4
Evan terbangun dari
tidurnya, dilihatnya Nata sedang membuka tirai jendela, “pagi sayang,” kata
Evan sambil bangkit dati tempat tidur.
Nata langsung menolek
kebelakang, “apa!.”
“Gua mau mandi,” lalu
masuk ke kamar mandi.
Nata senyum sendiri.
Tak lama kemudian Evan
keluar hanya memakai celana jeans tanpa memakai baju, Nata pura-pura tidak
melihat. Tiba-tiba hpnya berbunyi, Evan langsung menggangkat, “Halo...” setelah
menerima telepon Evan mengambil Baju kaos berwarna hitam dan jaket berwarna
hijau di lemari.
“Mau pergi?” Tanya
Nata.
“Ya.”
“Mau bertemu dengan
Sindy?.”
“Ya,” sebelum membuka
pintu, Evan menolek ke belakang, “Nanti siang gue tunggu loe di moll,” lalu
keluar dan pergi.
***
“Bagaimana kalau kita
buat pesta,” usul Kakek.
“Ide bangus. Kapan?.”
“Kalau sekarang
gimana?.”
“Gak mungkin Yah.
Kalau sekarang kapan undang tamu-tamunya.”
“Bener juga. Jadi
kapan?.”
“Lusa aja.”
“Dimana?.”
***
“Maaf terlambat,” kata
Nata yang sudah telat.
“Tidak apa-apa. Aku
juga barusan,” kata Perdi.
Nata melihat kopi yang
di minum Perdi hampir habis. “Sekali lagi maaf,” rasa bersalah Nata.
Perdi tersenyum lebar,
“untuk apa?.”
“Kakak sudah lama khan
disini.”
“Apa.”
“Kopi kakak sudah
habis.”
Perdi tersenyum lagi,
“tak apa.”
“Sebenarnya ada apa
sih kak?.”
“Aku mau menawarkan perkerjaan
untukmu.”
“Pekerjaan apa?.
***
Sedangkan di tempat
lain, Evan menemanin Sindy di cave. “Enak gak sih nikah itu?” Tanya Sindy setelah
meminum secangkir teh.”
“Biasa saja.”
“Masa sih…” suasana
terhening sejenak, “Kita ke puncak yuk…”
“Gapain?.”
Sindy menarik Evan,
“ayokkk…”
Setelah dipakiran,
“Mobil loe?.”
“Gak akan hilang kok,”
kata Sindy sambil masuk dalam mobil.
Evan masuk dalam
mobil, Lalu tancap gas ke Puncak.
***
“Sepertinya Evan tak
akan datang?” kata Perdi yang menemanin Nata menunggu Evan di depan Moll, “Kita
sudah dua jam lebih menunggunya.”
Nata diam.
“Kau telepon aja.”
“Gua mau pulang aja,”
sambil tersenyum yang dipaksakan, “Oya, besok aja gua beritahu keputusannya.
Kalau sudah ada keputusannya, nanti pasti gua telepon kakak.”
“Iya. Mau aku antar?.”
“Tidak usah.
Permisih…” lalu pergi. Nata tak langsung pulang, ia ke taman, lalu duduk di
kursi yang biasa ia dudukkin bersama Evan kalau sedang berdua. Tak lama
kemudian hpnya berbunyi,”halo, loe kemana aja?” tanya Nata yang mengetahuin
yang menelpon dari layar hp.
“Gue sekarang lagi di
puncak,” kata Evan.
”Dengan siapa?.”
”Sindy. Malam ini gua
gak pulang. Loe janga tidur lagi di luar...”
Nata langsung
mematikan hpnya, air mata yang ditahannya akhirnya keluar juga,”Loe jahat Van.”
***
Sedangkan di Vila
Sindy yang berada di puncak. Evan termenung sambil memengang hp yang sebelumnya
baru menelpon Nata.
“Ada apa?” tanya Sindy
baru keluar dari dalam Vila sambil membawa secangkir teh. “Nata Marah?.”
Evan diam.
“Wajar sih dia marah.
Mana ada sih istri tidak marah kalau suaminya pergi dengan wanita lain.”
Evan menatap Sindy.
“Sama seperti aku
marah padanya saat dia bersama dengan kak Perdi dan kau...” lalu menatap Evan.
“Apa!.”
“Gua serius. Gua marah
padanya, dia sudah merebut loe dari gua.”
“Jangan salahkan dia.
Gua yang memilihnya.”
“Loe mencintainnya??.”
***
Hari sudah gelap, Nata
baru pulang dari taman. Setiba dirumah, Nata melihat Perdi di teras rumah,
”Kakak. Kakak sudah lama? Ayo masuk,” ajak Nata sambil membuka pintu.
”Tidak usah. Kita
disini saja,” kata Perdi lalu duduk kembali di anak tangga yang berada di
teras.
Nata duduk di sebelah
Perdi.
”Evan sudah nelpon?.”
Nata mengangguk. ”Dia
gak pulang malam ini.”
Suasana terhening sejenak,
”Kau mencintain Evan?.”
“Apa!.”
”Kalau masih ada
ruang, tolong berikan padaku,” lalu menatap Nata.
Setelah Perdi pulang,
Nata langsung tidur. Sebelum tidur Nata memikirkan perkataan Perdi yang
menyatakan perasaannya padanya.
***
Terdengar dari luar
suara mobil berhenti. Nata pura-pura tak mendengar, dia sibuk mengosok di belakang
sambil nonto siaran TV. Evan masuk
kedalam rumah, langsung ke belakang, “masak apa?” Tanya Evan basa-basi.
“Gak masak,” betek
Nata tanpa melihat Evan. “Loe aja yang masak!.”
Evan yang melihat Nata
marah, “iya, gua masak. Gua ganti baju dulu.” Evan ke kamar. Setelah ganti
pakaian Evan melihat ada map berwarna merah di meja kamar, lalu di bukanya map
itu. Setelah membaca isi dalam map itu Evan keluar dari kamar. “Surat kotrak
itu dari kak Perdi?.”
“Ya.”
“Memangnya uang yang
gua berikan itu kurang?!.” Marah Evan.
“Loe lihat tanda
tangan gue di kotrak itu?.”
“Ee.. kalau loe sudah
menerimah kotrak itu walaupun loe belum tanda tanganinnya, kak Perdi pastih
berpikir loe pastih mau!! Memangnya apa sih enaknya jadi artis!!?.”
Nata menarik nafas
panjang, “loe tuh mau masak apa gak?!” marah Nata.
Nata duduk di meja
makan sambil menemanin Evan yang sedang masak telur mata sapi untuk makan siang
mereka. “Semalam kalian cumak berdua?” tanya Nata.
“Iya.”
“Sebelum kita bertemu
kalian sering pergi berdua ke puncak?.”
“Tidak. Biasanya
berempat, gua, sindy, kak Davin dan kak Perdi. Kenapa?.”
Nata terdiam sejenak,
“Semalam kak Perdi mengatakan perasaannya.”
“Apa!.”
***
Evan janjian dengan
Perdi yang sebelumnya menghubungin Perdi dulu di cave. Setelah pesanan datang
dan lumayan lama diam, lalu Evan membuka obrolan, “Soal pekerjaan itu Nata
menolaknya.”
“Kenapa Nata sendiri yang
tidak bilang?“ tanya Perdi.
“Nata banyak kerjaan
di rumah.” Terdiam sejenak. “gua harap kakak jauhin Nata.“
“Kenapa ?.“
“Karna Nata istriku.“
“Lalu Sindy ?.“
“Apa!.“
“Aku menyukain Nata.
Pertama kali aku bertemu dengannya aku langsung suka dengannya. Jika suatu hari
aku melihat Nata menanggis karna kau dan Sindy,” lalu menatap Evan, “aku pastih
akan merebutnya dari kau. Tak peduli Nata istri kau atau bukan!,” acam Perdi.
***
Nata mendekatin Evan
yang termenung di teras depan, “mau gua buatin teh?“ tawar Nata.
Evan menolek ke arah
Nata, “kita ke taman yuk…“
“Tumbet,” heran Nata
yang sudah lama Evan tidak mengajaknya ke taman lagi.
Di taman dan tempat
duduk yang sama. Evan melihat ke arah langit, “langit di sini lebih indah dari
pada di rumah.“
“Kau kenapa sih?“
kuatir Nata yang dari siang sikapnya aneh.
Evan diam sejenak,
“apa gua pernah buat loe menangis?.“
“Apa!?.”
“Kalau loe menangis.
Loe jangan menangis didepan kak Perdi.“
Nata tersenyum lebar,
“Hmmmm kenapa ?.“
“Ya... gua gak mau aja
kak Perdi mengira gua menyiksa loe.”
“Memang iya khan...”
“Tapi itu kan tugas
loe sebangai istri?.”
“Alasan. Bilang aja
mau yiksa,” merajuk Nata.
“Biarin.”
***
Pagi-pagi sekali suara
telepon sudah bedering kecang membangunkan Evan yang masih tertidur lelap,
“Halo...“
Setelah percakapan
selesai. Evan barun turun dari lantai 2. “Siapa?.”
“Kakek.”
“Loe gak suka Kakek
nelpon?!” sambil duduk di dekan nata.
“Bukan itu,” renggek
Nata.
“Lalu?.”
“Kakek mau buat pestah
karna kau lulus dengan nilai bangus,” penjelasan Nata.
“Bangus dong. Lalu
masalahnya apa?.”
“Kakek menyuruhku
untuk menyiapkan makan untuk pestah itu.”
Evan tertawa,
”ha…ha…ha…”
“Ada yang lucu.”
“Selamat bekerja,”
sambil berdiri.
“Loe harus Bantu gue.”
“Sorry. Gua harus
kerja. Ha…ha…ha…” yang masih tertawa.
“Wajar semalam gua
bilang loe tuh penyiksa!.”
Setelah Evan pergi.
Tak lama kemudian pintu diketuk, “Tok...tok...tok...” Nata langsung membukakkan
pintu. “Rut. Ayo masuk,” ajak Nata.
“Loe kenapa?” Tanya
Rut melihat Nata lesuh.
“Iya. Nanti sore ada
pestah.”
“Pestah apa?.”
“Pestah untuk Evan, dia
lulus dengan nilai bangus.”
“Lalu. Kenapa loe
sedih.”
“Makanan di pestah
itu, Kakek menyuruh gua untuk menyiapkannya. Gua binggung mau pesan masakkan
dimana? Dadakkan pula,” lesu Nata.
“Itu aja repot.”
“Apa!.”
“Loe lupa pernah kerja
di cave. Memangnya di cave tempat kerja loe dulu masakkannya kurang enak!”
kesal Rut.
Nata langsung mencubit
pipi Rut, “untung loe datang,” lalu mengambil hp dari sakunya.
***
Dikantor Evan sedang
melihat berkas-berkas yang duberikkan sekretarisnya. Tiba-tiba hpnya berbunyi,
Evan menggangkatnya, “Halo…”
“Loe lagi kerjanya?”
Tanya Sindy yang menelpon.
“Iya.”
“Loe bisa ke cave
sekarang khan…”
Evan terdiam sejenak,
“gua gak bisa. Lagi banyak kerjaan,” lalu mematikkan panggilan. Evan termenung
sejenak, “Gua harus bisa memilih,” ucap Evan yang binggung harus memilih siapa.
***
Sedangkan di cave
Sindy kebinggungan karna baru kali ini Evan menolakknya jika di ajak ketemuan.
Tapi semua itu tertutup karna tiba-tiba Perdi muncul. “Kak Perdi,” senang Sindy
melihat Perdi.
“Kau di sini juga,”
lalu duduk. Setelah memesan minuman Perdi bertanya pada Sindy, “Bagaimana
hubungan kau dan Evan.“
“Biasa saja.“
“Kau menyukain Evan?.”
“Apa!?.”
“Setahu aku dulu Evan
sangat menyukainmu. Tapi sepertinya sekarang masih.. “
“Maksud kakak apa?.”
“Kau juga menyukain
Evan khan...?.”
“Tidak.”
“Lalu kenapa kau tidak
melepaskannya?.”
Sindy terdiam.
***
“Sudah siap sayang?”
tanya Tante yang baru datang ke hotel bersama Kakek.
“Beres,” jawab Nata
singkat yang sudah siap masakkan maupun penampilannya, dengan memakai gaun
berwarna kuning dan rambut dibiarkannya terurai.
“Bangus. Kalau gitu
tante sambut tamunya dulu.“
Nata mengangguk. Nata
melihat Evan baru datang, didekatinnya Evan, “kok lama banget datangnya ?.“
“Lagi banyak kerjaan,“
kata Evan lalu melangkahkan langkahnya ke arah kolam renang.
Dibenak Nata bertanya,
tapi semua itu terlupakan kita seorang cowok mendekatinnya, “kak Perdi.“
“Kenapa termenung ?.“
“Gak ada kok.“
Beberapa menit
kemudian Sindy datang, lalu mendekatin Nata dan Perdi, “hai kak,“ sapa Sindy.
“hai.“
“Mana Evan ?“ tanya
Sindy pada Nata.
“Di kolam.“
“Gua ke kolam dulu,“
lalu Sindy ke kolam renag untuk mencari Evan.
Nata yang mulai
cemburu mulai gelisah. “Aku ke sana dulu kak.“
“Ya.“
Lalu Nata ke kolam
renang, dari jauh Nata melihat Evan dan Sindy. Nata mendekatin mereka, baru
beberapa langkah kaki Nata terhenti. Nata langsung bersembunyi karena tiba-tiba
Sindy bertanya tentang perasaan Evan padanya.
“Gua Tanya! Loe cinta
sama Nata?!“ Tanya Sindy pada Evan.
Evan diam.
“Jawab!!.“
Evan tetap diam.
“Kalau boleh memilih,
loe lebih memilih gue atau Nata?“ tanya Sindy lagi.
“Gue sangat mencintain
loe, gue ingin bersama loe senang maupun sedih...“
Nata yang mendengar
kata-kata Evan, langsung menangis dan pergi dari kolam renang.
“Tapi itu dulu.
Sebelum perasaan ini beruba, sekarang gua ingin bersama Nata,“ kata Evan.
“Loe mencintainnya?.”
“Ya. Gua sangat
mencintainnya.“
“Tapi loe janji tak
akan melepaskan aku.“
Evan tersenyum, “gua
akan menepatin janji gua.” Lalu pergi meninggalkan Sindy sendiri di kolam
renang. Evan mencari Nata namun dari tadi Nata tidak terlihat, lau bertanya
pada Rut, “kau lihat Nata?.”
“Tidak,” jawab Rut.
“Sayang, Nata kan
pergi sama Perdi.”
“Apa!.”
Rut langsung mengijak
kaki Heru.
“Auhh,” Heru
kesakitan.
***
Nata dan Perdi ke taman. Perdi membiarkan Nata
menanggis sepuasnya, “Gua memang bodoh, dari dulu gua tahu dia cumak mencintain
Sindy. Tapi kenapa gua tetap memaksakan diri….hemmmm….” yang masih menanggis.
Perdi tersenyum,
“sekarang apa yang mau kau lakukan?.”
Nata diam.
“Apa ruang yang terluka
itu bisa aku masukkin.”
“Apa!.”
***
Hari sudah pukul 10
malam, Nata Baru pulang. Dilihatnya Evan duduk di ruang tengah sambil nonton
TV. Nata melangkahkan kakinya menaikkin anak tangga tanpa mentapa Evan.
“Loe kemana aja? Gak
tahu jam berapa sekarang?!!” tanya Evan.
Nata menarik nafas
panjang, lalu menolek ke arah Evan, “Gua minta cerai.”
“Apa?!” kaget Evan.
“Kalau bisa di urusnya
secepatnya. Gua mau pergi sama kak Perdi ke Cina,” lalu melajutin menaikkin
anak tangga.
Evan langsung
memengang tangan Nata, “Apa ini karna kak Perdi?.”
Nata melepaskan
tangannya, “bukannya ini keinginan loe!.”
“Apa!.”
“Loe akan menikah
dengan Sindy dan gue dengan kak Perdi.” Tiba-tiba tamparan menempel di wajah
Nata. “Puas…” lalu berlari masuk ke kamar. Didalam kamar Nata menanggis.
Sedangkan Evan
terduduk di tanggan sambil menyesalin dia menampar Nata.
***
Semalam Evan tidur di
sofa. Dilihatnya Nata tidak ada didapur yang biasanya jam segini Nata sudah ada
didapur untuk menyiapkan sarapan pagi untuknya. Lalu kekamar berharap Nata ada
dikamar. Tapi apa yang diharap ternyata tidak selalu harus ada, langsung
dibukanya lemari, ternyata pakaian Nata masih ada. Lalu Evan keluar berharap
Nata diluar, Nata tidak ada diluar, Evan terduduk di teras binggung harus
melakukan apa.
***
“Loe serius mau
bercerai?” tanya Rut, yang sebelumnya Nata menceritakan semua kejadian semalam
pada Rut.
“Gua capek begini
trus.”
“Tapi kan... loe sudah
jauh melangkah.”
Nata tersenyum. “
bagaimana lagi, dia tak mencintain gue.”
“Tapi gua gak setuju
loe nikah dengan kak Perdi.”
“Kenapa?.”
“Loe nikah sama kak
Perdi hanya pelampiasan aja khan?.”
“Emangnya siapa yang mau
menikah dengan kak Perdi?.”
“Tadi kata loe?.”
Tiba-tiba hp Nata
berbunyi. Nata langsung menggangkatnya, “Halo...”
“Halo. Bisa ketemu?”
kata Sindy.
“Ya.” Setelah
menentukan tempat pertemuan, lalu Nata langsung pergi.
Beberapa saat
kemudian, Nata sudah sampai di cave, “Maaf menunggu lama,” kata Nata.
“Gak apa. Ayo duduk,”
lembut Sindy.
Nata duduk.
“Baru kali ini kita
bisa ngobrol berdua,” sambil tersenyum.
“Ada apa?.”
“Aku ingin tanya
sebangai temen? Anggap aja aku sebagai Lina.”
“Mau nanya apa?.”
“Dulu kau melepaskan
kak Davin demi Lina. Apa kau bisa melepaskan Evan demi aku,“ Sindy
tertawa,“ha... gak mungkin kau lepaskan Evan demi aku. Aku kan bukan
siapa-siapa kau.“
Nata teringat dengan
kata-kata Rut, Tapi kan... loe sudah jauh melangkah, lalu berkata,“temennya
Evan temen gua, gua temen Evan juga. Loe kan sahabat Eva jadi sahabat gua juga.
Tapi maaf, kejadian ini lain dengan kejadian gua dengan Lina. Evan sekarang
sudah jadi suami gua. Sampai kapan pun gua akan mempertahankan Evan walaupun
akhirnya… aku tahu Evan tak menyukain gua. Gua akan tetap mempertahankannya,”
lalu berdiri.
“Lalu seandainya Evan
meninggalkanmu, bagaimana ?.“
“Mungkin itu satu
perjuangan gua terakhir. Gua tak akan meninggalkan Evan sampai Evan yang akan
meninggalkan gua. Permisih.” Lalu pergi.
***
“loe sudah pulang?”
Tanya Evan dari meja makan.
“Loe masak?”
dilihatnya meja makan penuh dengan masakkan enak.
“Gak. Tadi gua pesan.”
“Gua pikir tadi…”
“Loe kan tahu gua gak
bisa masak. Tadi loe kemana?” tanya Evan.
“Ke rumah Rut, lalu
ketemu dengan Sindy.”
“Gapain kalian
bertemu?.”
“Dia minta gue
melepaskan loe.”
“Lalu jawab loe.”
“Gua lapar,” kata Nata
berlari dari perkataan.
“Loe belum jawab
pertanyaan gue?!.”
“Gue gak boleh makan
nih...”
“Tapi nanti jawab
ya...”
“Ya...”
***
Besoknya Evan menemuin
Perdi di kantornya, setelah diantar sekretaris ke ruangan kerja Perdi. “Maaf
mengganggu...”
Perdi tersenyum,
“silakan dudu.”
Lalu Evan duduk di
bangku di ruangan itu.
“Ada apa?.”
“Gua harap jauhian
Nata.”
“Aku kan pernah
bilang, kalau aku lihat Nata menanggis, aku akan merebutnya dari kau. Jadi
jangan salahkan aku bila aku merebut Nata dari kau.”
”Nata pernah menanggis,”
yang baru tahu, ”kapan ?.”
”Pesta itu.”
Dalam perjalan pulang,
tiba-tiba hp Evan berbunyi, Evan langsung mengangkatnya, “Halo... ” Evan
menerima kabar dari Tante kalau Sindy masuk rumah sakit. Evan langsung balik
arah menuju rumah sakit tempat Sindy dirawat. Setiba di rumah sakit Evan
langsung kekamar Sindy dirawat yang sebelumnya diberitahu tante dari telepon
tadi. ”Bagaimana keadaannya?” kuatir Evan.
”Kata dokter dia hanya
stress, kata Tante.
Nata melihat Evan
sangat kuatir dengan keadaan Sindy yang belum sadarkan diri sejak tadi siang
pingsat di rumah kakek. Lalu Nata dan tante keluar dari kamar.
”Kau jangan cemburu
ya...” nasehat Tante, ”mereka dekat dari kecil, itulah Evan
sangat kuatir.”
Nata mengangguk.
Sebelum pulang Nata
janjian bertemu dengan Perdi di cave.
“Ada masalah?” tanya
Perdi.
“Sebelumnya gua mau
minta maaf. Gua gak bermaksud mempermainkan perasaan kak Perdi. Tapi perasaan
ini gak bisa gua bohogin.”
“Aku gerti,” kata
perdi yang mengetahuin maksud kata-kata Nata. “aku juga tidak mungkin
memaksamu.”
“Dan soal ke Cina. Gua
gak bisa ikut.”
“Gak apa. Tapi besok
kita bisa bertemu khan...”
“Iya.”
***
4 jam pun berlalu,
Sindy baru sadarkan diri, dilihatnya Evan duduk dekat tempat tidurnya, ”sudah
berapa lama gua pingsat?” tanya Sindy.
“Empat jam lebih.
Maafkan gua.”
“Untuk apa?.”
“Gara-gara gua loe
sakit.”
“Bukan salah loe kok.
Ini semua salah gua. Kalau gua tidak egois, gua tidak mungkin seperti ini,”
sambil tersenyum. “besok gua akan berangkat ke Paris.”
“Tapi loe masih
sakit.”
“Gua sudah sehat kok.”
“Tapi kata loe mau
kuliah disini?.”
“Dulu gua ingin kuliah
disini ada yang dikejar. Tapi orang yang dikejar tak mau, gimana lagi? Kan tak
bisa dipaksa.”
Evan tersenyum.
“Van, aku melepaskanmu
sekarang. Jangan sekali-kali kau lepaskan Nata. Dia wanita bai-baik.”
“Ya.”
***
“Jadi besok Sindy
pulang?” tanya Kakek.
“Sepertinya jadi,”
jawab tante.
“Kenapa tidak di sini
aja?.”
”Biarkan saja dia pulang
ke Paris,” sambil tersenyum.
”Kau kenapa? Seneng
bangen lihat Sindy pergi?.”
“Tidak juga,” kata
Tante yang juga mendengar perkataan Evan dan Sindy waktu di kolam renang itu.
***
Mobil berhenti didepan
rumah. “kenapa di luar?” Tanya Evan melihat Nata duduk di depan teras.
“Gak ada temen di dalam?”
yang masih duduk di anak tangga. “bagaimana keadaan Nata?.”
“Sudah baikkan,”
sambil duduk di sebelah Nata. Suasana terhening sejenak, “besok Sindy pulang ke
Paris?.”
Nata tersenyum.
“Eehhh… kalau loe
ingin jadi artis, boleh kok.”
”Tapi gua harus ke
Cina.”
”Boleh kok.”
”Kenapa loe?.”
”Gua belum selesai!.”
”Iya.”
”Loe harus jaga hati
loe untuk gue ya.”
”Hahhhh....” heran
Nata.
***
Seperti biasanya Nata
bangun pagi-pagi untuk menyiapkan sarapan untuk Evan. Setelah selesai masak,
Evan sudah terlihat keluar dari kamar.
”Loe jadi antar Sindy
ke Bandara ?.”
Evan mengangguk, “Loe
mau ikut.”
“Tidak. Gua mau ke
kantor kak Perdi. Ada janji dengannya.” Nata melihat Evan murung, ”boleh khan.”
Evan menatap Nata, lalu
tersenyum, ”mau gua antar.”
“Gak usahlah.”
***
“semua barang sudah
dibawak?” tanya Tante membantu Sindy beres-beres.
“Sudah Tan.”
“Barang-barang
dirumah?”
“Nanti pak sopir
mengantarnya ke bandara.”
Tak lama kemudian Evan
muncul dari balik pintu, “sudah siap?” tanya Evan.
“Sudah. Mana Nata.”
“Nata minta maaf gak
bisa mengatar, dia ada janji dengan kak Perdi.”
“Tapi kan kak Perdi
sudah di Cina.”
“Apa!.”
“Semalam gua nelpon
kak Perdi untuk mengantar gua ke bandar, tapi katanya dia sudah di Cina, sore
kemarin berangkatnya.” Sindy tersenyum, “ salam saja ke Nata.”
“Ya.”
“Ayo kita berangkat,”
kata Tante.
Setelah Nata
dipindahkan kekursi roda, lalu tante mendorong kursi sampai ke pakiran rumah
sakit sedangkan Evan membawa tas Sindy.
“Setiba dibandara.
Sindy memeluk Evan, “gua pastih merindukanmu?.”
“Gua juga.”
Lalu memeluk tante.
Sindy masuk kedalam di temanin suster kariawan bandara untuk mendorong kursi
roda. “dahhh....”
“Bayyy....”
Setelah Sindy tidak
kelihatan lagi. Nata tiba-tiba muncul, “Mana Sindy?.”
“Sudah masuk?” jawab
Evan.
“Hemmm... sudah
cepat-cepat gak ketemu juga.”
“Ya gimana lagi,” kata
Tante.
Nata menarik nafas
panjang.
“Tante pulang duluan
ya.”
Nata dan Evan
mengangguk.
Evan dan Nata tidak
langsung pulang. Mereka ke taman.
“Sudah lama kita tidak
kesini?” kata Evan.
“Ya, sudah lama banget,”
sambil tersenyum lembar.
“Mau kacang.”
Nata mengangguk.
Evan pergi membeli
kacang rebus tak jauh dari mereka duduk. Tak lama kemudian Evan datang membawa
2 bungkus kacang rebus. 1 bungkus diberikannya pada Nata. “Perdi sudah pergi.
Jadi kita gak jadi bercerai khan?” tanya Evan sambil memakan kacang rebus.
Nata menolek ke Evan,
“loe mau kita bercerai?.”
Evan menolek ke Nata,
“kalau loe?” tanya balik.
Nata tersenyum, lalu
mencium pipi kanan Evan. Evan kanget langsung memengang pipinya. “Loe kan
pernah minta ciuman kalau loe dapat nilai bagus,” kata Nata.
Evan salah tingkah,
“jadi hadiah pernikahan kita ini dong…” sambil menujuk bibirnya.
Nata tersenyum malu.
Evan memengang wajah
Nata, mereka berdua saling menatap. Perlahan-lahan Evan mendekatin bibirnya ke
bibir Nata. Suasana taman menghiasin cinta mereka berdua.
Cerita panjang yang melelahkan, sangat menarik dengan rangkaian kata nan indah
BalasHapustrimah kasih........ aku akan lebih telitih lagi
Hapus