1
“Huhuhu… huhu...!” terdengar tangisan tak jauh dari tempat pakiran
ojek yang berada di gang perkomplekan perumahan. “Kenapa tuh?” tanya salah satu
tukang ojek yang sedang menunggu penumpang di bawah pohon besar, melihat anak
laki-laki menanggis kearah mereka.
“Gak tahu,” menaikin bahunya, “mungkin di buang orang tuanya,” kata
temannya yang juga sedang menunggu penumpang.
Salah satu tukang ojek mendekati anak laki-laki itu yang umurnya
sekitar 12 tahun, “kau kenapa menanggis? Mana orang tuamu?” tanya Hendro.
Anak itu masih menanggis dan tak memberi jawaban.
***
Sintia dan putranya baru pulang, dilihatnya Ayu mantan kekasih
suaminya 9 tahun yang lalu, masih bersedih di teras samping rumah karena
kehilangan putranya 2 hari yang lalu di tasiun gambir, “belum ada kabar?!”
tanyanya sinis.
Ayu mengeleng.
“Ini hanya perkiraanku saja,” diam sejenak, “jangan-jangan ini
salah satu trik untuk menikah dengan suamiku?!”.
Ayu berdiri dan menatap Sintia.
Sintia menutup mulutnya, pura-pura merasa bersalah, “aku salah? Tapi…
bisa saja kan,” bercampur senyuman sinis, lalu melihat putranya yang
memadangnya dengan padangan heran, “ayo sayang,” lalu pergi.
“Aku pastihkan kesenanganmu akan segera berakhir!!” kata Ayu dengan
penuh kebencian.
***
Hendro membawa anak laki-laki itu ke rumahnya. Istri dan putrinya
yang masih berumur 7 tahun terlihat heran melihat Ayahnya membawa seorang anak.
“Siapa dia?” tanya Dewi yang
menggunakan bahasa isyarat dengan menggunakan kedua tangannya. Sejak kecil Dewi
tidak bisa bicara, dan menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan
orang-orang sekitarnya, terutama suami dan putrinya.
Hendro yang sudah banyak belajar bahasa isyarat dari Dewi sejak 8
tahun yang lalu, mengetahui apa yang ingin di tanyakan istrinya, “dia berpisah
dengan orang tuanya, dan sudah 2 hari ini dia tidur di jalan,” jawab Hendro.
Dewi mendekati anak laki-laki yang berdiri di sebelah suaminya, “kau lapar?” tanyanya dengan bahasa
isyarat.
“Tante bicara apa?” tanya Edwan yang tidak mengerti bahasa isyarat
dari Dewi.
Hendro meluruskan pembicaraan mereka, “ini istri om, istri om
bertanya apa kau lapar?”.
“Sudah,” jawab Edwan.
“Maafkan aku, tadi sepertinya dia sangat kelaparan,” Hendro mencoba
menjelaskan pada istrinya.
Istrinya tersenyum mengerti menjelasan suaminya.
Lalu Hendro memperkenalkan putrinya yang berdiri di pojok ruangan,
“itu putri om, namanya Kalyca. Kau bisa memanggilnya dengan Lica”.
Lica mendekati Ayahnya, “apa dia akan tinggal di sini?” tanya Lica
yang masih sangat polos.
“Apa kau tidak suka?” tanya Dewi.
Lica mendekati Edwan sambil tersenyum, “apa kau mau jadi kakakku?”
yang sudah lama ingin memiliki saudara.
Hendro dan Dewi tertawa mendengar pertanyaan putrinya, “hahaha…
haha…”. Sedangkan Edwan terlihat bingung dengan pertanyaan gadis kecil yang
berdiri di hadapannya itu.
***
Di dalam kamar, Kay masih menatap orang tuanya dengan padangan
aneh, “kau kenapa sayang?” tanyanya melihat putranya dari balik kaca riasnya,
“Mama takut melihatmu seperti itu?”.
Kay mengeleng, lalu menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur.
Sintia mendekati dan tidur di dekat putranya, di peluknya Kay dari belakang
dengan penuh kasih sayang, “maafkan Mama,” yang mengetahui Kay tidak menyukai
sikaf dinginya pada Ayu, “Mama lakukan semua itu untukmu. Semua itu untukmu
sayang,” diam sejenak, “Mama tidak akan membiarkan wanita itu merebut hakmu,”
tekat Sintia.
Kay hanya diam. Umurnya yang masih 10 tahun masih tidak mengerti
maksud perkataan orang tuanya. Saat ini yang dia tahu hanya orang tuanya sangat
membenci wanita yang datang ke rumahnya 2 hari yang lalu.
***
Dari luar Dewi melihat putrinya sedang memperhatikan Edwan yang
sedang tertidur lelap di kursi panjang yang terbuat dari rotan. Dewi mendekati
putrinya, “kenapa kau melihatnya terus?” tanyanya dengan bahasa isyarat.
Lica menolek, “apa dia mau menjadi saudaraku?” tanyanya lugu.
Dewi membelah kepala Lica dengan lembut sambil mengangguk bercampur
senyum.
Edwan terbangun, dilihat istri dan anak pria yang menolongnya
berdiri tak jauh darinya, “apa yang kalian lakukan?” tanyanya sambil bangkit.
“Kakak ikut dengan ku yach,” ajak Lica.
“Kemana?”.
***
Sintia dan Kay sedang menikmati sarapan mereka di meja makan.
Sedang menikmati sarapan, salah satu pembantu mendekati mereka, “Nyonya, tuan
besar sudah pulang,” kata pembantu itu memberitahukan kepulangan Darwin.
“Benarkah,” senang Sintia.
“Aku pulang,” kata Darwin sambil berjalan mendekati istri dan
putranya yang sedang menikmati sarapan.
Kay langsung melompat dari kursi dan berlari mendekati Darwin,
“Ayah…”.
Darwin langsung mengedong putranya, “masalah apa lagi yang kau buat
hahhh…?” tanyanya dengan penuh canda.
“Ayah…” memeluk ayahnya dengan penuh manja.
Sintia mendekati Darwin. Darwin mencium kening Sintia, “halo
sayang…” lalu melihat-lihat di sekitar ruangan, “mana Ayu?” tanyanya.
“Mungkin di kamarnya!” jawab Sintia judes.
“Aku di sini,” kata Ayu yang tiba-tiba muncul dari belakang mereka.
Mereka bertiga menolek ke belakang. Darwin menurui Kay, “Ayah mau
bicara dengan Tante Ayu dulu,” katanya pada Kay.
Kay mengangguk.
“Ikut aku! Aku ingin bicara denganmu,” kata Darwin pada Ayu lalu
berjalan keruangan kerjanya yang berada tak jauh dari ruangan tengah.
Sintia menujukan wajah ketidak sukaannya pada Ayu, itu sangat
terlihat jelas di mata Kay, “apa Mama tidak apa-apa?” tanya Kay kuatir.
Sintia berusaha menujukan senyum hangatnya, “bukannya hari ini kau
ada jadwal latihan belah diri,” mengalihkan pembicaraan, “ini hari pertamamu
loh”.
Dengan bermalas-malasan Kay menjawab, “baiklah…”.
***
Di ruangan kerja Darwin mulai bertanya pada Ayu, “apa kau sudah
menemukan putra yang kau bilang itu putraku?!”.
“Apa kau masih tidak percaya Edwan itu putramu?!” tanya Ayu dengan
wajah sedih.
“Sampai anak itu di temukan, aku belum mengakuinya!”.
“Kau tahu,” meneteskan air mata, “13 tahun yang lalu aku sedang
mengadung anakmu”.
“Aku tahu. Tapi aku tidak tahu apa kau sudah mengugurnya atau
tidak!!” Darwin yang tak mau langsung percaya.
“Aku akan buktikan padamu!” lalu melangkah pergi. Di luar ruangan
Ayu melihat Sintia sedang menikmati sarapan di meja makan sendirian, “aku akan
buat kau seperti diriku! Aku pastihkan itu!” tekat Ayu yang ingin membuat
Sintia menderita.
***
“Kita sedang apa di sini?” tanya Edwan pada Lica yang mengajaknya
ke tempat latihan belah diri.
“Aku latihan belah diri di sini Kak,” jawab Lica, “Kakak mau ikut
latihan?”.
Edwan mengeleng, “aku menunggu di sini saja”.
“Baiklah. Aku latihan dulu ya Kak,” lalu pergi keruang ganti.
Di luar tempat latihan, Kay bersama sopirnya sedang berdiri di
depan mobil. “Tuan tidak masuk?” tanya sopir yang sudah lama menunggu Kay untuk
masuk ke tempat latihan.
“Apa aku harus masuk?” tanya balik Kay.
“Tempat ini yang terbaik tuan,” bujuk sopir berharap Kay mau masuk.
Kay tidak memberi jawaban.
Dari tempat ganti Lica melihat anak laki-laki dan pria dewasa
berdiri di depan mobil yang terpakir di luar tempat latihan. Rasa ingin tahunya
membuat dia mendekari mereka, “kau mau latihan juga?” tanyanya yang melihat
pakaian seragam yang di kenakan anak laki-laki itu sama dengan dirinya hanya
membedahkan sabuknya saja. Anak laki-laki itu berwarna putih sedangkan dirinya
berwarna kuning.
“Tidak,” Kay berbohong.
“Kau bohong!”.
Kay baru ingat dengan pakaian yang dikenakannya, “awalnya iya. Tapi
aku berpikir ulang”.
“Kenapa?”.
“Tempat latihanmu ini jelek!” kata Kay.
“Apa katamu!!”.
Kay membuang muka. Lica memengang tangan Kay, lalu memelitirkannya
ke belakang. “Auhhh…” Kay kesakitan.
Pak sopir segera menolong Kay. Dia melepaskan tangan Kay dari
genggaman Lica. Tidak memerlukan waktu yang lama Pak sopir menolong Kay. Kay
yang ingin membalas memukul Lica langsung dihalangin Pak sopir, “lepaskan aku!!” brontak Kay.
“Dasar laki-laki lemah!” ejek Lica lalu pergi.
“Apa katamu!! Aaahhh…!!” kesal Kay.
Pak sopir melepaskan Kay, “tuan tidak apa-apa?”.
“Kenapa kau menghalangiku!!?” kata Kay melampiaskan kemarahannya
pada Pak sopir.
“Maafkan saya tuan”.
“Aaahhh!!”.
***
Ayu janjian bertemu dengan seorang pria kenalannya, di sebuah
lestoran. Pria itu membuka pembicaraan, “apa yang harus aku lakukan?” tanya
Budi.
“Aku ingin kau mecelakai seseorang,” kata Ayu memberitahu maksud
mengajak Budi ketemuan.
“Siapa?”.
Ayu meletakan selembar foto di atas meja. Foto itu ternyata foto
Kay. “Dia masih anak-anak”.
“Aku hanya ingin dia celaka”.
“Sampai mati?”.
“Terserah”.
“Baiklah,” Budi menyetujui permintaan Ayu, “aku akan suruh orang
untuk melakukannya”.
Ayu tersenyum lebar.
***
Kay berpapasan dengan Kay di ruang tengah. Tanpa memberi sapa Kay
langsung masuk ke dalam kamarnya. Sintia bingung melihat sikaf aneh putranya,
“kenapa dia?”. Beberapa saat kemudian, Pak sopir melintas, “Pak,” panggilnya,
“kenapa Kay?” tanyanya.
“Hanya perkelahian anak-anak Nyonya,” penjelasan Pak sopir singkat.
“Ohhh… aku pikir apa,” yang tak mau membesar-besarkan masalah.
***
Darwin berbicara dengan sekretarisnya di taman perkarangan rumah,
“aku ingin kau segera menemukan anak itu,” katanya.
“Kenapa Presdir? Apa Presdir mulai mempercayai wanita itu?” tanya
Susilo.
“Aku tak tahu, tapi aku yakin Ayu tidak berbohong”.
“Baiklah. Aku akan melakukannya”.
“Rahasiakan ini dari istri dan putraku”.
“Baik Presdir”.
***
Budi mendatangi tempat pangkalan ojek, dia mendekati Hendra yang
sedang gobrol dengan teman-temannya. Sedang asik mengobrol, padangan
teman-temannya tertuju pada Budi yang tepat berdiri di belakang Hendro. Hendro
menolek dan terkejut melihat kehadiran teman lamanya, “kau”.
Mereka berdua menjauhi pangkalan ojek untuk bicara. Budi
memberitahu maksud menemui Hendro, “aku ingin kau melakukan sesuatu,” sambil memberikan
selembar foto yang di berikan Ayu padanya.
Hendro melihat foto tersebut tanpa mengambilnya, “kau tahu kan aku
tidak melakukannya lagi!”.
“Aku hanya memintahmu untuk mencelakainya, tidak membunuhnya”.
Hendro menghela nafas panjang, “sudah aku bilang, aku tidak
melakukannya lagi!!”.
Budi tidak hilang akal, dia teringat informasi dari anak buahnya,
“aku dengar istrimu menderita kangker darah?”.
Hendro tidak memberi jawwaban.
Budi meletakkan foto tersebut di telapak tangan Hendro, “anggap
saja ini untuk biaya operasi istrimu,” lalu pergi meninggalkan Hendro untuk
berpikir.
***
“Mana Kay?” Tanya Darwin pada istrinya yang tidak melihat
Kay di meja makan untuk makan malam bersama mereka.
“Dikamarnya sayang. Sepertinya dia sedang kesal,” kata
Sintia mengingat putranya yang pulang marah-marah tadi siang.
“Marah? Apa ada yang menganggunya?”.
Sintia hanya
tersenyum yang tidak ingin mempermasalahkan masalah ini berlebihan.
Darwin menemui Kay di kamarnya, dilihatnya Kay sedang
tidur-tiduran tempat tidur, “kau tidak makan?” tanyanya.
Kay tersentak kanget melihat kehadiran ayahnya yang tidak
disadarinya, “Ayah”.
Darwin duduk di dekat putranya, “kau sedang kesal?”.
Kay diam.
“Kesal dengan seseorang itu wajar tapi jangan sampai
tidak makan,”saran Darwin sambil mencubit hidung Kay dengan lembut.
Kay tersenyum malu.
“Mau cerita dengan Ayah?” Darwin menunggu putranya untuk
cerita.
***
Dewi mendekati suaminya yang sejak pulang tadi soreh
hanya melamun di depan teras rumah, “apa
ada masalah?” tanyanya dengan menggunakan bahasa isyarat.
Hendro tersenyum menutupi masalah yang dihadapinnya, “aku
tidak apa-apa,” lalu memeluk istrinya dengan penuh cinta. Walaupun Hendro
menutupi apa yang terjadi, tapi Dewi merasakan suaminya saat ini sedang
tertekan.
***
Ayu dan Sintia sarapan bersama di meja makan. Sintia yang
mulai muak dengan kehadiran Ayu, lalu bertanya, “kapan kau pergi?!” dengan nada
cetus.
“Kau mengusirku?!” tanya Ayu balik.
Sintia tersenyum sinis, “apa kau tidak punya harga
diri!!?” menatap Ayu dengan tajam.
Ayu diam.
Beberapa saat kemudian, Darwin muncul, “selamat pagi,”
sapanya, “mana Kay?” yang tidak melihat Kay di meja makan.
Sintia bangkit dan langsung merapikan dasi yang dikenakan
suaminya. Itu segaja di lakukannya di hadapan Ayu untuk membuktikan kehadirannya
tidak ada artinya di mata Darwin. “Dia sudah pergi sayang,” jawabnya.
Darwin hanya tersenyum, dia tahu kemana putranya pergi.
Sedangkan Ayu terlihat kesal melihat kemesraan antara Darwin dan Sintia.
***
Edwan bangun dari tidurnya, dia langsung bangkit dan
keluar dari rumah. Di luar Edwan melihat Dewi sedang menjemur pakaian di
perkarangan samping rumah. Edwan
mendetinya, “selama pagi,” sapanya.
Dewi menolek ke belakang, “kau sudah bangun?” tanyanya dengan bahasa isyarat. Edwan tidak
mengerti arti dari bahasa isyarat yang ditunjukan Dewi, dia bingung sambil
mengarut kepalanya yang tidak gatal. Melihat ekpresi wajah Edwan yang
kebingungan Dewi jadi serbah salah bagaimana cara bisa berkomunikasi dengan
Edwan. Beberapa saat kemudian, Dewi jongkok dan menulis sesuatu di tanah, kau sarapan dulu, aku sudah siapkan di
meja.
Edwan membaca tulisan Dewi, lalu dia menjawab, “baiklah.
Tapi, dimana Lica?” tanyanya.
Dewi menulis lagi, sekolah.
“Ohhh”.
Dewi teringat kata-kata Lica yang menginginkan Edwan
menjadi kakaknya. Dewi kembali menulis, apa
kau mau menjadi kakak Lica?.
Cukup lama Edwan menjawab, lalu tersenyum sambil
mengangguk.
Dewi tersenyum senang mendapatkan jawaban dari Edwan.
***
Pulang dari sekolah Lica langsung ke tempat latihan
karate. Belum ada yang datang, dia yang pertama datang. Tapi di depan gedung
latihan terpakir mobil BMW. Lica mendekati mobil tersebut, bukan karena aneh
melihat mobil sebagus itu bisa terpakir di tempat latihannya melainkan ini
pertama kalinya dia bisa melihat lebih dekat mobil-mobil mewah yang biasanya
hanya bisa di lihat dari jauh, “wahhh…” kagum sambil menyentuh mobil tersebut.
Tiba-tiba pintu mobil bagian belakang terbuka. Lica
tersentak kanget sampai mundur 2 langkah, di tambah orang yang keluar dari
mobil itu ternyata anak kecil yang dipelitir tangannya kemarin, “kau…”.
“Apa ini pertama kalinya kau melihat mobil?” goda Kay.
“Enak aja!” Lica jual mahal.
“Kau masih marah padaku? Kata Ayahku, aku harus minta
maaf,” sambil menjulurkan tangannya.
Lica tertawa, “hahaha… haha… kau lucu haha…”.
“Kau ternyata manis juga,” puji Kay.
Lica berhenti tertawa, dia menatap Kay dengan tatapan
aneh.
“Apa kau mau menjadi temanku?”.
“Aku gak mau!” Lica menolak sambil membalikan tubuhnya.
“Kalau kau mau jadi temanku, aku akan berikan kau coklat”.
“Coklat?” Lica membalik tubuhnya lagi, dia melihat Kay
memengang kotak kecil berisi coklat-coklat berbagai bentuk.
Kay memberikan kontak coklat itu pada Lica. Dan Lica
langsung mengambilnya. “Kau suka coklat? Aku bisa membawakan coklat lebih banyak
lagi,” kata Kay.
“Janji?” sambil menjulurkan kelekingnya.
Kay menyambut keleking Lica dengan kelekingnya, “janji”.
Lica tidak langsung percaya, dia memberikan sabuk kuning
pada Kay, “kembalikan besok,” katanya lalu masuk ke dalam gedung.
Kay melihat ujung sabuk tertulis nama Lica, “besok aku
pastih datang”.
Pak sopir mendekati Kay, “kita pulang tuan,” tanyanya.
“Tunggu, aku mau beli minuman dulu,” kata Kay lalu
berjalan menuju warung pingiran jalan yang berada di sebrang jalan.
Tak jauh dari tempat latihan, Hendro sedang menaikin
motornya dengan membiarkan mesin kendaraannya menyalah. Matanya tertuju pada
Kay yang akan menyebrang jalan dan sekali-kali menolek ke arah foto pemberian
Budi, untuk memastikan dia tidak salah orang. Hendro bersiap-siap akan menjalankan
kendaraannya. Ketika memastikan Kay akan menyebrang, Hendro langsung
tancap gas.
Kay yang tak menyadari kendaraan menuju kearahnya
terlempar sekitar 25 meter dari tempat kejadian. Kepalanya terbentur batu yang
berada di pinggir jalan. Kay langsung tak sadarkan diri dengan memengang sabuk
pemberian Lica.
Hendro yang sempat menghentikan kendaraannya tidak bisa
menghindari masyarakat sekitar yang langsung menahannya untuk tidak melarikan
diri. Masyarakat sekitar berbodong-bodong datang untuk melihat apa yang
terjadi. Padangan Hendro masih tertujuh pada anak yang di tabrakannya itu.
padangannya beruba saat melihat anak laki-laki itu berubah menjadi putrinya,
“Lica…”. Tapi Hendro tidak bisa mendekati, karna banyak orang yang memengang
dirinya.
***
Bersambung
Tidak ada komentar :
Posting Komentar