15
“Apa Alina
tidak masuk?” tanya Bob pada Nisa yang sedang menjaga meja kasir.
“Aku rasa
iya,” jawab Nisa.
“Sepertinya
aku harus segera membuka lowongan pekerjaan”.
Nisa
tersenyum, “semangat”.
“Hahaha…
kata-kata apa itu?”.
“Ya semangat”.
“Hahaha…” Bob
masih tertawa melihat Nisa memberi semangat padanya.
***
“Kau baru
pulang,” sambut Sarani pada Alina yang baru tiba.
“Ya,” Alina
memadang Pak Budi yang tidak berani menatapnya, “mana Ceri?”.
“Ceri sudah
tidur,” jawab Sarani.
“Aku tidur
dulu,” Alina masuk ke dalam kamar.
“Kenapa kau?”
tanya Sarani melihat Pak Budi tampak gelisah.
Pak Budi hanya
diam terpaku. Dia sangat merasa bersalah pada Alina karena perbuatannya.
***
“Kau baru
pulang sayang,” sambut Ibu Sari.
“Iya Bu,”
jawab Kay sambil duduk di sofa. Kay melihat Ibunya sedang beres-beres, “Ibu
serius akan ikut?” tanyanya.
“Mana mungkin
Ibu biarkan kalian tinggal berdua sampai kalian resmi menikah,” alasan Ibu yang
sebenarnya alasan utama Ibu Sari ikut Kay ke Amerika hanya tidak ingin perpisah
dengan putranya itu lagi.
Kay hanya
tersenyum walaupun sebenarnya dirinya tahu alasan utama Ibunya ikut ke Amerika.
***
Adriel sedang
menikmatin sarapannya di meja makan. Ketika sedang asik menikmatin sarapannya,
Adriel dikejutkan oleh Ibu yang membawa koper besar dan bersiap-siap untuk
pergi. “Ibu mau kemana?” tanyanya.
“Bukannya kau
menginginkan kita pergi dari rumah ini,” cetus Ibu.
Adriel sangat
senang akhirnya Ibu mau menurutin keinginannya, “Trimah kasih Bu”.
“Hahhh…!!” Ibu
tidak penduli dengan ucapan putranya itu.
***
Pak Budi
menemuin Rudi di Hotel Larisa. “Maaf… seharusnya aku memberitahumu dulu,”
katanya yang melihat Rudi yang nampak sedang sibuk.
“Tidak apa om.
Bukannya aku yang menyuruh om datang. Duduklah,” kata Rudi ramah sambil duduk.
Pak Budi
duduk, “trimah kasih”.
“Bagaimana
dengan keputusan om?”.
“Aku mau”.
“Baguslah…”
Rudi yang berhasil memasukkan Pak Budi dalam rencananya.
***
“Mana dia?”
tanya Alina pada Sarani keberadaan Pak Budi yang tidak nampak.
“Dia mau
menemuin temanmu yang mengantar kami pulang semalam,” jawab Sarani, “apa ada
yang salah?”.
“Tidak,”
sambil duduk.
Sarani ikut duduk,
“Budi sangat merasa bersalah padamu”.
“Aku sudah
bosan dengan kata-kata itu”.
“Alina…”.
“Aku sudah
lelah menjalanin hidup dengannya”.
“Aku
mengerti”.
Tiba-tiba hp
Alina berbunyi. Sebuah nomor baru menghubungin nomornya. Untuk memastikan siapa
yang menghubunginnya, Alina pun mengangkat telpon, “halo…” setelah
mendenggarkan apa yang dikatakan si penelpon, “iya. ini siapa?”. Alina tampak
terkejut saat si penelpon menyebutkan namanya, “Gilda…” yang tenyata Gilda yang
menelponnya, “baiklah. Aku akan datang,” lalu menutup telponnya.
“Dari siapa?”
tanya Sarani.
Alina tidak
menjawab.
Alina menemuin
Gilda di cave yang tak jauh dari pemukiman tempat dirinya tinggal yang
sebelumnya Gilda sudah memberitahu keberadaannya.
“Akhirnya kau
datang juga,” kata Gilda menyambut kedatangan Alina, “silakan duduk”.
Alina duduk,
“apa yang ingin kau bicarakan lagi?” tanyanya.
“Sepertinya
kau sudah sangat bosan bertemu denganku”.
Alina tidak
menjawab.
“Wajar jika
kau membenciku. Dan… aku tidak akan melarangmu untuk tidak membenciku”.
“Apa yang
sebenarnya ingin kau bicarakan?”.
“Aku mintak
maaf”.
Alina terkejut
mendenggar Gilda memintak maaf padanya, “apa!”.
“Aku tahu aku
salah. Dan aku baru menyadarinnya itu. Maafkan aku…” diam sejenak, “aku akan
kembali ke Bandung dan tak akan menganggu
hubungan kalian. Kalian berhak bahagia,” kata Gilda tulus melepaskan Kay
untuk Alina.
Alina hanya
tersenyum menanggapin perkataan Gilda padanya.
***
“Tok…tok…tok…tok…!!”
terdenggar suara ketukan dari luar. Sarani yang mendenggar suara ketukan pintu
segera membukakan pintu, “kau…” senang melihat Kay.
“Eehhh… apa
Alina ada?” tanya Kay”.
“Alina keluar
sebentar. Masuklah,” ajak Sarani.
Kay masuk ke
dalam rumah, “Alina kemana?” tanyanya sambil duduk.
“Aku juga gak
tahu, tapi dia menemuin seseorang”.
“Seseorang?”.
“Biar lebih
jelas kau tanyakan langsung pada Alina”.
“Baiklah”.
Beberapa saat
kemudian Pak Budi pulang dan melihat Kay berada di tempat tinggalnya.
“Kau baru pulang,” sambut Sarani.
“Iya,”
jawabnya, “kau sudah lama?” tanya Pak Budi pada Kay.
“Barusan saja
om”.
Pak Budi
duduk, “aku denggar kau akan membawa Alina dan Ceri ke Amerika?”.
“Maafkan aku
tidak langsung memintak ijin pada om. Aku tidak bermaksud tidak sopan”.
“Bawaklah
mereka pergi. Aku tidak ingin membuat mereka menderita terus menerus. Mungkin
dengan mereka jauh dariku mereka tidak akan menderita lagi, terutama Alina. Aku
sudah sangat membuatnya menderita, dan aku harap dia akan bahagia bersamamu”.
“Trimah
kasih”.
“Tapi jika
Alina tidak bahagia, kau akan berhadapan langsung denganku,” acam Pak Budi.
“Baiklah”.
Sarani legah
mendenggar perkataan Pak Budi yang menyetujuin hubungan antara Kay dan Alina.
***
Beberapa saat
kemudian setelah Alina pergi Adriel datang menemuin Gilda yang sebelumnya
mereka sudah janjian untuk bertemu, “kenapa harus di tempat ini kita bertemu?”
tanya Adriel.
Aku mengajak
Alina bertemu,” kata Gilda. Gilda melihat kekuatiran dari ekpresi wajah Adriel,
“jangan menujukkan wajah seserius itu. Aku hanya ingin memintah maaf”.
“Kau memintah
maaf?” seakan tidak percaya.
“Kenapa? Kau
pikir aku tidak bisa mintak maaf!”.
“Hahahaha…”
Adriel tertawa.
“Seharusnya
aku tidak mengatakannya padamu”.
“kau sudah
banyak berubah”.
Gilda
tersenyum mendenggar punjian yang dilontarkan Adriel padanya.
“Apa rencanamu
selanjutnya? Apa kau akan kembali ke Bandung?”.
“Ya… aku akan
kembali ke Bandung. Dan membuka hatiku untuk pria lain”.
“Kalau
denganku bagaimana?”.
“Jangan
menggodaku,” yang mengira Adriel hanya bercanda.
“Aku serius”.
Gilda menatap
Adriel.
***
Alina tidak
langsung pulang dia ke supermarket menemuin Bob untuk memberitahukan dirinya
akan mengudurkan diri dalam pekerjaan yang hampir sudah 5 tahun lebih di
tekuninnya itu, “terimah kasih selama ini kau selalu membantuku”.
Bob tersenyum,
“aku senang akhirnya kau bisa mendapatkan pria yang baik, dan aku harap kau
akan bahagia”.
“Aku akan
bahagia”.
“Kau harus
bahagia”.
Alina
tersenyum.
“Apa kita
masih berteman?”.
Alina memeluk
Bob, “kau salah satu teman terbaikku”.
“Ya… aku tahu
itu”.
Alina
melepaskan pelukkannya, “aku harus menemuin Nisa”.
“Dahhh… sampai
jumpah lagi”.
“Ya… sampai
jumpah,” lalu Alina pergi meninggalkan supermarket dan langsung menuju kosan
Nisa yang jaraknya lumayan jauh dari supermarket.
Beberapa saat
kemudian Alina sampai di kosan Nisa. Kedatangannya disambut hangat oleh Nisa
walaupun sebenarnya Alina mengganggu istirahatnya. “Kau datang ke sini untuk
mengucapkan selamat tinggal,” sedih Nisa.
“Kita akan
ketemu lagi,” hibur Alina.
“Kau akan
kembali?”.
“Mungkin”.
Nisa memeluk
Alina, “jangan lupakan aku”.
“Kau sahabatku
dan akan selamanya menjadi sahabatku”.
“Kau
juga. Aku tidak pernah terpikir
sedikitpun kau akan pergi jauh”.
“Terimah kasih
kau sudah menjadi sahabat yang terbaik untukku. Dan… sekarang kau harus
memikirkan masa depanmu”.
“Maksudmu??”.
“Bukannya Bob
sudah memberikan isyarat denganmu,” goda Alina.
“Apaan sih…”
malu Nisa.
“Jangan di
sia-siakan”.
“Apaan sih…”
Nisa semakin malu wajahnya nampak kemerah-merahan.
***
Adriel
mengantar Gilda pulang. Setiba di depan rumah Gilda. Gilda tidak berniat
langsung keluar dari mobil, “apa kata-katamu itu serius?” tanyanya yang masih
membahas perkataan Adriel sewaktu di cave.
“Aku serius,”
jawab Adriel.
“Tapi kau tahu
kan aku tidak mencintainmu?”.
“Aku pun tidak
mencintainmu. Tapi… aku akan belajar mencintainmu. Aku rasa dengan berjalannya
waktu aku bisa mencintainmu”.
Gilda
tersenyum sendiri, “satu hal yang tidak bisa aku lupakan darimu”.
“Apa?”.
“Kau selalu
menujukkan kerokmatisanmu walaupun kau tidak mencintainku”.
“Hahaha… aku
hanya ingin melihatmu bahagia”.
“Kenapa?”.
“Karena jika
aku menyakitinmu saat itu, itu sama saja aku menyakitin dua wanita sekaligus”.
Gilda
tersenyum.
***
“Kau baru
pulang,” sambut Sarani pada Alina yang baru pulang.
“Iya,” jawab
Alina dengan tatapannya melihat Pak Budi yang tidak seperti biasanya ada di
rumah.
“Tadi Kay
datang,” Sarani memberitahukan kedatangan Kay.
“Benarkah,”
bingung Alina kenapa Kay tidak memberitahukan kedatangannya.
“Aku ingin
bicara denganmu,” kata Pak Budi pada Alina.
“Ayahmu banyak bicara dengan Kay,” bisik Sarani,
“eeehhh… aku akan bereskan pakaian Ceri,” alasan Sarani lalu masuk ke dalam kamar untuk menyiapkan
pakaian Ceri yang akan dibawaknya besok.
Alina duduk,
“mau bicara apa?”.
“Aku sudah
mendapatkan pekerjaan,” Pak Budi memberitahukan pekerjaan barunya, “memang hanya
satpam, tapi aku harap kau tidak malu dengan pekerjaanku itu”.
Mata Alina
berkaca-kaca, “aku… aku tidak akan memintak macam-macam padamu. Tapi aku harap
selama aku pergi, kau harus menjaga kesehatanmu”.
Pak Budi tidak
bisa menahan air matanya agar tidak keluar, “trimah kasih kau selalu ada
untukku. Seberapa buruknya aku, kau selalu ada untukku,” sambil menanggis.
“Aku lakukan
itu karena hanya kalian keluargaku”.
Kali ini Pak
Budi sangat menyesalin apa yang dilakukannya selama ini, “maafkan aku”.
Alina memeluk
Pak Budi, “aku harap pas pernikahanku kau datang, dan menjadi waliku”.
“Ya… aku akan
datang, aku akan datang”.
“Trimah
kasih”.
Dari pintu
kamar Sarani memperhatikan Alina dan Pak Budi. dia terharum melihat kejadian
itu yang membuatnya menanggis.
Pak Budi
melepaskan pelukkan Alina, “kau harus istirahat. Besok kau berangkan kan??”.
“Ya. Selama
malam,” Alina masuk ke kamar.
“Apa kau akan
kembali?” tanya Sarani.
“Ya. O iya…
kau juga harus datang pas penikahanku”.
“Aku?”.
“Iyalah.
Kitakan sekarang keluarga”.
“Kau bilang
kita keluarga?” Sarani yang sangat bahagia mendenggar kata-kata Alina yang
tidak disangkahnya Alina bisa mengganggapnya sebagai keluarga.
“Iya kita
keluarga,” Alina menyakinkan Sarani.
“Aku pastih
datang, pastih…”.
Alina
tersenyum. “Aku telpon Kay dulu,” sambil mengambil hp dari saku celananya.
“Iya”.
Alina menelpon
Kay, “halo…”.
“Halo… kau
kemana saja seharian?” tanya Kay.
“Banyak tempat
yang harus aku kujungin”.
“Apa sudah
semuanya?”.
“Belum.
Tinggal satu tempat yang harus aku kujungin. Dan aku harap kau bisa menemaninku
besok ke sana”.
“Baiklah.
Sebelum berangkat kita akan ke sana. Tapi kemana kita?”.
“Menemuin
Ayahmu”.
“Apa!” Kay
tampak terkejut.
“Sampai
besok”.
“Ya… mimpi
indah”.
“Dahhh…” Alina
menutup telponnya. “Aku bereskan pakaianku dulu”.
“Biar aku
bantu,” kata Sarani.
“Ya”. Dengan
bantuan Sarani, Alina memasukkan barang-barang yang akan dibawaknya ke Amerika
besok ke dalam koper yang besar.
***
“Kau kenapa
sayang?” tanya Ibu Sari melihat Kay yang murung setelah menerima telpon dari Alina.
“Alina
mengajakku besok bertemu dengan Ayah”.
Ibu Sari
tersenyum melihat sikaf Alina yang tidak mau menyerah menarik perhatian Ayah
walaupun Alina tahu Ayah tidak akan menyukainnya.
***
Adriel dan Ibu
sarapan bersama di rumah lama mereka. Walaupun tidak sebesar rumah Ayah, Adriel
lebih nyaman tinggal di rumah peninggalan Ayah kandungnya itu.
“Apa kau akan
tetap bekerja di perusahaan Ayah tirimu?” tanya Ibu.
“Iya. Ayah
memintahku untuk tetap di perusahaan,” jawab Adriel.
“Untunglah dia
tidak memecatmu!”.
Adriel hanya
tersenyum, “o iya. Aku ingin mempertemukan Ibu dengan seorang wanita”.
Ibu teringat
kebersamaan antara Adriel dan Alina yang dilihatnya sewaktu itu, “kau akan
menikah dengan Alina!!” marah Ibu.
“Alina?”
bingung Adriel, “haha... haha…” Adriel tertawa yang menduga Ibunya pastih salah
paham.
“Kenapa kau
tertawa?!” bingung Ibu.
“Alina
sekarang bersama Kay Bu. Dan mereka akan segera menikah”.
“Apa!”.
“Hahaha… Ibu
salah paham Bu hahaha…,” yang masih tertawa.
“Lalu siapa
wanita yang kau maksud??”.
“Pagi
semuanya…” sapa Gilda yang tiba-tiba muncul.
Ibu langsung
menangkap kedatangan Gilda yang tiba-tiba, “jangan kau bilang dia wanita yang
kau maksud itu??!”.
“Kami akan menikah
Bu”.
“Apa!!”.
Gilda
mendekatin meja makan, “aku harap tante sudah banyak perubahan selama kita
tidak bertemu”.
“Diam kau!!”
kesal Ibu.
Adriel dan
Gilda hanya tersenyum menanggapin kemarahan yang ditunjukkan Ibu pada mereka
berdua.
***
Kay dan Alina
menemuin Ayah di Hotel Ratu. Kedatangan mereka disambut dingin oleh Ayah. “Mau
apa kalian datang?!!” katanya penuh kekesalan.
Kay dan Alina
berusaha untuk tidak ikut emosi. “Hari ini kami akan pergi,” ucap Kay.
“Pergilah”.
“Seberapa
bencinya Ayah denganku, Ayah tetap Ayah kandungku”.
Ayah diam.
“Aku harap
tuan tidak selamanya membenci kami”.
Ayah masih
diam.
“Kita harus
pergi,” bisik Kay pada Alina.
Ayah masih
menujukkan keegoisannya.
“Sampai jumpah
tuan,” kata Alina ramah.
“Ayo...”.
Mereka berdua pergi meninggalkan Hotel dan langsung menuju bandara
Sukarno-Hatta.
***
“Kenapa kauu tidak
mengantar mereka?” tanya Sarani.
“Aku harus
kerja,” alasan Pak Budi yang sudah memakai seragam satpam, “aku tak mau hari
pertamaku kerja aku tidak masuk”.
Sarani tahu
itu hanya alasan Pak Budi saja, “jadi kau serius dengan kerjaan ini?”.
“ya iyalah. Mana
mungkin aku sia-siakan kesempatan ini”.
“Kau selalu
menyia-yiakan kesempatan”.
“Jangan
menyalahkan trus”.
***
Alina dan Kay
tiba di bandara Sukarno-Hatta. Ibu Sari dan Ceri sudah menunggu kedatangan
mereka sejak dari tadi. “Kalian kemana saja?!” tanya Ibu Sari pada mereka
berdua.
“Maafkan
kami,” kata Alina.
Terdenggar
suara panggilan untuk seluruh penumpang keberangkatan menuju Negara Amerika
untuk segera menaikin pesawat karena akan segera lepas landas.
“Sudah di
panggil. Ayo…” ajak Kay.
Lalu mereka berempat
memasukkin gerbang keberangkatan. Alina menghentikan langkah karena rasa ragu
mulai menyelimutin dirinya untuk meninggalkan tempat kelahirannya. Namun itu
hanya sesaat ketika Kay memengang tangan tangannya seakan memberi keyakinan
padanya. Tanpa ada rasa lagi Alina melangkah mengikutin Kay memasukkin gerbang
keberangkatan.
Beberapa saat
kemudian pesawat internasional dengan
tujuan Amerika akan segera lepas landas dari bandara Sukarno-Hatta.
***
Sebulan
setelah mereka berada di Amerika, mereka
melangsungkan pernikahan. Tidak lama mereka menunggu momongan. Tahun pertama
pernikahan mereka, mereka dikaruniain seorang putra yang mereka beri nama
Potter Dwi Andika. Kebahagian itu tidak terhenti di situ saja, tahun ketiga
pernikahan mereka, mereka dikaruniain seorang putri yang di beri nama Princess
Beauty. Tahun keempat pernikahan mereka, mereka dikaruniain seorang putra lagi
yang di beri nama Boby Prengky. Kenahagian menyelimutin keluarga kecil yang
mereka buat.
Tak terasa
sudah 6 tahun mereka meninggalkan Negara Indonesia. Dan akhirnya mereka
memutuskan untuk kembali ke Indonesia membawa ketiga anak-anak mereka.
Dibandara
Sukarno Hatta mereka di jemput oleh Bob dan Nisa yang segaja datang menjemput
mereka, “Alina…!!” teriak Nisa saat melihat melihat Alina keluar dari bandara
bersama Kay.
“Nisa…!! Alina
yang sangat bahagia bisa bertemu dengan sahabat baiknya lagi, “aku sangat
merindukanmu,” kata Alina sambil memeluk Nisa melepaskan kerinduannya.
“Aku juga…”
yang sama rindunya dengan Alina, “mana anak-anak kalian?!” tanya Nisa yang
tidak melihat ketiga anak-anak Kay dan Alina.
“Mam…!!”
terdenggar suara teriakan memanggil Alina dengan sebutan Mam.
Alina
menyambut ketiga anak-anaknya yang baru keluar, “ada apa?”.
“Brother took my doll again!” kata Princess mengadukan
kenakalan si Kakak dengan menggunakan bahasa inggris.
“No. Mon I do not do it ... Bob!” Potter membela diri juga menggunakan
bahasa inggris.
” No Mom ... I do not do it!”
bantah Boby juga menggunakan bahasa inggris.
“Mom doll ...”
rengek Princess.
Kay yang sudah
terbiasa mendenggar suara ribut anak-anaknya hanya bisa menarik nafas panjang.
Sedangkan
Alina yang sudah menahan emosinya sejak tadi akhirnya terlepas juga, “diam…!!
Bisakah kalian tidak mengambil barang satu sama lain!!” marah Alina dengan menggunakan
bahasa Indonesia.
Mereka bertiga
diam tidak berani menjawab.
“can not!!?” tanya Alina lagi.
“Ya Mam…”
jawab mereka serentak.
Alina menolek
kearah kedua sahabatnya yang sudah menikah 2 tahun yang lalu, “kalian kenapa?”.
Bob dan Nisa
masih begong. Bukan karena Alina yang marah dengan anak-anaknya melainkan
kelancaran ketiga anak-anak Kay dan Alina yang lancar berbahasa Inggris,
padahal umur mereka masih berumur 5
tahun, 3 tahun dan 2 tahun tapi sudah sangat lancar berbahasa Inggris. Tapi itu
wajar saja karena sejak mereka lahir, mereka sudah tinggal di Amerika dan sudah
terbiasa dengan berbahasa Inggris. Hanya sekali-kali Alina mengajarkan bahasa
Indonesia pada ke tiga anak-anaknya.
***
“Siang sayang…”
Adriel baru kembali dari perusahaan
untuk makan siang bersama keluarganya.
“Bukannya
katamu kau tidak akan pulang untuk makan siang,” heran Gilda.
“Rapatnya di
tunda sayang,” jawabnya, “mana putriku?” mencari anaknya hasil dari
pernikahan dengan Gilda 4 tahu yang
lalu.
“Ayah…!!” teriak Salila sambil berlari
mendekatin Ayahnya.
Adriel
langsung mengedong putri kecilnya yang masih berumur 3 tahun, “apa yang kau
lakukan selama Ayah tidak ada?” tanyanya.
Salila
tersenyum manja.
“Salila!!”
terdenggar teriakan Ibu yang sangat keras dari lantai dua.
“Salila…”
curiga Gilda yang nyakin putri kecilnya melakukan sesuatu pada mertuanya.
“Apa yang kau
lakukan?” tanya Adriel lembut.
“Aku gak
segaja menjatuhkan cicin nenek ke toilet,” jujur Salila.
“Apa,” mereka
berdua kanget mendenggar pengakuan yang utarakan putri kecil mereka.
***
Dari bandara
mereka langsung ke rumah orang tua Alina. Kedatangan mereka disambut gembira
oleh Pak Budi dan Sarani yang sudah menunggu kedatangan mereka sejak tadi.
Ketika mobil berhenti di depan rumah Potter, Princess dan Boby langsung keluar
mendekatin Pak Budi, “Kakek…” panggil mereka serentak.
“Cucu-cucuku…”
sambut Pak Budi, “Kakek sangat merindukan kalian,” yang sudah 8 bulan tidak bertemu.
“Kami juga
Kek,” kata Potter.
“O… Kakek ada
kejutan untuk kalian,” Pak Budi mengambil kejutan untuk cucu-cucunya dati dalam rumah. Tak lama kemudian Pak Budi
keluar membawa 2 kantong kecil kelereng dan boneka beruang, “ini untuk kalian,”
memberikan satu kantong kelereng pada Potter dan satu kantongnya lagi di
berikan pada Bob dan boneka di berikan pada Princess cucu satu-satunya
perempuan.
“Terimah kasih
Kek,” kata mereka serentak. “Papa I can doll again,” kata Princess pada Kay.
“Brother and sister do not let you pick it up again,” nasehat Kay.
“Yes”.
“Good”.
***
Keesokannya, Kay, Alina dan ketiga anak-anak mereka
mendatangin rumah orang tua Kay. Mereka
tidak langsung masuk ke dalam rumah, mereka menunggu sampai gerbang pagar
terbuka.
Potter dan Bob
menanggis karena pertengkaran antara kakak adik, “huhuhu… huhuhu… huhu…”. Alina tidak memihak di antara mereka. Alina langsung
memarahin mereka berdua, “jika kalian tidak juga diam, Mom dan Papa akan
menitipkan kalian ke rumah Nenek!!” acam Alina.
“Papa…
huhuhu…huhu…” mereka berdua memintah perlindungan dari Kay sang Papa.
“We
recommend that you listen to
the words of Mama ...” saran Kay pada kedua
putranya.
“We'll tell Grandpa,” rengek Potter.
“Apa. Kau
sudah berani mengacamku!!”.
“Huhuhu…huhu…huhuhu…”
mereka masih merengek.
“Basic brat!”.
Gerbang pun
terbuka. “Kakek…” mereka bertiga langsung berlari mendekatin Ayah yang segaja
datang menyambut ketiga cucu-cucunya yang sudah sebulan tidak bertemu. Ayah
sering bolak balik ke Amerika hanya ingin bertemu ketiga cucu-cucunya. Karena
itu ketiga cucu-cucunya tidak asing lagi dengan wajah Ayah karena sudah seringnya
mereka bertemu.
“Senang
melihat Ayah lagi dan aku harap Ayah sehat selalu,” kata Alina ramah.
“Tutup
pintunya!! Aku tidak ingin melihat mereka!” perintah Ayah pada anak buahnya
untuk menutup gerbang kembali.
Alina masih
menujukkan senyuman sampai gerbang pagar tertutup rapat.
“Maafkan
Ayahku,” ucap Kay memintah maaf akan sikaf dingin Ayah pada Alina.
“Sudahlah.
Setidaknya Ayah masih menerima putra putri kita, itu sudah satu tanda hatinya
mulai luluh,” kata Alina menghibur dirinya sendiri.
“karena sikafmu
yang selalu tegar membuatku sampai saat ini masih mencintainmu,” kata Kay.
“Benarkah”.
Kay mengajak
Alina meninggalkan komplek perumahan tempat Ayah tinggal dengan berjalan kaki,
“aku harap kita akan selamanya seperti ini,” sambil merangkul Alina.
“Aku juga,”
jawab Alina.
Dengan
senyuman yang masih menghiasin wajah mereka, mereka melangkah dengan penuh
cinta dan kasih sayang menjalanin hidup sampai maut memisahkan mereka berdua.
Cinta, harapan
dan perjuangan akan selalu beriringan dalam menjalin suatu hubungan. Saling
mengerti dan saling menyayangin selalu menghiasin kehidupan setiap manusia.
Karena cinta itu unik dan akan selalu unik sampai dunia ini berakhir.
***
Taman