah”.
Lica berusaha ceria di hadapan ayahnya.
Dari kantor polisi, Lica segaja melewati tempat
latihannya belah diri. Dilihatnya seperti tidak ada aktifitas apa-apa di dalam
gedung dan tidak ada mobil BMW yang dilihatnya kemarin terpakir di depan
gedung. Lica segaja datang untuk bertemu dengan Kay yang berjanji akan datang
hari ini, tapi ternyata tidak ada siapa-siapa. “Apa dia sudah pergi,” yang
melihat matahari sudah sangat terik.
***
Budi menemui Hendro di penjara. “Aku akan membawa istrimu
ke rumah sakit untuk segera melakukan operasi,” kata Budi menepati janjinya.
“Tidak usah,” Hendro menolak.
“Tapi…”.
Hendro memotong perkataan Budi, “jika aku menerimahnya,
aku akan semakin bersalah pada istriku,” menuruti apa yang diinginkan istrinya,
“aku tidak akan melibatkan dirimu. Aku yang melakukannya, dan aku yang harus
menanggungnya,” Hendro yang besikeras dengan keputusannya.
“Terserah kau saja,” yang tak ingin memaksa apa yang
sudah di putuskan Hendro.
***
Ayu mendapatkan telpon dari anak buahnya, “apa! Kau sudah
menemukan putraku!” yang bahagia akhirnya bisa menemukan putranya yang hilang.
***
Di
rumah sakit tempat Kay di rawat hanya ada Sintia yang selalu menemani Kay
sepanjang waktu. Dia memadangin putranya sambil memengang erat tangannya.
Tiba-tiba jari-jari Kay bergerak pelan. Sintia sangat terkenjut, “Kay…” yang
senang melihat Kay perlahan-lahan membuka matanya. Spontan Sintia berteriak
memanggil Dokter, “Dokter… Dokter…!!” Sintia yang bercampur senang dan kuwatir.
Beberapa
saat kemudian Dokter Acton dan beberapa perawat masuk ke dalam kamar. “Kay…!”
panggil Dokter Acton yang mencoba mengetes mendengar ponakannya itu.
Kay
diam dan terlihat bingung.
Perawat
langsung melepaskan kabel-kabel dan selang oksigen dari tubuh Kay hanya selang infus yang tidak dilepaskan.
“Sayang…
kau sudah sadar” Sintia yang sangat bahagia melihat putranya telah sadar.
Kay
memadang mamanya bicara dengannya tapi tak ada suara yang sampai ke telinganya.
Dia hanya melihat gerakan bibir Sintia. “Mama bicara apa? Aku tidak mendengar
apa yang Mama katakan?” tanya Kay yang mulai ketakutan.
“Kay…
kau pastih bercanda khan…” yang masih tidak terimah kenyataan, “kau pastih
mendengar suara Mama khan!!” desak Sintia sambil meneteskan air mata.
Kay
masih memperhatikan gerakan bibir mamanya tapi tetap saja terasa sepi di
telingahnya padahal mamanya berulang kali mengerakan bibir, “aku tidak
mendengar!! Aku tidak bisa mendengar!!” teriak Kay sambil menutup telingahnya,
“aku tidak bisa mendengar… aku tidak bisa mendengar Ma… huhuhu…” Kay pun menanggis.
Sintia
langsung memeluk Kay erat-erat, “jangan takut sayang… Mama akan melindunginmu…
Mama akan melindunginmu…”. Walaupun Kay tidak bisa mendengar apa yang di
ucapkan Sintia, tapi dia mulai terlihat tenang saat Sintia memeluknya dengan
penuh kasih sayang.
***
Ayu mendatangi alamat yang di berikan anak buahnya.
Sebuah rumah yang bisa di bilang sangat sederhana. Dia mulai mengetuk pintu dan
berharap banyak dia tidak salah alamat. “Tok… tok… tok…!!”. Cukup lama Ayu
tidak mendapatkan jawaban dari dalam rumah itu membuat dia mulai ragu. Di dalam
rumah hanya terdengar suara orang batuk-batuk berkali-kali.
Di dalam rumah, Edwan sibuk mengambilkan minuman untuk
Dewi yang tidak berhenti batuk sejak tadi. “Ini Bu,” sambil membantu Dewi untuk
minum. Namun baru seteguk Dewi menelan air, tiba-tiba dia muntah darah. Dewi
belum berhenti batuk, dia terus batuk dan berkali-kali menguarkan darah dari
mulut dan hidungnya namun segera di lapnya.
Edwan yang melihat itu semua panik dan ketakutan. Dia
lalu keluar rumah untuk segera memintah pertolongan, namun di luar rumah
bertapa terkejutnya Edwan melihat ibu kandungnya sudah berada di depan pintu,
“Bunda!”.
“Edwan,” Ayu yang sangat bahagia melihat putranya.
Edwan tidak terbawa suasana, dia langsung menarik Ayu ke
dalam rumah, “ayo Bunda”.
Mengikuti Edwan, “ada apa Edwan?”. Bertapa terkejutnya
Ayu melihat wanita yang terkapar lemas di lantai, wajah dan pakaiannya
berumuran darah.
“Ibu…” Edwan yang akan membantu Dewi langsung di tahan
Ayu, “Bunda… kita harus membantu Ibu,” desak Edwan pada Ayu.
Ayu memengang kedua lengan Edwan sehingga Edwan bisa
menatapnya, “Bunda tidak akan membiarkanmu mendekati wanita penyakitan itu!!”.
“Bunda!” marah Edwan.
Ayu tidak memperdulikan sikaf perlawanan yang di tunjukan
Edwan padanya. Dia menyeret putranya keluar dari rumah dan memaksa Edwan masuk
ke dalam mobil. Setelah berhasil memasukkan Edwan ke dalam mobil, Ayu pun
bergegas meninggalkan tempat itu tanpa memperdulikan wanita yang telah
menampung putranya selama ini.
Jangankan untuk mengejar, berteriak pun Dewi tidak
sanggup lagi. Nafasnya seakan seperti sudah di ujung tenggorokan. Air matanya
menetes membayangkan dirinya bersama keluarga kecilnya sedang menikmati
hari-hari di rumah yang sudah 2 tahun di tempati mereka itu. Dan perlahan-lahan
matanya tertutup dan… Dewi pun menghebuskan nafas terakhir dengan meneteskan
air mata kesedihan.
Beberapa saat kemudian Lica kembali, dia langsung
memanggil ibunya, “Bu… Bu aku pulang,” sambil masuk ke dalam rumah. Bukan
mendapatkan ibunya yang sedang menyiapkan makan siang melainkan melihat ibunya
terkapar di lantai. Air matanya menetes sambil berteriak, “Ibu….!!!”.
***
Ayu membawa Edwan langsung ke rumah sakit menemui Darwin
yang yakin Darwin ada di rumah sakit saat ini. “Ayo turun!” minta Ayu.
Edwan masih duduk di tempatnya, “kenapa Bunda tidak
menolong Ibu?” tanyanya polos.
Ayu membuka pintu mobil sebelahnya, “Bunda tidak akan
membiarkanmu dekat dengan wanita penyakitan itu!” sambil memengang lengan
Edwan, “ayo!” lalu menyeretnya keluar, “Bunda akan mempertemukanmu dengan Ayah
kandungmu!!”.
Edwan mengikuti ibu kandungnya dengan terpaksa.
***
“Kakak harus segera beritahu Kakak ipar,” saran Dokter
Acton mengajak kakaknya berbicara di ruangannya.
Sintia mengangguk.
Sintia kembali ke kamar tempat Kay di rawat. Tapi di
dalam kamar tidak ada siapa-siapa, Kay menghilang. Sintia panik, “Kay…” dia
mencoba mencari di setiap sudur ruangan dan kamar mandi, tapi tetap saja dia
tidak bisa menemukan putranya, “Kay… Kay…!!” teriaknya yang cemas kehilangan
putranya.
Beberapa perawat masuk, “ada apa Bu?” tanya salah satu
mereka.
Sintia menanggis, “putraku… putraku…” yang sangat shock.
***
Hendro mendapatkan kabar dari salah satu polisi yang
memberitahukan istrinya meninggal beberapa jam yang lalu. Hendro sangat shock,
dia jatuh ke lantai dengan air mata menyesalan mengalir membasahi pipinya. Dia
teringat dengan kata-kata isyarat kekecewaan Dewi saat melihat dirinya berada
di dalam teruji besi, “lebih baik aku mati, dari pada aku melihamu
seperti ini”. Air mata semakin deras mengalir, dia sangat menyesalin
apa yang dilakukannya itu dan menyakinkan menyebab kematian istrinya di
karenakan dirinya.
Tangisan itu hanya sesaat, tiba-tiba Hendro tiba-tiba
tertawa sendiri tanpa ada sebab, “hahah…hahaha…haha…!!”. Tawanya semakin keras,
itu membuat pidana yang lain mulai ketakutan melihat keadaan Hendro.
***
Di perjalanan menuju tempat Kay di rawat, Ayu dan Edwan
berpapasan dengan Darwin yang akan masuk ke dalam lift. “Darwin!” panggil Ayu
sambil mendekatinya.
Darwin menghentikan langkahnya dan menolek ke arah Ayu,
“kau datang,” lalu melihat anak kecil yang datang bersama Ayu, “siapa dia?”.
“Putra kita,” jawab Ayu dengan mata berkaca-kaca.
“Apa!” Darwin terkejut.
“Dia Edwan, putra kita,” Ayu terus menyakinkan Darwin.
Darwin jongkok di hadapan Edwan, “kau putraku?” antara
percaya dan tidak.
Edwan tidak menujukan ekpresi apa-apa di wajahnya.
Dipikirannya saat ini hanya menguatirkan keadaan Dewi yang ditinggalkannya
begitu saja.
Darwin yang melihat Edwan yang menatapnya dengan padangan
kosong, dia berpikir Edwan pastih masih bingung melihatnya tiba-tiba muncul di
hadapannya. Darwin memeluk putranya dengan penuh kerinduraan, “maafkan Ayah…
Maafkan Ayah yang sudah mengelantarkanmu,” katanya.
Tanpa disadari mereka, Sintia sedang memperhatikan mereka
dari kejauhan. Air matanya terus menetes dengan penuh kekecewaan saat
mengetahui putra dari kekasih suaminya yang lahir sebelum mereka menikah telah
di temukan di tambah dia masih cemas Kay belum di temukan sampai saat ini.
Sesaat kemudian, hpnya bordering, Sintia langsung
mengangkatnya setelah mengetahui siapa yang menghubunginya dari layar hp,
“halo…” dia mendapatkan kabar bawah Kay sudah di temukan, “baiklah, aku akan
datang,” lalu menutup telpon. Sintia memberanikan dirinya untuk mendekati mereka,
“sayang…!” Sintia memanggil Darwin.
Darwin tersentak kanget melihat Sintia, “sayang,” yang
akan merangkul Sintia namun Sintia langsung menghindar, “sayang, aku akan
jelaskan”.
“Aku tak mau mendengarnya,” kata Sintia mulai menujukan
sikaf dingin, “aku ingin membawa Kay ke Amerika hari ini”.
Darwin terkejut, “kenapa tiba-tiba?! Apa terjadi sesuatu
pada Kay?!” yang belum tahu apa-apa tentang keadaan Kay.
“Kay tidak apa-apa. Dia hanya shock. Dan aku ingin
membantu menghilang tromanya”.
“Tapi sayang…”.
Sintia memotong perkataan Darwin, “aku sudah memesan
tiket, 4 jam lagi kami berangkat”.
Dengan terpaksa Darwin melepaskan istri dan putranya,
“baiklah, jika itu keputusanmu”.
Tanpa basa basi Sintia langsung meninggalkan mereka. Ayu
terlihat puas dengan keputusan Sintia untuk pergi. Itu bisa menjadi
kesempatannya untuk kembali bersama dengan Darwin.
***
Kay pergi meninggalkan rumah sakit. Shock, cemas,
ketakutan bercampur aduk yang dirasakannya saat ini. Suara kendaraan dan orang
yang melintasin dirinya tak bisa di dengarnya itu membuat Kay tambah keakutan.
Jangankan mendengar itu semua, suaranya saja tak bisa di dengarnya,
berkali-kali dia berteriak, tak sedikitpun suara melintas di
telingahnya,”ahhh…ahhh…!! Aaaahhh…!!”.
Orang-orang yang melihat itu semua hanya heran dan
bingung kenapa Kay tiba-tiba berteriak. Di pikiran mereka penuh dengan
pertanyaan dan pikiran yang macam-macam, baik itu kerasukan dan ada juga yang
mengira Kay gila karena Kay masih menggunakan pakaian rumah sakit. “Kasihan
masih kecil sudah gila,”kata di antara mereka yang mengerumuli Kay.
“Ahhh… aaahhh…!!” Kay terus berteriak sambil menutup
teligah dengan kedua tangannya.
Sebuah mobil BMW berhenti di gerumulan orang-orang
tersebut, ternyata itu Sintia. Sintia yang melihat putranya yang ketakutan
langsung bergegas keluar dari mobil, dan langsung memeluk Kay dengan eratnya,
“sayang…” Sintia yang merasakan penderitaan yang dirasakan Kay saat ini.
Kay melihat Sintia dengan mata berkaca-kaca, “Mama…”
rengeknya.
“Kita akan pergi, kita akan pergi,” lalu mengedong Kay
dan membawanya masuk ke dalam mobil, “jalan!” perintah Sintia pada Pak sopir.
“Baik Nyonya,” Pak sopir segera menjalankan mobil
meninggalkan tempat itu.
Kay masih memeluk mamanya dengan erat, seakan tidak ingin
terlepaskan lagi.
Di Bandara Sukarno_Hatta, Dokter Acton mendekati Sintia
dan Kay yang menunggu di bangku tunggu. Dokter Acton memberikan 2 Visa dan 2
tiket pesawat pada Sintia, “dua bulan lagi aku menyusul,” ucapnya.
Sintia mengambilnya.
Dokter Acton melihat Kay tertidur di pangkuan Sintia,
“kau harus pelan-pelan mengajarkannya gerakan bibir pada Kay,”sarannya.
Sintia memadang adiknya dengan penuh harap, “kau tidak
akan mengikari janjimu kan?”
“Kau tidak akan bisa selamanya berbohong”.
“Sampai saat itu tiba, aku akan terus melakukannya”.
Dokter Acton menarik nafas panjang melihat keangkuan
kakaknya.
Suasana terhening sejenak, “kau sudah tahu siapa yang
melakukan semua ini?” Tanya Sintia.
Dokter Acton diam.
“Siapa?” Tanya Sintia lagi yang yakin adiknya sudah tahu
pelaku yang mencelakai putranya.
Dokter Acton masih diam. Dia tidak berniat mengatakan semua itu pada kakaknya.
“;Apa dia di perintahkan oleh Ayu?”.
Dengan terpaksa Dokter Acton menganggu menyatakan apa
yang diperkirakan kakaknya selama ini benar. Kecelakaan yang menimpah Kay sudah
di rencanakan selama ini oleh Ayu. Tubuh Sintia lemah menahan masalah yang
menimpahnya, Kay yang berada di pangkuannya hampir jatuh, untungnya ada Dokter
Acton yang langsung menangkap Kay, “kakak tidak apa-apa?” kuatir Acton.
Terlihat jelas kebencian di mata Sintia, “Ayu akan
merasakan semua ini! Aku pastihkan itu!!” dendam Sintia yang sangat membara
pada Ayu yang sudah mencelakai putranya.
***
Di rumah, Darwin duduk di meja kerjanya sambil memikirkan
keputusan istrinya pergi membawa Kay tanpa menjelaskan apa-apa padanya. Semua
itu membuat dirinya serbah salah menjadi kepala keluarga. Beberapa saat
kemudian Ayu muncul dari balik pintu, “malam sayang…” sapanya sebelum masuk ke
dalam ruangan.
Darwin berdiri, “sebaiknya kau jangan memanggilku seperti
itu, aku tak mau orang-orang berpikir lain tentang kita,” katanya lalu berjalan
ke arah pintu.
“Aku tidak masalah,” menatap Darwin dengan mata
berkaca-kaca.
Darwin menghentikan langkahnya, dan menatap Ayu.
“Aku masih mencintaimu, sekarang, dan selamanya,” lalu
memeluk Darwin dengan erat, “aku mohon, jangan perlakukan aku seperti ini, aku
mohon…” menanggis di pelukkan Darwin. Sesaat Darwin membiarkan Ayu menanggis di
pelukkannya, namun sesaat kemudian tangannya mulai merangkul tubuh Ayu,
membuktikan dia menerima cinta Ayu. Ayu tersenyum, rencananya selama ini
berjalan seperti apa yang di harapakannya selama ini.
***
Setelah Ibunya di makamkan, di rumah hanya Lica seorang yang
tinggal. Di dalam rumah masih ada sisa-sisa minuman acara pemakaman yang berserakat
di lantai. Lampu rumah hanya sebagian di yalahkan, itu menambah suasana terlihat
sangat sunyi. Air mata berkali-kali menetes membasahi pipinya tapi dia tetap berusaha
untuk kuat dan tegar menghadapi masalah yang membelenggunya.
***
Bersambung