14
Ibu
mendapatkan telpon dari anak buahnya. Tampak jelas kekecewaan dari raut wajah
Ibu, “dasar bodoh!!” langsung dimatikan telponnya, “aaahhh!!!” kesal Ibu
rencananya tidak berjalan dengan sempurna.
Adriel yang
melihat Ibu kesal lalu mencoba bertanya, “apa ada masalah Bu?”.
Ibu menolek,
“tidak”.
“Ibu tidak
melakukan apa-apa kan?”.
“Sejak kapan
kau mencampurin urusan Ibu!!?” marah Ibu.
“Aku harap Ibu
tidak melakukan apa-apa,” kata Adriel yang masih mencuringain Ibu kandungnya
itu.
Ibu tidak
penduli dengan perkataan Adriel. Dia masih kepikiran dengan rencananya yang
gagal total.
***
Sarani semakin
kesal melihat Pak Budi yang tidak
berusaha untuk mencari Alina yang sejak tadi siang tidak kembali. “Kau tidak
mencari Alina?!!”.
“Untuk apa aku
mencarinya?”.
“Apa!!”.
“Biarkan saja
dia pergi,” kata Pak Budi yang sebenarnya merasa bersalah pada Alina.
“Kau ini!!”.
“Bukannya dia
sendiri bilang dia akan pergi”.
“kau ini…!!”
karena tidak mau lagi ada keributan di tambah hr sudah malam membuat Sarani
menahan amarahnya. Dia pun masuk ke dalam dan melihat Ceri yang nampak murung,
“’kau kenapa belum tidur?” tanyanya.
“Apa Kakak
akan pulang?” tanya Ceri.
Cukup lama
Sarani menjawab pertanyaan Ceri, “besok Alina akan pulang”.
“Benarkah?”.
“Iya,” yang
tidak ingin melihat Ceri bersedih, “tapi sekarang kau harus tidur. Bukannya besok sekolah?”.
“Baiklah,”
Ceri menidurkan tubuhnya dan kemudian menutup matanya. Sarani membelai kepala
Ceri seperti sedang menidurin anak
kandungnya sendiri. Karena kasih sayang yang ditujukkan Sarani membuat Ceri
nyaman dan lama kelamaan Ceri pun tertidur lelap.
***
Hari sudah
pagi, sinar matahari sudah nampak jelas menyinarin bumi yang setiap saat akan
berputar pada porosnya. Alina baru sadar dari pingsannya yang sejak semalaman
tidak sadarkan diri. Perlahan-lahan dirinya membuka mata sambil bertanya dalam
hatinya, apa yang terjadi? Dimana aku??. Heran keberadaannya yang tidak
mengenal kamar yang di tidurinnya itu di tambah pakaian yang di kenakannya
sudah berganti dengan pakaian yang lebih menarik. Perlahan-lahan Alina
mengingat kejadian semalam sampai dirinya tidak sadarkan diri. Sesaat Alina
mulai teringat dengan kejadian saat dirinya dibawah anak buah lintenir ke bar.
Spontan Alina langsung bangkin dari tempat tidur. Perasaan takut mulai
menyelimutin dirinya lagi. Alina pun memutuskan keluar dari kamar untuk
menjawab semua pertanyaan di benaknya. Alina keluar dari kamar dan melihat
seorang pria yang menolongnya kemarin sedang menikmatin sarapan di meja makan,
“permisih…” Alina mencoba untuk menyapa.
Rudi menolek,
“kau sudah bangun? Ayo kita sarapan?” ajaknya.
“Kau?”.
“Aku Rudi
sahabat Kay,” Rudi memperkenalkan diri dengan senyuman yang tidak pernah hilang
dari wajahnya.
Alina hanya
diam menanggapin Rudi yang memperkenalkan dirinya.
Rudi berdiri,
“kemarin saat aku menolongmu Kay yang menelpon. Kay bilang dia seperti
merasakan kau sedang kesusahan karena itu dia menyuruhku untuk menjagamu,”
penjelasan Rudi, “dan kebetulan sekali kita bertemu. Sepertinya bantin kalian
sudah bersatu sampai Kay tahu kau membutuhkan pertolongan”.
“Kau belum
cerita apa-apa pada Kay kan?”.
“Belum”.
“Aku mohon
jangan cerita apa-apa pada Kay,” mohon Alina yang tidak ingin Kay kuatir.
Rudi mengalihkan
pembicaraan, “nanti malam Kay tiba”.
“Kau tidak
akan mengatakannya kan?” Alina yang tidak terpancing dengan alihan pertanyaan
Rudi.
Rudi diam
tidak menjawab apa-apa.
***
Bob mengantar
Nisa pulang ke kosannya. “Semalam Alina tidak masuk lagi,” keluh Nisa sambil melihat
reaksi yang akan ditunjukkan Bob saat dirinya berkata seperti itu.
“Mungkin dia
lagi ada urusan,” Bob yang tidak terlalu menanggapin perkataan Nisa. Dia terus
terkosen dengan setir mobilnya yang akan diarahkan mobilnya ke kosan Nisa.
“Kau tidak
kuatir?” pancing Nisa.
Bob menolek,
“kau ingin aku kuatir?”.
Nisa membuang
muka.
Bob tersenyum
melihat reaksi yang ditunjukkan Nisa.
“Kenapa
tersenyum? Memang ada yang lucu?”.
“Kau yang
membuatku tersenyum”.
“Apa! Memang
aku boneka!”.
Bob semakin
lebar tersenyum.
Walaupun kesal
Nisa senang melihat Bob tersenyum karena dirinya. Itu satu kebagaan yang tidak
bisa dilupakannya.
***
“Apa kakak
akan pulang?” tanya Ceri pada Sarani yang akan mengantarnya ke sekolah.
“Mungkin,”
jawab Sarani yang tidak pastih.
“Kok mungkin”.
“Alina pastih
kembali”.
Ceri puas
dengan jawaban Sarani, “benarkah”.
“Masuklah,”
perintah Sarani.
“Baiklah,”
Ceri pun segera akan masuk ke dalam perkarangan sekolah namun langkahnya
terhenti saat seseorang memanggil namanya dari arah tak jauh Sarani berdiri.
“Ceri…”
panggil Alina yang segaja datang ke sekolah Ceri.
Ceri dan
Sarani menolek. “Kakak…” Ceri berlari mendekatin Alina dan langsung memeluknya,
“Kakak…”.
Alina membalas
pelukkan Ceri, “maafkan aku”.
“Kakak tidak
akan pergi kan?”.
Alina tidak
menjawab dia hanya tersenyum.
“Kakak tidak
akan pergi kan?” Ceri bertanya lagi.
Tiba-tiba
terdenggar suara lonceng sekolah yang berbunyi beberapa kali tanda pelajaran
akan di mulai. “Masuklah, lonceng sudah bunyi,” kata Alina legah dengan tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan
Ceri.
“Iya Kak. Tapi
Kakak tidak kemana-manakan?” Ceri terus bertanya.
Sarani yang
melihat Alina bingung menjawab pertanyaan Ceri. Dia pun mencoba menjawab,
“Kakakmu tidak akan kemana?” Sarani menyakinkan Ceri.
“Benarkah?”.
“Iya. Masuk
sana”.
“Baiklah,
dahhh…” Ceri pun berlari masuk ke dalam sekolah.
“Trimah
kasih,” kata Alina yang merasa Sarani sudah membantunya menjawab pertanyaan
yang dilontarkan Ceri padanya.
“Ayo kita
pulang,” ajak Sarani. Alina mengikutin
Sarani pulang ke rumah. Mereka berjalan berdua menuju rumah yang tidak
begitu jauh dari sekolah. Sarani mencoba membuka obrolan, “kau tadi kenapa
tidak menjawab pertanyaan Ceri?” tanyanya sambil berjalan.
Alina diam.
“Apa kau
serius akan pergi?”.
“Kay
mengajakku menetap di Amerika”.
Sarani diam
sejenak, “dia melamarmu?”.
“Kay ingin
menikah denganku dan mempunyai anak dariku”.
“Itu tandanya
dia melamarmu,” Sarani yang ikut bahagia, “apa kau sudah memberi jawaban?”.
“Belum”.
“Kenapa?”.
Alina diam.
“Apa karena
Ceri dan Budi?”.
“Ya”.
“Wajar kau
ragu. Siapapun akan terganggu dengan kehadiran mereka berdua, terutama Ayah
tirimu,” Sarani yang mengerti perasaan Alina saat ini.
Alina tidak
menjawab, dia hanya memperhatikan Sarani yang menujukkan perhatian dengannya,
“trimah kasih”.
“Untuk apa?”
bingung Sarani.
“Untuk
semuanya”.
“Kau ini,”
malu Sarani. Tiba-tiba terdenggar suara hp berbunyi. “Hpmu bunyi”.
Alina langsung
mengangkat hpnya yang masih berbunyi, “halo…” lalu mendenggarkan apa yang
dikatakan si penelpon padanya, “baiklah. A… aku akan datang,” Alina yang tampak
gugup.
Sarani yang
melihat Alina nampak kebingungan setelah menerima telpon lalu bertanya, “dari
siapa?”.
Alina menatap
Sarani, “Ayah Kay. Dia ingin bertemu denganku”.
“Kenapa kau
tidak bersemangat? Seharusnya kau semangat bertemu dengan calon mertuamu,” goda
Sarani.
Alina hanya
tersenyum menutupin apa yang terjadi
bahwa sebenarnya Ayah Kay tidak menyukain dirinya.
***
Dibandara
Sukarno-Hatta Kay keluar dari bandara dengan mengenakan jaket hitam dan kaca
mata hitam. Dia menyambut gembira dirinya yang telah tiba di bandara Jakarta.
Kay menepatin janjinya pada Alina bahwa dirinya akan kembali untuknya. Awalnya
Kay mau menghubungin Alina namun terhenti saat teringat kata-kata Alina, “aku tunggu, aku akan tunggu disini”. Kay
tersenyum saat teringat kata-kata itu, “baiklah. Aku yang akan menunggumu,”
lalu meninggalkan bandara menggunakan taxi yang
kebetulan lewat di bandara.
***
Adriel segaja
menemuin Gilda di rumahnya. Gilda yang kurang enak badan tampak terhibur dengan
kehadiran Adriel. “Aku senang kau datang,” katanya.
“Kau sakit?”
tanya Adriel melihat Gilda memakai pakaian tebal.
Gilda hanya
tersenyum.
“Apa perluh
kita ke dokter?”.
“Tidak. Aku
sudah minum obat”.
“Kau harus
jagah kesehatan”.
Gilda senang
melihat perhatian yang ditunjukkan Adriel padanya. Namun itu hanya sesaat
ketika dirinya teringat dengan masa lalu, “maafkan aku yach…”.
“Untuk apa?”.
“Mungkin jika
aku menolak pernikahan itu kau tidak akan meninggalkannya”.
Adriel
mengerti maksud perkataan Gilda padanya, “itu sudah berlalu, aku tidak ingin
mengingatnya kembali,” menarik nafas panjang, “sekarang aku hanya ingin
menjalanin hidupku yang sekarang”.
“Kau memang
tidak pernah berubah”.
“Apa kau akan
menjalanin kehidupanmu ini trus?”.
Gilda mulai
memikirkan perkataan Adriel. Adriel benar dia harus mulai menjalanin hidupnya
yang sekarang, jangan menyia-yiakan hidup dengan melakukan yang tidak berguna.
***
Alina segera
datang ke lestoran Hotel Ratu tempat dimana Ayah ingin bertemu dengannya.
Kedatangannya disambut dingin oleh Ayah yang masih tidak menyukainnya di tambah
keputusan Alina untuk kembali bersatu dengan Kay. “Soreh om…” sapa Alina yang
masih bersikaf ramah pada Ayah.
“Duduklah,”
perintah Ayah.
Alina duduk.
Suasana
terhening sejenak, “kau tahu kenapa aku ingin bertemu denganmu??”.
“Ya,” Alina
yang mengetahuin kenapa Ayah mau bertemu dengannya, “maafkan aku. Aku tidak
bisa melepaskan Kay”.
“Apa katamu?!”
Ayah yang tampak marah dengan jawaban yang diberikan Alina.
“Maafkan aku, aku
tidak bisa melepaskan Kay,” Alina mengulang kata-katanya lagi.
“Aku akan
menghapus nama Kay sebagai pewarisku dan Kay akan kehilangan segalanya!!” ancam
Ayah.
Alina diam,
dia tidak ingin Kay kehilangan apa yang harus menjadi haknya karena dirinya.
Ayah yang
melihat Alina diam mulai berpiki jelek tentangnya, “kenapa kau diam?! Kau tidak
ingin hidup susah!!”.
Alina
tersenyum, “mungkin tuan benar, aku takut hidup susah. Karena takut aku berkali-kali melakukan bunuh diri. Tuan
benar, aku tidak ingin hidup susah,” dengan mata berkaca-kaca, “tapi aku sudah
menjalaninnya selama ini,” diam sejenak, “tapi aku sudah mendapatkan satu
pelajaran dari seseorang,” mengingat perkataan Ibu Sari padanya, “aku tidak
ingin sia-siakan hidupku lagi. Aku tidak ingin melakukan itu lagi”.
Walaupun
sebenarnya Ayah mulai terharum dengan kata-kata yang diucapkan Alina tapi Ayah
masih menujukkan keras kepalanya, “kau ingin mengajarinku!!”.
“Maafkan aku,
aku gak bermaksud mengajarin tuan. Aku hanya ingin katakan bahwa aku siap hidup
susah bersama Kay”.
“Apa
katamu!!”.
“Aku tidak
akan melepaskan Kay sampai Kay sendiri yang melepaskanku”.
“Kau…!!” marah
Ayah.
“Maafkan aku”.
“Aku tidak
akan pernah merestuin kalian!!”.
Alina
diam terkejut dengan peryataan yang
dilontarkan Ayah padanya, “maafkan aku,” yang berusaha tidak menanggis
dihadapan orang tua dari pria yang dicintainnya itu.
***
Setelah
pertemuannya dengan Ayah, Alina memutuskan ke taman untuk melepaskan
kesedihannya. Air mata sekali-kali jatuh membasin pipinya saat teringat kata-kata
Ayah padanya, “Aku tidak akan pernah
merestuin kalian!!”. Kata-kata Ayah itu membuat Alina mulai berpikir
kembali hubungannya dengan Kay. Disisi lain dia tidak ingin kehilangan Kay
namun disisi lain dia tidak ingin Kay kehilangan segalanya karena dirinya.
Tanpa
disadarinya Kay sudah menantinya dari kejauhan. Namun belum disadarinnya, tapi
saat mereka mulai dekat Alina baru menyadarin kehadiran Kay. “Kay…” yang sangat
bahagia bisa bertemu dengan Kay lagi.
“Alina,” sama
seperti Alina, Kay pun sangat bahagia bisa bertemu dengan Alina lagi.
Alina langsung
berlari mendekati Kay dan langsung memeluknya, “Kay…” menanggis di pelukkan
Kay.
Kay membalas
pelukkan Alina, “aku sangat merindukanmu”.
“Kay…”.
Kay menatap
Alina, “kenapa kau menanggis?” Kay yang merasakan kesedihan di mata Alina.
“Ini tangisan
kebahagiaan,” alasan Alina menutupin semua yang terjadi.
“Aku senang
kau bahagia,” lalu memeluk Alina kembali.
***
Gilda
mengantar Adriel sampai di depan mobil, “trimah kasih sudah mau mengujunginku”.
“Ya”.
“Aku sudah
memikirkan apa yang akan aku lakukan besok”.
“Apa itu yang
terbaik?”.
“Aku harap”.
“Baiklah.
Sampai besok,” lalu masuk ke dalam mobil.
Gilda
mengentuk jendela mobil.
Adriel
langsung membukanya, “ada apa?”.
“Apa besok
kita bisa bertemu lagi”.
“Ya”.
“Dahhh…” Gilda
melambaikan tangan pada Adriel.
“Dahhh…”
Adriel pun pergi. Setelah cukup jauh Adriel pergi barulah Gilda kembali masuk
ke dalam rumah.
***
“Apa kau akan
kembali lagi ke Amerika?” tanya Alina.
“Ya. Mungkin
tiga hari lagi aku akan berangkat. Kenapa?”.
“Apa aku boleh
ikut?”.
“Apa!” Kay
yang tidak percaya Alina mengatakan itu, “kau bisa mengatakannya lagi?”.
“Aku ingin
ikut denganmu”.
Kay langsung
memeluk Alina, “aku senang mendenggarnya”.
“Tapi…”.
Kay melepaskan
pelukkannya, “ada apa?”.
“Apa Ceri
boleh ikut? Aku gak mungkin meninggalkannya”.
“tanpa kau
mengatakannya pun aku akan mengajaknya”.
Alina sangat
senang. Semua yang ditakutinnya selama ini salah, “trimah kasih Kay”.
“Aku
mencintainmu Alina dan aku pastihkan aku akan membuatmu bahagia”.
“Kau sudah
membuatku bahagia Kay. Kau sudah lakukan itu”. Mereka berpelukkan kembali.
“Kay…”.
“Iya,” yang
masih tidak melepaskan pelukkannya.
“Apakah kau
akan menyalahkanku atas apa yang akan terjadi padamu?”.
Kay menatap
Alina, “apa maksudmu?”.
“Kau tahu kan
Ayahmu tidak menyukainku”.
Kay mulai
mengerti maksud perkataan alina, “sebelum kita bertemu pun aku tidak pernah
mengharapkan semua harta itu. Dan saat kita bertemu hanya satu hal yang sangat
aku harapkan”.
“Apa itu?”.
“Kau”.
Alina
tersenyum mendenggarnya.
“Aku lebih
menikmatin pekerjaanku sebagai pengacara dibandingkan sebagai presdir sebuah
perusahaan. Menurutmu kau lebih suka menjadi istri pengacara atau istri
pengusaha?”.
“Aku hanya
ingin menjadi istri dari orang apa adanya”.
“Jadi itu
bukan aku?” canda Kay.
“Mungkin
juga”.
“Jadi ada pria
lain?”.
Pura-pura
berpikir, “gimananya??”.
“Hahhh… kau
ini”.
Alina memeluk
Kay kembali.
Kay mengantar
Alina ke supermarket menggunakan mobilnya. “Apa setelah kita menikah aku masih
boleh bekerja?” tanya Alina.
“Apa kau akan
selamanya bekerja di supermarket?” tanya Kay balik.
“Kenapa
tidak”.
“Kenapa kau
tidak pernah memikirkan untuk membuka supermarket?”.
“Karena aku
tahu aku tidak punya uang”.
“Kau pikir
calon suamimu ini tidak sanggup membukakanmu supermarket?”.
“Selain uang
orang tuamu apakah kau masih punya uang untuk membukakan supermarket untukku?”
canda Alina.
“Kau pikir aku
mengharapkan harta orang tuaku”.
“Itu sudah kau
katakana padaku”.
“Hahhh…
tenyata kau tidak percaya padaku”.
Alina menahan
tawanya, “sedikit”.
“Alina!”.
Alina tidak
bisa menahan tertawanya lagi, “hahaha… iya iya aku percaya. Aku hanya bercaya.
Aku selalu percaya padamu”.
“Aku senang
mendenggarnya”.
“Aku kerja
dulu. Dahhh…” lalu keluar dari mobil.
“Dahhh…” lalu
Kay kembali menjalanin kendaraan roda empatnya kearah apartemennya.
Setelah cukup
jauh Kay pergi barulah Alina masuk ke dalam supermarket. Alina langsung ke
tempat kasir. Satu persatu Alina
melayanin pembeli yang akan membayar barang belanjaan mereka.
Nisa
mendekatin Alina, “tambah dekat aja,” goda Nisa.
Alina hanya
tersenyum mengerti maksud perkataan sahabatnya itu, “mungkin besok aku terakhir
bekerja”.
“Kenapa? Apa
Kay menyuruhmu untuk berhenti?”.
“Tidak. Aku
akan ikut Kay ke Amerika”.
“Apa”.
“Aku akan
menikah dengan Kay”.
“Dia
melamarmu?”.
Alina
mengangguk.
Nisa langsung
memeluk Alina, “selamat…” senang Nisa mendenggarnya.
“Diam…” Alina
menutup mulut Nisa, “kau bisa diam gak sih…” malu Alina.
“Pokoknya aku
bahagia,” Nisa yang tidak penduli pada Alina yang sudah sangat malu dengan
tingkahnya.
***
Kay kembali ke
apartemen. Dilihatnya Ibu sudah tidur
terlelap di atas tempat tidur. Dibenarkannya selimut di tubuh Ibunya lalu
kemudian keluar dari kamar dan menjatuhkan tubuhnya diatas sofa. Kemudian
menutup matanya dan tak lama kemudian terlelap.
***
Ibu Sari
bangun dari tidur lelapnya. Dilihatnya putranya sedang menyiapkan sarapan untuk
mereka. “Kau sudah kembali sayang?” kanget melihat kehadiran Kay, “jam berapa
kau pulang?”.
“Semalam bu.
Aku melihat Ibu tertidur lelap dan aku tidak ingin membangunkannya,” jawab Kay.
Ibu duduk,
“Ibu pikir kau tidak akan kembali”.
“Aku sudah
berjanji pada seseorang Bu”.
“Apa itu
Alina?”.
“Ya Bu”.
Ibu Sari
tersenyum, “kapan kau melamarnya?”.
“Aku sudah
melamarnya Bu”.
“Lalu?”.
“Alina menerimahnya.
Dan aku akan membawahnya ke Amerika”.
Ibu Sari ikut
senang mendenggarnya, “benarkah”.
“Hari ini aku
rencana mau menemuin orang tuanya”.
“Semoga sukses
sayang,” Ibu Sari memberi semangat pada putranya.
“Trimah kasih
Bu”
***
Adriel melihat
Ibu sedang menikmatin sarapan di meja makan. “Pagi Bu,” sapa Adriel sambil
duduk untuk segera menikmatin sarapan.
Ibu segaja
tidak menjawab sapaan Adriel.
Adriel membuka
bahan pembicaraan, “aku sudah menyuruh orang untuk membersihkan rumah kita Bu”.
“Kau akan pindah?”
tanya Ibu.
“Kita yang
akan pindah Bu”.
“Aku tidak
akan pergi kemana-mana!”.
“Ibu!”.
“Jika kau
ingin pergi, pergi saja sendiri!”.
“Aku tidak
akan pergi jika Ibu tidak ikut!” tegas Adriel.
“Aku akan
tinggal selamanya disini! tidak akan kubiarkan seorang pun mengambil posisiku
dirumahku ini!!” tekat Ibu.
Adriel
berdiri, “aku pastihkan Ibu akan ikut denganku!” lalu pergi.
“Dasar anak
kurang ajar!!” marah Ibu pada Adriel yang sudah berani melawan dirinya.
***
Nisa
menceritakan apa yang dikatakan Alina semalam pada Bob saat dirinya antar
pulang. “Baguslah mereka akan menikah,” Bob yang menanggapinnya biasa saja.
“Apa kau
kecewa?” tanya Nisa.
“Kenapa aku
harus kecewa?”.
“Ya...
gimananya…”.
Bob tersenyum,
“aku malah berpikir untuk menikah denganmu”.
“Hahhh… kau
pikir aku mau?!”.
“Memang kau
tidak mau?”.
Nisa mencoba
jual mahal, “tidak”.
“Hahaha…
jangan bercanda”.
“Aku harus
berpikir 100 kali untuk menikah denganmu”.
“Jangan
bercanda”.
“Ya iyalah”.
“Hahhh… kau
mulai jual mahal”.
Nisa tersenyum
lebar, “harus…”.
“Hahhh… kau
ini…”.
***
“Kau mau
kemana?” tanya Sarani pada Pak Budi yang bersiap-siap untuk pergi.
“Aku akan
segera pulang”.
“Bisakah kau
merubah sikafmu untuk beberapa hari ini,” mohon Sarani.
“Apa
maksudmu?” Pak Budi yang tidak mengerti maksud perkataan Sarani.
“Seorang pria
melamar Alina. Dan beberapa hari lagi mereka akan berangkat ke Amerika. Mereka
akan menikah disana,” diam sejenak, “bersikaflah baik selama sisa waktu Alina
ada disini, mungkin dengan itu Alina tidak membawa kebenciannya padamu”.
“Apa dia pria
baik-baik?”.
“Apa menurutmu
dia sepertimu? Aku rasa Alina tidak mungkin mencari pria sepertimu”.
“Kau benar.
Aku akan berusaha bersikaf baik”.
“Baguslah”.
***
Kay menemuin
Rudi di Hotel Larisa. Kedatangannya disambut hangat oleh Rudi yang sudah
menanti kedatangannya yang sebelumnya Kay sudah memberitahu Rudi atas
kedatangannya. “Akhirnya kau datang juga,” Rudi yang sangat senang melihat Kay.
Kay hanya
tersenyum sambil duduk, “sepertinya kau sedang sibuk,” melihat beberapa file
diatas meja kerja Rudi.
“Hanya
beberapa file yang harus ditanda tanganin”.
“Kau sekarang
sudah menjadi pengusaha yang hebat,” puji Kay.
“Kau juga
sekarang menjadi pengacara yang hebat,” Rudi balik memuji.
“Hahaha…” Kay
tertawa sambil memperhatikan Rudi, “apa ada masalah?” melihat sikaf Rudi yang
sangat berbeda.
“Ya”.
“Apa?”.
Rudi terdiam
sejenak untuk memikirkan bagaimana cara menjelaskan pada Kay, “apa Alina tidak
cerita apa-apa?”.
“Tidak. Apa
ada yang terjadi pada Alina?”.
“Kemarin Alina
hampir di culik”.
“Diculik?” Kay
sangat terkejut mendenggarnya. Kay teringat dirinya pernah menolong Alina saat
di kejar beberapa pria.
“Dan…”.
“Ada apa?”.
“Kemarin Alina
menemuin Ayahmu”.
“Apa!”.
Rudi yang
melihat Kay yang tidak tahu apa-apa membuat dirinya heran, “sepertinya wanita yang kau cintain
itu suka sekali memedam kesedihannya”.
Kay menatap
Rudi, “kau benar,” Kay yang tidak membantah pendapat Rudi tentang Alina.
***
Ibu Sari
mencari alamat tempat Alina sekarang tinggal yang sebelumnya dimintaknya pada
Kay. Sudah hampir 3 jam lebih Ibu Sari mencari tempat Alina namun belum
mendapatkan alamat yang ditujuh. “Dimana sih…” Ibu Sari yang putus asa.
“Bisa saya
bantu?” tanya Sarani yang kebetulan melintas.
Ibu menolek.
“Kau
sepertinya sedang mencari alamat? Mau aku bantu?”.
“Ya”.
***
Alina pulang
bersama Ceri. Dia tampak kanget melihat Ibu Sari berada di tempat tinggalnya
sekarang, “tante…”.
“Tante…” Ceri
langsung memeluk Ibu Sari.
“Kau masih
kecil-kecil juga,” canda Ibu Sari lalu menatap Alina, “kau pastih tidak merawat
kulitmu,” yang melihat wajah Alina yang tidak terawatt.
“Maafkan aku”.
“Kau ini gak
bisa dibilangin!”.
Alina bahagia
bisa bertemu dengan Ibu Sari walaupun sekarang dirinya sedang marah padanya.
Ibu Sari dan Alina
ke taman. “Apa kalian sering bertemu disini?” tanya Ibu Sari pada Alina.
“Iya”.
“Apa Kay juga
melamarmu disini?”.
“Iya”.
“Sudah berapa
kali kau bertemu dengan Ayah Kay?”.
“Dua kali”.
“Apa dia tetap
besikeras?”.
“Iya”.
“Dan kau akan
tetap bertahan?”.
“Iya”.
Ibu Sari
senang mendenggar jawaban dari Alina, “suatu saat nanti kau pastih bisa membuat
hatinya luluh”.
“Aku juga
mengharapkannya”.
***
Ayah sedang
bersama Adriel di ruangannya. Mereka sedang membahas untuk mengembangkan
perusahaan agar lebih berkembang lagi. Proposal yang diajukan Adriel disambut
gembira oleh Ayah, “aku serahkan semua ini padamu,” memberikan kepercayaan
penuh pada Adriel.
“Trimah kasih
Ayah”.
Ayah melihat
kesendirian Adriel selama ini, “apa kau tidak berniat menikah lagi?”.
Adriel hanya
tersenyum menanggapin perkataan Ayah.
“Apa perluh
Ayah membantumu mencari jodoh?”.
“Tidak perluh
Yah”.
“Jadi kau
sudah mendapatkan pilihan”.
Adriel diam
sejenak, “mungkin”.
“Jawabanmu
tidak pastih”.
Adriel masih
tersenyum.
Tiba-tiba
pintu ruangan Ayah terbuka, “maaf menganggu kalian,” kata Kay yang segaja tidak
mengetuk pintu.
“Apa setelah
kau berhubungan dengan wanita itu kau tidak punya tata krama lagi?!” sindir
Ayah.
“Ayah yang
membuat aku seperti ini”.
“Apa
maksudmu?!”.
“Aku harap
bukan Ayah yang berniat menculik Alina!”.
“Apa katamu!!”
Ayah yang tidak terimah dituduh.
“Aku akan
menikahin Alina di Amerika. Setuju tidaknya Ayah aku tetap dengan keputusanku.
Dan ku harap Ayah tidak menganggu Alina lagi”.
“Baiklah! Aku
akan menghapus namamu sebagai pewarisku, dan kau bukan putraku lagi!”.
“Permisih…”
Kay pergi meninggalkan ruangan.
Adriel yang
sejak tadi hanya mendenggar perkataan antara anak dan Ayah tanpa puas dengan
keputusan yang dibuat Kay.
“Memang apa
hebatnya wanita itu sampai dia berani melawanku!!?” marah Ayah.
Kay
mendapatkan telpon dari Gilda saat mau masuk ke dalam mobil, “halo…”.
“Aku ingin
bertemu,” kata Gilda.
“Aku tak
bisa”.
“Aku mohon…
anggaplah ini terakhir kalinya kita bertemu. Aku hanya ingin melihat wajahmu
untuk terakhir kalinya setelah aku akan mencoba untuk melupakanmu”.
Kay diam
sejenak, “baiklah”.
“Aku tunggu di
tempat yang biasa dulu kita datangin”.
“Baiklah,” Kay
menutup telponnya.
Kay menemuin
Gilda di lestoran yang dulu mereka sering datangin saat masih bersama dulu. Kedatangan
Kay disambut dengan senyuman hangat oleh Gilda, “akhirnya kau datang juga”.
Kay duduk.
“Apa kau
ingat? Disini kita selalu menghabiskan waktu bersama,” mengingat masa lalu,
“tempat ini tidak ada perubahan sedikitpun dan aku harap tidak akan berubah
selamanya”.
“Apa yang ingin kau bicara?” yang tak mau
lama-lama bersama Gilda.
“Apa sebenci
itu kau denganku?”.
Kay diam.
“Aku tahu aku
salah. Dan aku tahu kesalahku”.
Kay masih
diam.
“Aku akan
mencoba melupakanmu dan menjalanin hidupku yang baru”.
“Aku senang
mendenggarnya”.
“Dulu aku
pernah merebut Adriel dari seorang wanita yang tidak ingin aku ingat. Semakin
aku mengingat wanita itu semakin aku merasa bersalah dengannya. Dan akupun
memutuskan bercerai,” cerita Gilda, “awalnya aku tidak ingin melepaskanmu. Tapi
saat aku tahu wanita itu adalah Alina, rasa bersalah itu timbul lagi. Dan aku
pastih sangat merasa bersalah jika merebut kekasihnya lagi”.
Kay mengerti
maksud perkataan Gilda.
“Waktu itu aku
menemuinnya, dan aku memintahnya untuk
melepaskanmu. Saat dia besikeras mempertahankanmu, aku sangat marah dan sangat
membencinya”.
“Kau menemuin
Alina?” Kay yang tidak tahu apa-apa.
“Maafkan aku.
Aku bingung harus melakukan apa lagi,” Gilda menaggis.
***
Adriel kembali
kerumah, namun saat di dalam rumah Adriel dikejutkan dengan suara Ibu yang
sangat keras saat sedang menerima telpon.
“Kalian harus
habisin dia!! Aku tidak ingin kalian gagal lagi!!” perintah Ibu pada anak
buahnya melaluin telpon. Setelah mendenggar jawaban dari anak buahnya Ibu
menutup telponnya.
“Siapa yang
ingin Ibu celakakan?” curiga Adriel.
Ibu sangat
terkejut dengan kehadiran putranya, “itu bukan urusanmu!!”.
“Apa itu
Alina?”.
“Itu bukan
urusanmu!!”.
“Jadi Ibu
dalang dari penculikkan itu,” Adriel yang tidak percaya dengan kenyataan yang
sebenarnya.
Ibu hanya
diam.
“Apa Ibu sudah
gila!!!” marah Adriel.
“Adriel!!!”
Ibu yang tidak terimah dengan kata-kata Adriel.
“Aku akan
hentikan semua kejahatan Ibu!!”.
“Kau ingin
laporkan Ibu ke polisi!!!”.
“Jika itu yang
terbaik!!”.
“Kau…” Ibu
yang hampir menampar Adriel.
“Silakan
tampar Bu! Tapi aku tidak akan hentikan niatku!” Adriel berusaha menenangkan
dirinya, “aku tidak akan melaporkan perbuatan Ibu jika Ibu menurutin
keinginanku”.
“Apa
maksudmu?”.
“Ibu tidak
akan memintah sepeserpun dari Ayah setelah kalian bercerai”.
“Apa!”.
“Dan Ibu ikut
denganku pindah”.
“Adriel!!!”.
“Tidak ada
jalan lain selain Ibu menurutin keinginanku!”.
***
“Sudah malam,”
kata Ibu Sari melihat langit sudah berganti warna dengan warna hitam.
“Iya”.
“Ayo kita
pulang,” ajak Ibu.
“Aku ingin
disini dulu tan”.
“Baiklah.
Dahhh…” Ibu Sari pergi meninggalkan Alina sendiri di taman.
Tiga jam pun
berlalu, Alina masih menyendiri ditaman. Ditatapnya bintang-bintang yang
bertaburan di langit. Tiba-tiba hpnya berbunyi, tenyata Kay yang meenelponnya.
Alina mengangkat telpon dari Kay, “halo… kau dimana?” tanya Alina.
“Aku sedang
memperhatikanmu,” jawab Kay.
Alina tertawa,
“jangan bercanda”.
“Aku serius.
Aku sedang memperhatikanmu”.
Alina melihat
disekitarnya apakah Kay tidak membohonginnya, “kau bohong”.
Kay muncul
dari balik pohon yang tak jauh darinya, “aku tidak bohong,” yang masih menelpon
Alina walaupun jarak mereka tidak jauh.
Alina hanya
tersenyum melihat apa yang dilakukan Kay, “kau terlihat aneh”.
Kay mendekatin
Alina, “aku ingin melihatmu saat aku tidak berada di dekatmu”.
“Kau kenapa?”
Alina yang merasak kesedihan dari mata Kay.
“Aku ingin kau
memberitahu semua yang kau lakukan. Baik itu sedang makan, melakukan apapun,
bertemu dengan seseorang dan apapun yang kalian bicarakan, aku ingin tahu
semuanya. Aku tidak ingin kau menyimpan semua itu sendiri”.
“Baiklah”.
Kay memeluk
Alina.
Kay mengantar
Alina ke supermarket. “Aku sudah menyuruh orang untuk mengurus keperluanmu dan
Ceri dan lusa kita akan berangkat”.
“Apakah Ibumu
akan ikut juga?”.
“Iya. Ibu akan
mengurus pernikahan kita disana,” Kay memperhatikan kesedihan di wajah Alina,
“apa ada masalah lain?”.
“Tidak. Aku
hanya memikirkan nasif Ayah tiriku jika aku tidak ada”.
“Kalau kau mau
kita bisa mengajaknya”.
“Tidak usah.
Aku tidak berniat mengajaknya. Aku tidak ingin kau dipermalukan disana”.
Suasana
terhening sejenak, “apa kau tidak pernah
memikirkan kenapa dia melakukan itu semua?”.
“Aku tidak mau
memikirkannya”.
“Kau harus
memikirkannya. Mungkin dia melakukan itu sebagai pelampiasannya saja”.
“Sebelum dia
menikah dengan Ibuku pun dia sudah main judi. Ibu dan kakakku meninggal karena
dirinya”.
“Cobalah untuk
tidak menyalahkannya”.
Alina diam.
“Sifat buruk
seseorang itu bisa kita rubah jika kita merubahnya perlahan-lahan”.
“Kau
mengatakan itu karena kau tidak pernah menghadapin orang seperti itu”.
“Aku punya
teman yang bisa membuat Ayahmu berubah”.
“Maksudmu
siapa?”.
“Kau sudah
mengenalnya”.
“Siapa?”.
***
Keesokannya
Kay mengajak Alina bertemu dengan Rudi di Hotel Larisa. Kedatangan mereka disambut hangat, “silakan
duduk, kalian mau minum?” basa-basi Rudi.
“Tidak usah,”
kata Kay sambil duduk. Alina ikut duduk. “Aku memerlukan bantuanmu,” Kay yang
langsung tujuannya.
“Apa kau tidak
bosan memintah bantuanku?”.
“kali ini
hanya kau yang bisa membantuku”.
“Maksudmu?”
Rudi tampak kebingungan.
***
Sebuah rumah
yang tidak begitu besar berkumpul orang-orang yang selalu menghabiskan waktu
dan uang di meja judi. Tak banyak dari mereka yang habis total di meja judi namun
selalu kembali untuk melihat nasif mereka di meja judi.
Sama saja
dengan yang dilakukan Pak Budi. Sudah berulang kali Pak Budi kalah dalam
permainan ini, sudah tidak teritung lagi uang yang habis di meja judi tapi
tetap saja Pak Budi kembali lagi dan kembali lagi. Dia trus mencoba dan mencoba
dan berharap bisa menang namun itu hanya sia-sia belakang.
Dari kemarin
Pak Budi tidak pulang-pulang. Dia menghabiskan waktunya di meja judi bersama
teman-temannya.
“Kau kalah
lagi hahaha…” salah satu mereka mengejek Pak Budi yang selalu kalah bermain.
“Aku pinjam
uangmu,” kata Pak Budi.
“Bagaimana
cara kau membayarnya?”.
“Aku pastih
membayar utang-utangku!”.
“Hahaha…
jangan bercanda. Kau pengangguran Budi. Kecuali
anak tirimu tidur denganku semalam”.
“Apa katamu!!!”
Pak Budi tidak terimah dengan kata-kata pria itu.
“Kalau tidak
mau, ya sudah…” kata pria itu lalu pergi membawa uang-uangnya.
Pak Budi yang tidak terimah lalu mengambil
botol sisa minuman keras. Dipukulnya kepala pria itu menggunakan botol yang
diambilnya berkali-kali sampai pria itu jatuh di lantai tidak sadarkan diri.
Pria itu terkapar lemas di lantai dengan kepala mengeluarkan darah segar.
Semua orang
yang berada di tempa itut melihat
kejadian yang baru saja terjadi di depan mata mereka. Diantara mereka segera
melapor kejadian ini ke polisi.
***
“Kau gila! Aku
sudah lama tidak terjun ke dunia itu lagi!” kata Rudi setelah mendenggar
perkataan Kay.
“Aku tidak
memintahmu untuk kembali terjun ke dunia itu lagi, aku hanya ingin kau membantu
Ayah Alina lepas dari dunia itu,” kata Kay.
“Kau memang
gila!”.
“Karena aku
tahu kau pastih bisa membantuku”.
“Baiklah. Tapi
aku tidak bisa janji. Karena semua itu harus ada niat dari orang itu sendiri
ingin berubah,” ucap Rudi.
“Trimah
kasih,” Ucap Alina pada Rudi.
“Aku nyakin
kau bisa,” Kay memberi semangat pada Rudi.
Tiba-tiba
Alina mendapatkan telpon dari Sarani, “halo, ada apa?” setelah mendenggarkan
apa yang dikatakan Sarani, Alina nampak terkejut, “apa!!”.
“Ada
apa?” tanya Rudi pada Kay yang juga
nampak kebingungan melihat Alina menujukkan reaksi terkejut seakan terjadi
sesuatu.
***
Ibu Sari
menemuin Ayah di Hotel Ratu, “tenyata sudah banyak perubahan selama aku pergi,”
katanya yang baru pertama kali ke Hote Ratu ketika dirinya kembali ke
Indonesia.
“Duduklah,”
Ayah mempersilakan Ibu Sari duduk, “apa yang membuatmu menemuinku?”.
“Aku ingin
membahas masalah anak kita”.
“Jika kau
menginginkan aku merestuin mereka itu tidak akan aku lakukan,” Ayah yang masih
besikeras.
“Aku juga
tidak akan memaksamu untuk merestuin mereka, itu hakmu untuk menolak mereka.
Aku hanya ingin kau sedikit pengertian dengan Kay. Bagaimana pun juga dia
putramu dan satu-satunya anak kandungmu,” sambil melihat permadangan luar hotel
dari balik kaca, “aku akan tetap mewariskan bagianku saham perusahaan dan Hotel pada Kay. Dan aku tidak akan
memaksamu itu mengikutin jalanku. Aku hanya ingin kau memikirkannya,” kata Ibu
Sari panjang lebar.
Ayah diam.
“Baiklah. Aku
sudah selesai bicara. permisih…” Ibu Sari pergi meninggalkan Hotel Ratu.
***
“Kau memang
tidak pernah berubah!!” marah Sarani melihat Pak Budi yang tertangkap polisi,
“bukannya kau sudah janji!!”.
Pak Budi tidak
melawan. Dia tahu kesalahannya sampai membuat Sarani semarah itu padanya.
“Ahhh…!!”
Sarani mau memukul Pak Budi namun langsung dihalangin polisi.
“Alina…” Pak
Budi tampak terkejut melihat kehadiran Alina di kantor polisi.
Tatapan tajam
masih mengarah kearah Pak Budi. Alina tidak bisa mengucapkan apa-apa untuk
melepaskan kekesalannya.
Kay dan Rudi
mendekatin Alina yang sebelumnya mereka menemuin pihak yang berwenang dalam
kasus Pak Budi. “Ayahmu sudah boleh pulang. Dia janji tidak akan menuntun
Ayahmu,” kata Kay yang tidak ingin Alina terlalu menguatirkan keadaan Ayah
tirinya itu.
Namun Alina
tidak menujukkan reaksi apa-apa.
“Aku akan
mengantar mereka pulang,” kata Rudi, “ayo om tan…” katanya pada Pak Budi dan
Sarani.
Pak Budi tidak
berani menatap Alina yang masih menatapnya dengan tatapan tajam. Dia mengikutin
Sarani dan Rudi meninggalkan kantor polisi.
“Ayo kita
pulang,” ajak Kay.
“Maafkan aku,”
Alina yang merasa malu dihadapan Kay.
“Sudahlah. Ayo
kita pulang”.
Alina berusaha
untuk menahan air matanya agar tidak keluar.
***
Setiba di
rumah. Sarani dan Pak Budi keluar dari mobil. “trimah kasih,” kata Sarani pada
Rudi.
Rudi
memberikan kartu nama pada Pak Budi, “datanglah besok ke hotelku”.
Pak Budi
mengambil kartu nama yang diberikan Rudi, “untuk apa?”.
“Jika om tidak
merasa malu. Di Hotelku ada lowongan satpam yang kosong”.
Perasaan Pak
Budi saat ini bercampur aduk antara senang dan bingung. Sudah hampir 8 tahun
lebih dirinya menjadi penggangguran dan tidak ada yang menerimahnya bekerja
baik itu pekerjaan keras maupun pekerjaan ringan. Sejak kecelakaan yang
menimpahnya 8 tahun yang lalu membuat kaki kirinya pincang dan karena itu tidak
seorang pun yang menerima dirinya bekerja. Dan karena itu juga Pak Budi
melampiaskan kekesalannya selama ini dengan mabuk-mabukkan dan main judi
walaupun sebenarnya itu sangat merugikan dirinya sendiri tapi tetap
dilakukannya sampai akhirnya dirinya menikah dengan Ibu dari Alina. Sejak
pernikahan itu utang-utang Pak Budi selalu dibayar oleh istrinya dan akhirnya
harta yang ditinggalkan oleh Ayah kandung Alina habis tidak tersisa sedikitpun.
***
“Rudi pastih
bisa merubah kebiasaan Ayah tirimu,” Kay menyakinkan Alina.
“Aku sangat
malu denganmu,” ucap Alina.
Kay
menghentikan kendaraannya ke tepi jalan, “kenapa kau bicara seperti itu”.
“Aku hanya
merasa malu dengan keadaan keluargaku”.
Kay memengan tangan
Alina, “aku tidak penduli kebiasaan keluargamu. Aku mencintainmu dan aku harus
mengerti bagaimana keluargamu,” yang masih menyakinkan Alina.
“Apa nanti kau
juga akan mengatakan itu,” Alina yang takut Kay akan berubah.
“Aku akan
buktikan itu”.
“Aku tidak
bisa bilang iya atau tidak. Tapi saat ini aku mempercayainmu”.
“Ya…
setidaknya kau percaya”.
Alina menciup
pipi Kay.
Kay tampak
terkejut saat kecupan menempel di pipinya. Dia menatap Alina.
“Salah aku
menciummu?”.
“Tidak. Tapi
kau hanya salah menepatkan ciumanmu”.
“Maksudnya…??”.
Tanpa basa
basi lagi Kay langsung mencium bibi Alina. Dan Alina membiarkan Kay melakukan
itu padanya. Cukup lama mereka melapiaskan rasa cinta mereka melaluin ciuman.
***
Bersambung
Tidak ada komentar :
Posting Komentar