3
“gua gak gerti apa
maksud kak Perdi?” kesal Sindy.
“Ya udah, gak usah ambil
pusing,” bujuk Evan.
“Loe gak mencampakkan
gua khan?.”
“Gaklah.”
“Tapi kalau
dipikir-pikir, perkataan kak Perdi ada benarnya juga, loe mencampakkan gua
cumak karna Nata. Iyakan…”
Evan tak menjawab.
“Kalau boleh memilih,
loe milih gue apa Nata?.”
Evan menatap Sindy,
“Gua milih loe.”
“Ha…ha…” Sindy
tertawa. “Loe masih suka bercanda ternyata ha…”
Evan ikut tertawa.
“Loe pastih memilih
Nata, iyakan?.”
Evan mengangguk.
“Tapi gua ada
permintaan sama loe.”
“Apa?.”
“Kalau gua senang,
sedih, kecewa, dan sangat membutuhkan loe, loe harus ada untukku gue walaupun
Nata juga membutuhkan loe. Walaupun loe sudah milik orang lain, loe gak boleh
melepaskan gue sampai gue sendiri yang melepaskan loe.”
“Iya.”
“Loe Janji.”
“Iya”.
***
“Dari mana aja loe?”
tanya Sella.
“Dari Cave,” jawab
Nata.
“Tapi Rut dari tadi
sudah pulang.”
”Gua nunggu Evan.”
Sella tak melihat Evan
mengatar Nata, “Mana dia?.”
“Gak datang.”
“Kok gitu?.”
“Udah deh... gua mau
tidur!” marah Nata lalu langsung masuk kekamarnya.
Rut keluar dari kamarnya,
“Kenapa dia marah-marah?.”
“Mana gua tahu?”
binggung Sella.
***
“Nat...” sambil
membuka pintu kamar Nata. “ada tamu Tante Evan,” kata Sella.
“Iya,” langsung
bangkit dari tempat tidur langsung keruangan tamu. “Tante, ada apa ya Tan? Kok
sampai kesini Tante.”
“Tante mau mengajak
kau ke butik,” jawab tante.
“Gapain ke butik?.”
“Ya... untuk mencocok
baju pernikahanmulah...”
“Kami boleh ikutan gak
Tan?” harap Rut.
“Kalian boleh ikut.”
“Bener Tan.”
“Iya.”
Lalu mereka segera
siap-siap.
Setiba dibutik, mereka
bertiga melihat bermacam-macam bentuk gaun dan kebaya pengatin yang sangat
cantik-cantik. “Selama datang nyonya,”
sapa Sinta memilik dan juga perancang baju penganti itu, “ini ya calon pengatinnya
ya. Cantik banget,”pujinya,
“Nanti kapan-kapan kau
mau kan jadi model tante?.”
“Boleh Tan.”
“Wahhh... sudah dapat
tawaran kerja nih...” goda Tante.
Malu Nata.
“Mana baju yang aku
pesan kemarin.”
“Ayo...” ajak Sinta ke
tempat kerjanya.
Setelah dari butik,
Nata dan Rut pulang duluan sedangkan Sella pergi bersama Tante tak tahu kemana.
“loe bener gak tahu kemana Tante mengajak Sella,” tanya Rut.
“Gak,” jawab singkat.
Kedatangan mereka
berdua disambut Lina yang dari tadi sudah menunggu mereka di teras depan.
“Udah lama?” tanya
Rut.
“Ya... lumayan.”
“Kenapa gak nelpon
kami aja?” Tanya Nata.
“Aku gak mau nganggu.
Aku pikir hanya kau aja yang pergi sama Tante, itulah Tante tadi gajak aku tak
mau.”
“Ayo masuk,” ajak Nata
ke kamarnya.
“Setelah pernikahan
kau selesai, aku dan kak Davin akan ke Bandung, dan tinggal disana.”
“Kami pastih akan
merindukkanmu,” kata Rut lalu memeluk Lina, Nata pun ikut memeluk mereka.
***
“Sore banget
pulangnya?” tanya Nata pada Sella yang baru pulang.
“Iya, tadi aku
kelamaan baca dokumennya?” sambil duduk di kursi teras.
“Dokumen apa?.”
“Gua di minta Tante untuk jadi menejer hotel tempat
kita kemarin.”
“Maksud loe, loe mau
kerja di Bali.”
“Iya.”
“Loe mau?.”
Sella mengangguk, “Gak
apa kan kalau kalian hanya berdua disini?.”
“Ya gak apa-apalah.
Khan itu cita-cita loe dari dulu, jadi menejer hotel.”
“Iya.”
“Jadi kapan loe
berangkatnya?.”
“Sebenarnya sih besok,
cumak lusa kan pernikahan loe. Jadi selesai pernikahan loe gua terbang ke
Bali.”
“Loe akan ke Bali,
Lina ke Bandung dan nanti Rut pastih ikut Heru ke Bengkulu sedangkan gua di
Jakarta.”
“Bagaimana pun jauhnya
kita, kita berempat tetap jadi sahabat sampai mati.”
Nata memeluk Sella,
“Gua pastih merindukkan loe.”
“Harus.”
***
Evan melihat Nata
duduk sendirian di bangku taman yang biasa mereka dudukkin, yang sebelumnya dia
mencari Nata dikosan. “Ternyata loe disini?” sambil duduk di sebelah Nata.
Nata langsung berdiri.
“Loe marah?.”
“Yang loe lihat!.”
“Kenapa loe marah?.”
“Masih nanya!.”
Baru beberapa langkah,
Evan langsung memengang tangan Nata, “Jangan seperti anak kecil.”
“Yang anak kecil itu
loe atau gue!!?.”
“Maksud loe apa
sih...” yang masih binggung dengan perkataan Nata.
“Anak kecil suka
ingkar dengan janjinya, itu sama dengan loe!!!?.”
“O... cumak gara-gara
itu.”
“Cumak... kata loe
cumak...!!! gua gak mau menikah sama loe.”
“Loe pikir gua mau menikah
sama loe. Loe dengan ya, gak pernah sedikit pun gua berharap loe mau jadi istri
gue!!!” marah Evan.
“Ya sudah kalau gitu,”
lalu pergi meninggalkan taman sambil menanggis.
***
“Kau sudah pulang
sayang” sapa Tante.
”Iya,” lalu menaikkin
anak tangga.
”Van. Coba kau
cocokkan dulu baju ini pas gak ke kau, kalau gak pas kan besok masih ada
waktu.”
”Gak usah lagi,
pernikahan dibatalkan.”
Semua yang berkumpul
sangat kanget mendengat perkataan Evan.
“Kalian bertengkar?”
Tanya Davin.
“Gua sudah bilang kan
pernikahan ini dibatalkan!” Evan menolek kearah Kakek, “dan gua harap Kakek
jangan pura-pura sakit lagi,” lalu masuk ke kamar.
Semua saling menatap
keheranan apa yang sebenarnya terjadi.
“Nanti aku coba
bertanya sama Nata,” kata Lina.
***
Sedangkan Nata masih menanggis
dikamarnya, setiap telepon dari Lina dan sms tak diangkat dan dibalasnya. Dia
terus menangis menggingat perkataan kasar Evan padanya.
***
Evan membuka kedua
matanya dan berkali-kali menguap, namun dia langsung kaget melihat Lina duduk
di kursi tak jauh dari tempat tidurnya, “Gua kira tadi siapa?” sambil duduk,
“Ada apa?.”
“Anggap aja ini perkataan
antara adik dan kakak,” diam sejenak, “kalian bertengkar?”.
“Iya”.
“Kalian ada masalah
apa?”.
“Kenapa kau tidak
langsung bertanya pada Nata.”
“Karna aku tahu siapa
Nata sebenarnya.”
Evan diam.
“Kau pastih ingkar
janji padanya,” tebak Lina.
“Itukan hanya masalah
sepeleh.”
“Mungkin bagi kau itu
masalah sepeleh, tapi bagi Nata itu kesalahan besar,” terdiam sejenak, “Dulu
juga keluarga dari pihak Ayah dan Mamanya berjanji akan menjemput Nata di
panti, sampai sekarang mereka tak menjemput Nata, tapi kabar terakhir didengar
mereka semua sudah meninggal, ada yang kecelakaan dan ada yang meninggal karna
sakit, mungkin sekarang hanya anak-anak mereka yang masih hidup. Mungkin dari
situ Nata sangat benci sama orang yang ingkar janji. Dulu waktu kecil aku
berjanji memberikan permen pada Nata, aku tak menepatinnya, mungkin kalau
dihitung-hitung Nata sebulan lebih mediamkan aku, padahal berkali-kali aku
minta maaf dengannya tapi dia tak memaafkan aku,” cerita Lina.
“Lalu gimana kalian
bisa teguran lagi?.”
“Gua minta maaf dan memberikan permen yang gua
janjikan padanya.”
“Baru dia memaafkan.”
“Iya”.
“Seperti anak kecil”.
“Mungkin kau pikir
Nata seperti anak kecil, tapi sifatnya itu ada untungnya juga dengan kita”.
Evan tersenyum, “kau
benar”.
***
“Ada apa Kak?” Tanya
Nata pada Davin yang menunggunya di teras.
“Gua mau nanya, apa
benar kau gak mau menikah dengan Evan?.”
“Evan sudah cerita
sama kakak khan?.”
“Kalau itu karna
omongan gua kemarin, gua minta maaf, gua seneng kok lu jadi adik ipar gua.”
“Kakak gak usah merasa
bersalah, ini bukan gara-gara kakak. Mungkin ini yang terbaik untuk kami berdua.
Kami tak ada kecocokkan.”
“Tapi…”
“Maaf kak, gua kurang
sehat, sekarang gua mau istirahat.”
“Baiklah.”
Lalu Nata masuk ke
kamarnya.
Rut dan Sella keluar
dari rumah mendekatin Davin, “Bener kak Nata batal menikah?.”
“Sepertinya iya.”
“Tapikan acaranya
besok,” kata Sella.
“Ya gimana lagi. Mau
melanjutkannya juga, kedua pihak menolak melajutkan pernikahan ini,” kata
Davin.
“Bisa-bisa Nata tak
laku-laku, itu kan termasuk mencampakkan,” sambung Rut.
“Apaan sih loe!!”
marah Sella, “pernikahan ini harus terjadi?.”
“Caranya?.”
“Kakak urus Evan, soal
Nata kakak terimah beres,” Sella ad aide.
“Ok.”
“Nanti malam sms
tempat pernikahan mereka.”
“Ok.”
Lalu kak Davin pulang.
“Rencana apa sih…”
“Nanti loe tahu
sendiri.”
***
Besoknya Nata duduk
melamun diteras depan rumah berharap Evan datang menjemputnya, namun harapan
itu sia-sia, Evan tak datang-datang. Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan
rumah, Heru keluar dari mobil. “Loe mau kemana? Rapi banget?.”
“Halo sayang…” kata
Rut yang tiba-tiba muncul dari pintu bersama Sella.
“Kalian berdua mau
kemana?” tanya Nata lagi.
“Ke Pestah,” jawab
Heru.
“Pestah apa?.”
“Eee... temennya Heru
ada yang merit, kami mau kesana,” alasan Rut.
“Kita ke salon yuk…”
ajak Sella.
“Tumbet loe ajak gue ke
salon?” curiga Nata.
“Ada temen gue bukak
salon, mungkin kalau kita ke sana dapat korting sedikit.”
“Gue kenal?.”
“Gak lah…”
Tak lama Nata
berpikir, “iya deh… gua juga gak pernah lagi ke salon.”
“Gitu dong...
cepetnya, biar sekalian kita numpang ke mereka, irit ongkos.”
“Iya,” lalu masuk
kamar untuk bersiap-siap.
Mereka bertiga menarik
nafas legah.
***
“Kakek harap kau
jangan buat masalah lagi?” kata Kakek pada Evan sambil membantu Evan memakai
jas hitam yang sewarna dengan celananya.
“Gua gerti,” jawab Evan.
“Gua gerti,” jawab Evan.
***
Setiba di hotel,
mereka turun dari mobil, “ini kan hotel?” heran Nata.
“Iya, dia bukak salon
di hotel ini,” alasan Rut yang tak masuk akal.
“Gua baru dengar kalau
di hotel ada salon?” tanya Nata lagi.
“mungkin dia berpikir
di hotel lebih mengutungkan dari pada buat salon di luar sana.”
“Iya juga sih...”
“Ayo...”
Sella mengantar Nata
kesalah satu kamar, sedangkan Rut dan Heru pergi ke tempat pestahnya. “Ayo
masuk.”
“Loe gak masuk?.”
“Gua mau ke kamar
mandi sebentar.”
“Gua tunggu didalam
ya.”
“Iya.”
Lalu Nata masuk
kedalam kamar. Nata kaget melihat ada Tante ada dalam kamar itu, “aku tahu kau
marah, benci dan kesal pada Evan, tapi aku mohon jangan memalukan keluarga
kami.”
Nata menatap Tante.
“Kau mau kan
melajutkan pernikahan ini?.”
Walaupun ragu-ragu
Nata pun mengangguk tanda setuju. Tante pun segera memerintahkan pelayan dan
tungkang salon segera medadanin Nata secantik mungkin.
Kakek dan Davin
berkali-kali melihat jam dilengan mereka. Semua tamu sudah datang, penghulu pun
sudah tiba dari tadi, tapi Nata belum juga datang. Lama menunggu akhirnya Tante
pun muncul bersama Nata. Evan menolek kearah Nata. Tante membantu Nata untuk
duduk disebelah Evan.
“Bagaiman kedua
mempelai sudah siap?” Tanya penghulu.
Nata dan Evan
mengangguk.
“Silakan penggang
tanggan saya.” Lalu Evan memengang tangan penghulu sebagai wali untuk Nata
karna tak ada keluarga di pihak mempelai wanit nya. “Ikutin kata-kata saya?”
kata penghulu itu lagi.”Saya Evansah Putra Wijaya…”
Evan mengikutin
kata-kata penghulu itu, “Saya Evansah Putra Wijaya…”
Pernikahan itu pun
terjadi, Evan dan Nata sah menjadi suami istri. Selesai acarah nikah. Pestah
pun langsung dilaksanakan di hotel itu juga, semua tamu semakit lama semakit
bertambah yang datang. Dari tadi Evan dan Nata tak bicara satu sama lain,
mereka hanya sibuk dari tadi menyalamin tamu-tamu yang mengucapkan selamat pada
mereka.
“Selamatnya…” kata Sindy
pada Nata dan Evan.
“Trimah kasih.”
“Selamat,” kata Perdi
pada Evan dan Nata Juga, “Sepertinya kita pernah ketemu,” yang tak asing
melihat Nata.
“Kak Perdi khan... aku
Nata.”
“Oya. Kita pernah
ketemu di Bali khan...” Perdi mulai mengingat.
“Iya, gak nyangkah
kita bisa bertemu lagi.”
“Mungkin kita jodoh.”
“Apa!.”
“Gak usah sekaget
gitu, nyatanya Evan sudah duluan merebut kau,” tersenyum lebar.
“Ayo kak,” ajak Sindy.
Setelah mereka pergi,
Evan bertanya pada Nata, “kenapa loe gak pernah cerita kalau loe kenal sama kak
Perdi?.”
Nata tak perduli
dengan pertanyaan Evan, dia hanya terus membalas senyuman tamu yang tersenyum
padanya.
“Ok... nanti selesai
acara ini kita nonto,” kata Evan.
“Bohong!” yang tak
langsung percaya
“Gua janji.”
“Selesai acara ini?.”
“Iya.”
“Filem apa?.”
“Terserah loe?.”
“2012 yach….”
“Ok. Sekarang jawab
pertanyaan gua.”
“Yang pertama loe gak
nanya dan yang kedua mana gua tahu loe kenal sama kak Perdi.”
“Gua nyesel nanya”.
“Tapi loe sudah
janji,” tersenyum Nata.
“Iya.”
Memang sih acara sudah
selesai dari tadi, namun tamu-tamu belum semuanya pulang. Namun Evan dan Nata
sudah pergi sejam yang lalu meninggalkan hotel padahal semua keluarga sudah
menyiapkan kamar malam pertama mereka di hotel.
Setelah mengantar Nata
ganti baju, mereka langsung pergi ke bioskop. Nata langsung masuk kedalam
bioskop yang sebelumnya sudah membeli tiket bersama Evan setiba dibioskop,
sedangkan Evan membeli makanan dan minuman, lalu masuk ke dalam bioskop
ternyata filem sudah ditanyangkan. Evan mencari no kursinya.
“Lama banget?” kata
Nata sambil mengambil makanan dan minuman dari tangan Evan.
“Cerewet...”
“Biarin....”
Dua jam pun berlalu,
filem sudah habis dan lampu kembali dihidupkan. Evan melihat Nata sudah
tertidur lelap menyadar dibahunya. Lalu diangkatnya Nata ke mobil.
Setiba di rumah, Bi
Ija membukakan pintu untuk Evan dan Nata. “Kok tuan pulang lagi?” tanya bi Ija
heran.
“Memang gua gak boleh
pulang lagi, ” kata Evan yang mengedong Nata dari mobil yang masih tertidur
lelap. “Mana yang lain ?.”
”Di hotel.”
”Betah banget mereka
di hotel,” heran Evan, “gua mau kekamar dulu,” lalu kekamar. Diletakkan Nata di
atas kasur lalu menyelimutinnya, setelah itu Evan menjatuhkan tubuhnya di atas
kasur lalu segera tidur karna dari tadi dia sangat lelah. Evan menolek kearah
Nata yang sepertinya mimpi indah terlihat senyumam dari wajah Nata yang
tertidur lelap.
***
Pagi-pagi sekali sudah
terdengar suara mobil dari teras rumah, bi Ija langsung membukan pintu, “Pagi
tuan,” sapa Bi Ija.
“Apa Evan dan Nata
sudah pulang?” tanya Kakek.
“Sudah tuan. Semala
Tuan dan Nona pulang.“
“Dimana mereka ?.“
“Di meja makan.“
Tanpa pikir panjang
mereka langsung ke meja makan. “Ayah jangan emosi ?“ sarat Tante.
“Gimana tidak emosi !!.“
Setiba di meja makan.
“Kalian sudah pulang,
ayo sarapan,“ ajak Evan sambil memakan kue tawar berselai coklat.
“Semalam kalian kemana
aja?“ tanya Davin sambil duduk.
“Ke bioskop,“ jawab
Nata.
“Apa!“ semua kaget
mendengar jawaban Nata.
“Gak ada tempat romatis
yang lain?“ tanya Tante. “
“Ini Ideh ya,“ sambil
menujuk ke Nata yang duduk disebelahnya.
“Kan loe yang janji?.“
Kakek berdiri, pergi
keruangannya, tak lama kemudian kembali lagi, Kakek memberikan konci kepada
Evan.
“Konci apa ini ?“
tanya Evan penasaran.
“Sebelum orang tua
kalian meninggal, mereka sudah menyiapkan rumah satu-satu untuk kalian, mungkin
maksud orang tua kalian ingin kalian mandiri sesudah berumah tangga sama
seperti mereka, yang meninggalkan rumah ini untuk hidup mandiri sendiri, bukan
berarti mereka tak sayang pada Kakek tapi orang tua kalian ingin hidup
selayaknya berumah tangga, tidak tergantung lagi sama Kakek. Davin sudah kakek
berikan koncinya, sekarang giliran kau.“ kata Kakek panjang lebar.
“Ayah...“
“Jangan kalian pikir
Kakek tidak sayang pada kalian berdua, Tapi inilah ke inginan kalian orang tua
kalian. Davin sudah memutuskan untuk menepatin rumah itu, sekarang terserah
kau, mau tinggal disini atau tinggal di rumah itu ? kau tidak usah kuatir,
Kakek tetap sayang pada kau.“
“Rumah ya dimana?“
tanya Evan.
***
“Kenapa gak besok aja
sih...” kata Rut pada Sella yang sedang berkemas.
“Gua gak enak sama
Tante, nanti dipikirnya gua main-main. Nanti kalau ketemu Nata salam aja dari
gue.”
Rut mengangguk.
“Gua sayang pada
kalian?” lalu memeluk Rut.
“Walaupun loe sibuk
kerja dan kuliah disana, jangan lupa nelpon kami ya.”
“Iya, gua janji.”
***
Pak Budi mengatar Evan
dan Nata kerumah yang dimaksud Kakek. Sebuah rumah perumahan, tak begitu besar
seperti rumah Kakek namun cukuplah untuk tinggal mereka berdua. Rumah itu
berlantai dua, lantai dua hanya berisi 2 kamar dan lantai satu berisi dapur,
ruang tamu dan ruang keluarga. Namun yang mengutungkan rumah itu tak jauh dari
kampus Evan dan kampus Nata nantinya.
Mereka berdua masuk ke
dalam rumah sambil membawa koper berisi pakaian mereka, “Jadilah,” kata Evan
melihat keadaan rumah.
Nata duduk disofa,
“bulan ini loe wisudah kan?.”
“Rabu Depan.”
“Jadi sudah yang
biasanya sebelum wisudah mengajak pasangan ya?.”
“Sudah.”
“Loe gajak siapa?.”
“Gua gak gajak
siapa-siapa cumak memperkenalkan namanya aja.”
“Gua?.”
“Sindy.”
“Oh... jadi pas
wisudah nanti gua gak usah datang ya.”
“Apa!.”
“Kan yang loe kenalkan
bukan gua, Sindy. Loe ajak aja Sindy.”
“Jangan lagi deh…”
“Loe kira gua
pikirin,” lalu ke lantai 2 masuk ke dalam kamar paling ujung berhadapan dengan
ruang makan dan di bawahnya dapur. Nata keluar lagi, “malam ini gua mau tidur
sendiri,” lalu masuk kembali.
“Apa! Loe pikir gua
mau tidur sama loe, tubuh loe tuh gak bangus-bangus banget tahu,” lalu masuk ke
kamar yang kedua yang sama besar dengan kamar Nata yang berada di bawah ruang
tengah.
***
“Sudah lama nunggu?”
tanya Perdi yang baru tiba di cave.
“Ya lumayan,” jawab
sindy sambil meminum jus yang pesannya dari tadi.
“Ada apa?” sambil
duduk.
“Ada yang ingin gua
katakan sama kakak.”
“Apa?” lalu mengeluarkan
rokok dari sakunya.
“Kakak masih
merokok?.”
“Kau kan tahu aku gak
bisa lepas dari rokok.”
“Apa gak bisa demi gua
untuk tidak merokok lagi.”
“Apa yang ingin kau
katakan?.”
“Aku mencintain
kakak,” ucap Nata ragu-ragu.
Perdi tak jadi
merokok, “Jangan bercanda.”
“Gua gak bercanda. Gua
membatalkan perjodohan untuk kakak, gua mencintain kakak dari dulu.”
Perdi terdiam sejenak,
“aku menyukain wanita lain.”
“Siapa?.”
“Nata.”
“Apa! Tapi khan dia
sudah menikah.”
“Aku tahu. menyukain
seseorang gak bisa dipaksakan khan.”
“Kapan Kakak mulai
suka pada Nata?” menutupin kesedihannya.
“Waktu di Bali, aku
langsung suka padanya. Dan berharap bertemu kembali. Ternyata pertemuan kami
kedua buat aku patah hati hmmm...” kecewa Perdi. “Naafkan aku. Aku hanya
mengganggapmu sebagai adik.”
“Gua Gak mau jadi
adik,” sambil berdiri, “Gua pulang duluan,” lalu pergi.
Perdi tersenyum sambil
melajutkan merokok lagi.
***
Evan keluar dari kamar
langsung kemeja makan, dilihatnya makan malam sudah tersediah. “Loe bisa masak
juga,” melihat Ayam goreng dan tumis kangkung.
“Kalau gak bisa masak
bukan cewek namanya,” sambil memberikan piring berisi nasi kepada Evan.
“Jadi kita gak perluh
pembantu khan...?” bercanda Evan.
“Enak aja.” lalu
menikmatin makan malam mereka. Tak lama kemudian. “Gak usahlah.”
“Apa?.”
“Pembantu. Dari pada
loe kasih uang itu ke orang lain lebih baik loe kasih ke gue.”
“Terserah loe. Tapi
gua gak suka lihat rumah berantakkan dan kotor terutama kamarku. Dan aku juga
gak suka melihat baju gua numpuk, jadi harus setiap hari loe cuci dan sarapan
pagi harus siap sebelum aku bangun dan....”
“Stop...!! emang ya
loe mau gaji gue berapa? Dan loe gaji gue pakai apa?! Loe kan belum kerja!,”
kesal Nata.
“Loe gak usah kuatir,
gua pastih gaji loe. Besok gua sudah mulai kerja di perusahaan menggantikan
Tante sebangai derektur.”
“Kalau gitu gaji gue
70% dan sisanya untuk loe.“
“Loe gila ! itu lebih
dari setengah gaji gue!” berhenti makan.
“Loe pikir kebutuhan
rumah ini tidak banyak, gua harus beli gula, kopi. Gula, the, sambut, lauk,…”
“Dan ke salon.”
“Tulll... gua harus
sering perawatan, karna setiap hari gua harus membersihkan rumah ini khan.”
“Terserah loe aja,
asal rumah ini beres aja.”
“Ok bos.”
“Nanti gue buat
rekening untuk loe.”
“Tenyata enak juga
jadi istri orang kaya,” Nata tersenyum lebar sambil melajutkan makan malamnya
yang tertunda sesaat.
“Apa”.
Nata hanya tersenyum
sendiri.
***
Nata langsung
tersenyum yang ditahannya melihat Evan keluar dari kamar memakai satu stel jas
dan celana berwarna kebiruan.
“Ada yang lucu?” Tanya
Evan.
“Gak ada,” yang masih
menahan ketawanya.
Lalu duduk di meja
makan, “Ini ikan yang semalam?” Tanya Evan melihat menu sama seperti semalam
kecuali tumis kangkung sudah tidak ada lagi.
“Sayang di buang,”
yang masih mengepel lantai.
“Gua gak suka makan
sisa.”
“Khan sayang di
buang.”
“Gua mau nasi goreng
aja.”
“Loe ini banyak
tingkah banget!,” kesal Nata.
“Buatin!.”
“Iya...” lalu kedapur
untuk masak nasi goreng. Tak lama kemudian nasi goreng siap, Nata langsung
membawanya ke meja makan yang sebelumnya diletakkan di piring dulu, “Ini.”
“Gitu dong...” lalu
mulai sarapan. Evan melihat Nata melajutkan mengepelnya. “Loe gak sarapan ?.“
“Nanti aja kalau sudah
selesai.“
“Satu hal yang loe
harus tahu, kalau gue makan loe harus temenin.“
“Loe cerewet banget
sih...“
“Apa!“
“Gua malas mengulang kata-kata gua,“ lalu duduk di
meja makan menikmatin sarapan pagi bersama Evan.
Setelah selesai
membereskan rumah, Nata pergi ke cave. Kedatangan Nata di sambut oleh
temen-temen dan menejer cave, setelah semua temen mengucapkan selamat pada Nata.
Nata duduk bersama Rut didapur.
“Kenapa gak
memberitahu gue,” Kata Nata baru tahu Sella sudah berangkat ke Bali kemarin.
“Dia cumak nitip salam
aja ke loe. Lina kapan berangkat?.”
“Kalau gak salah
sekarang.”
“Kita tidak
mengatarnya ke bandara.”
“Gua ke sini untuk mengajak loe. Kita langsung aja
ke Bandara.”
“Kalau gitu gua ganti
baju dulu,” langsung ke ruang ganti, tak lama kemudia Rut sudah selesai ganti
baji, “Yuk...”
Ketika sedang menunggu
taxi, sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di depan mereka, kaca mobil
terbuka, “Hai...” sapa cowok dalam mobil.
“Kak Perdi,” kata
Nata.
“Siapa Nat?” tanya Rut
yang tak pernah melihat Perdi.
“Cowok yang gua ceritakan
itu,” dengan nada pelat.
“Mau kemana?” tanya
Perdi.
“Ke bandara.”
“Mau aku antar.”
“Gak usah kak, nanti
merepotkan.”
“Gaklah, ayo.”
Nata dan Rut pun masuk
kedalam mobil, Nata duduk didepan bersama Perdi sedangkan Rut duduk di
belakang.
“Memangnya siapa yang
mau berangkat?” tanya Perdi sambil menyetir mobil kearah bandara.
“Kak Davin.“
“Davin kakaknya Evan
khan ?.“
“Kakak kenal dengan
kak Davin ?.“
“Aku satu kampus
dengannya dulu.“
“Temen dong...“
sambung Rut dari belakang.
“Mungkin bisa dibilang
gitu”.
Setiba di bandara,
mereka langsung turun dari mobil, segera mencari Lina dan Davin. “Nat...”
Nata dan Rut mencari
letak suara itu, setelah menemukan orang yang memanggilnya, mereka
mendekatinnya, “Belum berangkat?” tanya Nata.
“Sebentar lagi,” jawab
Lina.
“Mana Ratna?” tanya
Rut.
“Dia bersama Evan
membeli minuman,” jawab Davin, “lama tak bertermu” sambil bersalaman dengan
Perdi.
“Aku tak nyangkah kau
sudah nikah malah sudah punya anak,” goda Pedi.
“Kau kapan.”
“Belum ada yang mau.”
“Masa gak ada yang
cocok.”
“Ada sih yang cocok
cumak dia sudah jadi milik orang lain.”
“Cari yang lain
dong...”
“Nanti aku coba.”
Nata melihat Evan
datang, “Loe gak kerja?” tanya Nata pada Evan.
Evan memberika Ratna
pada Lina dan minuman pada Davin. Tak lama kemudian panggilan untuk menaikkin
pesawat sudah berbunyi, Lina dan Evan setelah besalaman dan berpelukkan barulah
masuk kedalam.
Evan memengang tangan
Nata, “kami pulang duluan,” lalu menari Nata ke mobil kemudian pergi
meninggalkan bandara.
Diperjalanan Evan tak
gomong satu kata pun, dengan ragu-ragu Nata membuka obrolan, “Mobil Baru?,”
tanya Nata. Namun Evan tak menjawab pertanyaan Nata, dia tetap menyetir mobil.
Sesampai di rumah Nata turun dari mobil, Evan langsung tancap gas, tanpa satu
kata pun. “Kenapa sih dia!” kesal Nata, lalu masuk kedalam rumah.
***
Ketika pukul 7, Evan
baru pulang. “Dari mana ?“ tanya Nata.
“Dari kerjalah.“
sambil duduk dimeja makan, “tadi siang loe kok bisa bersama kak Perdi.”
“Waktu jemput Nata di
lestoran, kami bertemu dijalan. Dia nawarkan tumpangan...“
“Loe langsung mau ?.“
“Kenapa sih...“
Suasana terhening
sejenak. Evan memberika ATM pada Nata, “Ini.“
Nata melihat yang di
berikan Evan ATM, “makasih.“
“Loe gak usah lagi
kerja di cave. Sekarang loe siapkan diri aja untuk kuliah.“
“Gua ragu untuk
kuliah.“
“Maksud loe ?.“
“Bagaimana kalau uang
kuliah gue digunakan untuk buat salon aja, nanti keuntungannya bisa bagi dua
deh...“
“Apa gak Bangrut ?.“
“Apa !?.“
“Loe yang bukak loe
juga yang habisin.“
“Apa!.“
***
Nata langsung membuka
pintu kamar Evan tanpa mengetuknya, “Ahhhh..... !!!!“ Nata Dan Evan saling
berteriak.
“Kalau masuk ketuk
pintu!“ marah Evan sambil memakai celana.
“Gua pikir loe masih
tidur,“ yang masih membalikkan tubuh kearah pintu, “sudah lum ?.“
“Sudah.“
Nata membalikkan
tubuhnya, “Cari apa ?“ tanya Nata melihat Evan sibuk sedang mencari sesuatu.
“Jam,“ lalu masuk
kekamar mandi.
Tiba-tiba hp Evan
berbunyi, Nata langsung menggangkat telepon, “Halo...“
“Halo, Ini Nata ya,
bisa bicara dengan Evan,“ kata Sindy.
“Dia lagi dikamar
mandi.“
“Siapa?“ tanya Evan
baru keluar dari kamar mandi sambil memakai jam dilengannya.
“Sindy,“ sambil memberikan
hp pada Evan.
“Halo...” kata Evan.
“Gua ingin ketemu
loe.”
“Dimana loe sekarang.”
“Dicave.”
“Tunggu disana.” Evan
mengambil jas di tempat tidur. Baru Evan membuka pintu kamar Nata memengang
tangannya, “Loe mau kemana?.”
“Sindy membutuhkanku,”
lalu melepaskan tangannya kemudian keluar dari kamar.
“Gue juga membutuhkan
loe”.
“Jangan seperti anak
kecil,” Evan meninggalkan rumah. Nata sedih melihat Evan yang memilih Sindy di
bandingkan dirinya.
Sesampai dicave, Evan
melihat Sindy sudah terlihat sangat mabuk sampai-sampai tak sadarkan diri,
langsung diangkatnya Sindy kedalam mobil, lalu mengatarnya pulang.
Sekitar 3 jam lebih Sindy tak sadarkan diri. Sindy melihat Evan duduk di sofa dikamarnya, “sudah berapa lama gua gak sadarkan diri?” Tanya Sindy.
Sekitar 3 jam lebih Sindy tak sadarkan diri. Sindy melihat Evan duduk di sofa dikamarnya, “sudah berapa lama gua gak sadarkan diri?” Tanya Sindy.
“Sekitar 3 jam. Ada
apa? Ada masalah?.”
“Apa Kak Perdi pernah
bertemu dengan Nata?.”
“Kemarin mereka
bertemu. Ada apa?.”
“Kak Perdi menyukain
Nata.”
“Apa!.”
***
Nata pergi ke moll
untuk bebelanja, isi keranjang sudah penuh dengan kebutuhan rumah tangga dari sabun
sampai lauk pauk untuk sebulan. Tiba-tiba tak segaja Nata menabrak seseorang,
“Maaf, gak segaja,” sambil membantu mengambil barang-barang cowok itu yang
berserakkan. “Kak Perdi.”
“Nata.”
Mereka pergi ke cave
yang berada di moll, “Ternyata kakak hobby juga bebelanja,” puji Nata.
“Maklumlah aku tinggal
sendirian.”
“Kalau gitu
cepat-cepat dong kak cari istri. Kakak suka tipe cewek yang bagaimana, nanti
gua bantu deh.“
“Apa.“
***
Tante mendekatin Kakek
yang sedang melamun di teras belakang rumah. “Ayah melamunkan apa?.”
Kakek menolek kebelakang,
“Rumah ini mulai sepi.”
“Kalau Ayah rindu,
Ayah kan bisa kesana.”
“Besok Ayah ginap disana,
lalu lusanya ke Bandung.”
“Terserah Ayah aja.”
***
Hari sudah sore, Nata
diantar Perdi pulang. Nata melihat mobil Evan sudah terpakir didepan rumah,
“Mampir kak,” setelah keluar dari mobil.
“Kapan-kapan aja,
permisih.”
Nata menggangguk.
Setelah Perdi pergi Nata baru masuk kedalam rumah dengan membawah belanjaan 2
kantong besar. Nata melihat Evan duduk di meja makan, “Sudah lama loe pulang?”
Tanya Nata sambil meletakkan belanjaan di atas meja.
“Siapa yang mengatar
loe?.”
“Kak Perdi.”
“Loe janjian dengan
kak Perdi?.”
“Enggak. Tadi di moll
kami gak segaja bertemu.”
“Jangan bohong!.”
“Kalau gak percaya ya
sudah.” Sambil meletakkan makanan dan minuman kedalam kulkas.
“Lu suka sama kak
Perdi?.”
Nata menolek ke Evan,
“Loe cemburuh ya…” goda Nata tersenyum lebar.
“Aneh kalau gue
cemburuh.”
“Loe jelek kalau
cemburuh,” Nata yang mengira Evan bercanda.
“Gue mau makan.”
“Tapi gue belum masak.”
“Cepat masak!.”
“Iya cerewet!.” Lalu
Nata mulai masak.
***
Dalam kamar Nata tersenyum mengingat kata-kata
Evan padanya Aneh kalau gue cemburuh,
berkali-kali senyuman di wajah Nata apa dia
mulai suka sama gua ya... kata Nata dalam hatinya.
Sedangkan di kamar
sebelahnya Evan binggung kenapa dia mengatakan kata-kata itu pada Nata, “Gak
mungkin gua jatuh cinta padanya,” kata Evan yang masih tak percaya dengan
perasaannya sendiri.
***
“Riiiinggg....” bunyi
telepon berbunyi kencang, Evan yang dekat dengan telepon langsung menggangkat
telepon, “Halo...” Setelah agak lama gobrol, Evan kembali menutup telepon.
“Dari siapa?” Tanya
Nata yang baru mengepel dari lantai dua.
“Hari ini Kakek
datang.”
“Bangus dong.”
“Kakek mau menginap
disini.”
“O... Apa!!,” kaget Nata.
Karena sebentar lagi
Kakek dan tante akan datang, Evan terpaksa gak kerja hari ini, ia membantu Nata
memidahkan pakaian Nata ke kamarnya, sedangkan Nata memarapikan kamarnya untuk
kamar Kakek nanti malam.
Beberapa jam kemudian
Kakek datang bersama Tante. Kedatangan mereka disambut hangat oleh Nata dan
Evan.
“Kau gak kerja hari
ini?” tanya Kakek pada Evan.
“Tadi Evan mebenerin
genteng rumah yang bocor,” alas an Nata.”
“Apa.”
Nata langsung mengijak
kaki Evan.
“Auhh…”
“Ada apa Van?” Tanya
Tante.
“Gak apa-apa,” jawab
Eva. Kakek dan Tante keruangan tengah. Tiba-tiba hp Evan berbunyi dari sakunya,
langsung diangkatnya, “Halo...” setelah selesai menerima telepon Evan masuk
kamar, tak lama kemudian keluar dengan pakaian rapi.
“Mau kemana?” tanya
Nata yang sudah berdiri didepan pintu kamar.
“Ada kerjaan,” jawab
Evan.
“Loe bohong. Loe mau
ke rumah Sindy khan...”
“Sindy membutuhkan
gua.”
“Tapi gua juga membutuhkan
loe,” dengan nada pelat.
“Apa?!.”
“Maksud gua, Kakek dan
Tante lagi ada dirumah, nanti apa penilaian mereka.”
“Gua sebentar,” lalu
pergi.
Setelah terdengar
suara mobil semakin jauh semakin tak terdengar lagi, barulah Nata turun
keruangan tengah.
“Kemana Evan?” tanya
Kakek.
“Ada urusan sebentar.”
***
Pembantu langsung
membuka pintu, “Tuan.”
“Mana Sindy?” tanya
Evan.
“Dikamar Tuan, nona
demam.”
Evan langsung ke kamar
Sindy, dilihatnya Sindy tertidur lemas di atas kasur.
“Loe sudah datang?”
kata Sindy dengan pelat.
“Ya,” lalu mendekatin
Sindy.
“Loe tak melupakan
janji loe khan...”
Evan terdiam.
“Van…”
“Lalu gapain gue
kemari.”
Sindy memengang tangan
Evan, “Loe akan nemenin gue khan…”
Evan menggangguk.
***
Jam sudah menuju pukul
10 malam, namun Evan belum juga pulang dari pagi. Kakek sudah tidur dari tadi,
sedangkan Nata menunggu Evan diteras, hp yang di penggangnya dari tadi hanya di
mainkannya saja dari tadi, berharap Evan menelponnya.
Ketika pukul 10 lewat,
mobil berhenti didepan rumah. Evan keluar dari mobil, dilihatnya Nata tertidur
di teras anak tangga. Evan mendekatin Nata, “bangun,” sambil mengoyangkan tubuh
Nata.
Nata berkali-kali
mengucak matanya, “Kau sudah pulang,” jawab Nata yang matanya berusaha untuk
dibukanya tapi karna rasa gantuknya mata pun berkali-kali tertutup.
“Kenapa tidur
disini?.”
“Gua gantuk banget,”
sambil berdiri.
Evan langsung mengangkat
tubuh Nata, Nata yang sudah gantuk sekali tidak sadar kalau dirinya digendong
Evan. Setelah menidurkan Nata ditempat tidur, Evan ganti baju dan lalu segera
tidur.
***
Seperti biasa Nata
harus bangun pagi-pagi untuk menyiapkan sarapan pagi sebelum Evan bangun.
Dilihatnya Evan yang tidur disampingnya masih tertidur. Pelat-pelat Nata keluar
dari kamar, lalu segera memasak. Tak
lama kemudian, “Masak apa loe?” tanya Evan melihat Nata memasak.
Nata menolek
kebelakang, “Nasi goreng. Tumbet loe bangun cepat?.”
“Loe berisik banget.”
Nata menujukkan wajah
cemberutnya, “tadi malam loe gangkat gua ya?.”
“Gak,” lalu duduk di
meja makan.
“Jadi siapa memidahin
gua kekamar ya??.”
“Tuyul kali.”
“Enak aja.” Tiba-tiba
hp Nata berbunyi yang diletaknya tak jauh dari kompor, langsung diangkatnya,
“Halo...”
“Halo... ini Nata
khan...?.”
“Ada apa Kak?” tanya
Nata yang sudah tahu yang menelpon dari layar hp.
“Kita bisa ketemu?.”
“Ketemu. Kapan?.”
“Kapan kau ada
waktu?.”
Evan lansung merapas
hp dari tangan Nata, “Maaf Kak, Nata gak bisa keluar hari ini, kami mau
berjalan berdua hari ini.”
“Tak apa-apa, mungkin
lain kali.”
”Dan tolong jengguk
sindy, dia lagi sakit,” Evan langsung mematikan panggilan itu, lalu memberikan
pada Nata.
“Loe apaan sih…” betek
Nata. Lalu menelpon Perdi.
Evan langsung merapas
hp dari tangan Nata lagi, ”loe mau hubungin dia lagi.”
”Loe kenapa sih... ”
yang mau merebut hp dari Evan.
”Sepertinya nanti aja
Kakek turun,” kata Kakek yang melihat Nata dan Evan berpelukkan padahal hp Nata
disembunyikan Evan sebab itulah seperti Nata memeluk Evan.
Nata langsung
melepaskan pelukkannya, ”Kakek duduk aja, sudah siap kok sarapannya,” malu
Nata.
Lalu Kakek Duduk.
Evan memberikan hp ke
Nata lagi, ”Jangan nelpon dia lagi.”
”Cerewet!.”
***
Sindy melihat mobil
yang tak asing berhenti didepan rumahnya. Sindy melihat Perdi dalam mobil itu,
“Kak Perdi.”
Lalu mereka ke cave,
“kata Evan kau sakit,” Tanya Perdi.
“Jadi kalau gua sakit
baru kakak nemuin gua. Kalau gitu gua mau sakit aja.”
Perdi tersenyum lebar,
“orang ingin sehat, kau ingin sakit.”
“Kakak sih kuatirnya
kalau gua sakit aja.”
Perdi tersenyum lagi.
***
Setelah Evan dan kakek
pergi, Nata masuk kedalam rumah yang berniat mau membereskan meja makan.
Dilihatnya ada udangan diatas meja, lalu membaca isi udangan itu. Sambil
membereskan rumah Nata menunggu Evan pulang.
Dua jam pun berlalu,
Evan baru pulang dari mengatar Kakek. “Loe lupa memberikan udangan ini Pada
Kakek,” kata Nata menyambut kedatangan Evan.
Evan langsung duduk di
sopa, “memang loe gak mau datang?.”
”Gua di undang ?” lalu
duduk dekat Evan.
”Asal loe gak
malu-maluin aja besok.” Terdiam sejenak. ”Kalau gua dapat nilai bagus, loe mau
menghadiakan gue apa?.”
”Gua gak ada uang
untuk membeli hadiah.”
“Gua gak butuh
hadiah.”
“Lalu?.”
“Gimana kalau
ciuman?.”
“Apa!,” Nata mulai
pucat.
“Ha…ha…ha…” Evan
tertawa lepas, “loe lucu seperti itu ha…ha…”
Wajah Nata memerah
karna malu. Nata bangkit dari duduknya.
“Mau kemana?.”
“Pidahin barang-barang
gue kekamar sebelah.”
“Emang loe gak suka
tidur dengan suami loe?.”
“Apaan sih loe,” malu
Nata.
Evan memeluk Nata. Nata
membiarkan Evan memeluknya.
Setelah cuci piring,
Nata masuk kekamar untuk segera tidur. “Loe sedang apa?” tanyanya melihat Evan
sedang merapikan pakain yang akan dipakaiannya besok.
“Mana yang bangus?”
sanbil menujul 2 stel jas berwarna coklat dan hitam.
“Hitam.”
“Loe mau tidur, tidur
aja duluan,” yang masih memilih.
“Van. Kalau loe bisa
memilih antara gua dan Sindy, siapa yang kau pilih?” ragu-ragu Nata.
Evan menatap Nata,
“Gua gak suka pertanyaan loe!” lalu memasukkan pakaian yang tak dipakainnya
besok ke lemari.
“Kalau… suatu hari
nanti loe mulai mencintain gue, loe bilang ya ke gue,” Nata menidurkan tubuhnya
ke tempat tidur, tak lama kemudian terlelap.
Sedangkan Evan hanya
diam terpaku di depan jedelah kamar sambil melihat Nata tertidur lelap, Gua
harus bias memilih, kata Evan dalam hatinya.
***
Nata yang sedang
memasak di dapur, tiba-tiba terdengar suara mobil dari depan rumah. Nata
langsung berlari keluar, “Evan!!!” panggil Nata. Namun mobil tetap tancap gas. “Mau
kemana sih pagi-pagi sekali,” lalu kembali masuk. Nata mengambil hpnya langsung
menghubungin no Evan, tak lama kemudian tersambung, “Halo... loe mau kemana
pagi-pagi gini?.”
“Nanti loe langsung
aja ke gedung, kita bertemu di sana aja,” jawab Evan langsung mematikan
telepon.
“Seenaknya mematikan
telepon!” kesal Nata.
***
“Apa perluh aku
carikan pemain yang baru?” kata pak Iwan pencari bakat.
Perdi melihat-lihat
naskah di meja kerjanya untuk segera dibuat filem namun belum ada yang cocok
peran utama untuk wanitanya.
“Apa Bos ada usul?.”
Perdi tersenyum lebar,
“Sepertinya dia cocok.”
“Siapa Bos.”
Perdi menolek ke pak
Iwan, “Nanti aku kasih kabar.”
“Baiklah kalau gitu,” lalu
keluar dari ruangan Perdi.
Perdi langsung
menghubungin Nata, tak lama kemudian tersambung, “Halo...” setelah membuat
janji pada Nata untuk ketemuan hari ini. Perdi lansung pergi ke tempat Nata
sekarang berada.
“Kak...” panggil Nata.
Perdi menolek ke arah
Nata yang sedang didadanin oleh pelayan salon. Setelah selesai, mereka berdua
pergi ke lestoran tak jauh dari salon.
“Sepertinya kau mau
pergi ke acara. Acara apa?” melihat penapilan Nata yang cantik.
“Evan wisuda hari ini.
Ada apa kak?.”
“Jam berapa wisuda
ya?.”
“Satu jam lagi.”
“Kalau gitu, bagaimana
kalau besok aja kita bertemu lagi?.”
“Dimana?.”
“Di sini jam 10.”
“Ok,” sambil bangkit.
“Mau aku antar.”
“Tapi kakak gak bisa
masuk.”
“Cumak gantar.”
“Ok.”
Setiba di gedung, Nata
langsung keluar dari mobil sampai-sampai lupa mengucapkan terimah kasih pada
Perdi. Nata mendekatin Kakek, Tante dan Sindy yang menunggunya, “Maaf
menunggu,” kata Nata sambil memadang ke Sindy.
“Ayo masuk,” kata
Kakek.
Setelah duduk di salah
satu kursi untuk tamu udangan, Sindy segaja duduk disebelah Nata. “Yang tadi
mengatar loe itu kak Perdi khan?.”
“Iya.”
“Loe sepertinya dekat
banget dengannya?.”
“Biasa aja.”
Belum lama acara
dibuka. Nama Evan sudah di panggil untuk urutan keenam. Juruh foto yang dipesan
kakek segera memfoto Evan berkali-kali. Beberapa jam kemudian acara wisuda
sudah berakhir, sekarang giliran keluaga berfoto. Dari Evan dengan Nata, lalu
Evan dengan Sindy, lalu dengan Tante dan Kakek dan berfoto bersama-sama.
Setelah selesai berfoto-foto, mereka segera pulang.
“Loe bersama Tante dan
Kakek aja ya. Gua mau antar Sindy dulu,” kata Evan langsung masuk kedalam
mobil, sedangkan Sindy sudah menunggu di dalam mobil, lalu pergi.
“Ayo sayang,” ajak
Tante.
***
Setiba dirumah, sindy
langsung turun dari mobi, “Gak mau mampir?” ajak Sindy.
“Lain kali aja,” kata
Evan yang segata tidak mematikan mesin mobil.
“Tadi Nata di antar
oleh Perdi ke gedung.”
“Apa!.”
***
Nata langsung
mengganti pakaiannya, dan mau menyiapkan makan malam. Ketika sedang mengiris
bawang untuk menumis sayuran, terdengar dari luar suara mobil berhenti.
Tak lama kemudia, Evan
mendekatin Nata di dapur. “Tadi loe di antar kak Perdi.”
“Iya,” tanpa melihat
Evan.
“Gua menyuruh loe
pergi sendiri bukan berarti loe harus pergi dengannya!!” marah Evan. “Loe
jangan nemuin dia lagi!!.”
Nata menatap Evan,
“Apa pernah gua larang loe nemuin Sindy? Gak khan... jadi jangan sekali-kali
loe melarang gue untuk bertemu kak Perdi!!” kesal Nata.
“Apa!.”
Nata kembali mengiris
bawang putih, tiba-tiba Nata tak segaja mengiris jarinya, “Auhh...” Evan yang
melihat tangan Nata berdarah langsung memasukkan tangan Nata ke mulutnya. Nata
langsung menarik tangannya karena masih marah dengan Evan.
Karna tangan Nata
terluka, Evan pun mau masak untuk makan malam mereka berdua. “Enakkan?” tanya
Evan yang membuat cincau untuk makan malam mereka.
“Enak.” Puji Nata.
“Loe belajar dari mana?.”
“Dari temen. Sekarang
dia jadi koki di hotel ternama di Prancis.”
“Loe belajar masakkan
apa lagi.”
“Gua malas masak, jadi
cumak ini yang bisa gua masak.”
“Sudah terlihat kok.”
“Apa.”
“Kapan-kapam loe masak
lagi ya.”
“Malas...”
“Pemalas.”
“Biarin.
***
Bersambung
harus lebih terperinci lagi............
BalasHapus