9
Adriel
mengantar Gilda pulang. Terlihat jelas kesedihan dari wajah Gilda. “Kau tidak
apa-apa?” tanya Adriel.
“Ya. Trimah kasih
kau sudah mengantarku,” lalu Gilda keluar dari mobil.
Setelah Adriel
melihat Gilda masuk ke dalam rumah
barulah dia meninggalkan lokasi komplek perumahan tempat Gilda tinggal.
***
Ceri
mendekatin Ibu Sari yang terlihat murung sejak pulang tadi, “tante tidak
apa-apa?” tanyanya.
Ibu Sari
menolek, “iya,” jawabnya, “kau sudah makan?”.
Ceri
mengangguk. Ceri melihat jam dinding yang sudah menuju pukul 17.30 WIB, “Kak
Alina dan Kak Kay kemana yach… dari tadi kok belum pulang-pulang???”.
“Sebentar lagi
mereka pulang”.
“Tante…”.
“Iya.
Kenapa??”.
“Boleh aku
menganggap tante seperti ibu ku sendiri,” harapan Ceri.
“Memang Ibumu
kemana?”.
“Ibu meninggal
5 tahun yang lalu”.
“Sakit?”.
Ceri
mengeleng.
“Lalu
kenapa?”.
“Bunuh diri”.
Ibu Sari
terkejut, “apa!!” Ibu Sari melihat kesedihan dari wajah Ceri, “kau boleh
menganggapku seperti ibu kandungmu,” sambil jongkok dan menatap Ceri dengan
penuh kasih sayang. Ceri langsung memeluk Ibu Sari dengan penuh kebahagiaan dan
Ibu Sari membiarkannya.
***
Kay
menghentikan mobil di seberang jalan tak jauh dari supermarket, “kau serius
tidak mau makan denganku?” tanya Kay lagi.
“Enggak,”
sambil tersenyum, “bukannya besok masih ada”.
“Kalau besok
sudah lain ceritanya”.
“Sudah lain
gimana? Perasaanku sama saja”.
“Kau ini
memang keras kepala!” kesal Kay.
Sebelum Alina
keluar dari mobil, Alina menciup pipi Kay baru keluar dari mobil. Kay menatap
Alina dari dalam mobil yang tersenyum kearahnya. Kay keluar dari mobil dan
mendekatin Alina. Kay meraih pinggang
Alina dan mencium bibir Alina. Alina
berusaha melepaskan diri namun Kay terlalu kuat. Orang-orang yang melewatin
mereka terlihat iri apa yang mereka lakukan. Ketika ciuman itu berakhir. Alina
berhasil melepaskan diri dari Kay, “apa yang kau lakukan! Ini di depan umum!”
Alina yang malu dilihat banyak orang.
Kay tidak
memperdulikan kemarahan yang ditunjukkan Alina. Dia mengelus pipi Alina dengan
lembut, “pergilah…”.
Sikaf Kay
membuat Alina luluh, “baiklah. Dahhh…..” Alina meninggalkan Kay yang masih
memadangnya dari kejauhan. Setelah Alina masuk ke dalam supermarket barulah Kay
pergi meninggalkan tempat itu.
Alina langsung
ke tempat kasir. “Romatisnya….” Goda Nisa yang tenyata melihat kejadian itu
dari kejauhan.
“Apaan sih…”
malu Alina.
“Jadi serius
nih…” Nisa yang masih mengoda Alina.
“Udah ah…”
Alina yang sudah sangat malu.
***
Sarani berlari
pulang ke rumah sambil memanggil nama Budi, “Budi… Budi…!!”.
Pak Budi
mendenggar Sarani memanggilnya langsung keluar rumah, “kau kenapa? Apa yang
terjadi?” yang melihat Sarani yang gos-gosan berlari pulang, “apa ada yang
mengejarmu…” yang meduga ada yang mengejar Sarani sampai Sarani pulang
buru-buru.
“Rumahmu…
rumahmu…” yang masih gos-gosan.
Pak Budi
mengambil segelas air putih di dapur
lalu memberikannya pada Sarani, “minum dulu”.
Sarani mengambilnya
dan langsung meminumnya. Setelah minum, Sarani menarik nafas panjang dan
membuangnya perlahan-lahan agar membuat dirinya rikles.
Pak Budi
duduk, “ada apa dengan rumahku?”.
“Rumahmu ada
nawar,” senang Sarani.
Pak Budi
kembali berdiri, “kau serius…” yang masih tidak percaya.
Sarani
mengangguk.
Pak Budi
senang mendenggar kabar dari Sarani. Waktu yang telah ditunggu-tunggu akhirnya
tiba juga. Rumahnya akan segera terjual dan anak-anaknya akan segera terbebas
dari bahaya dari lintenir itu.
***
Adriel menidurkan
tubuhnya diatas kasur. Dia teringat kata-kata Kay padanya waktu itu, Kay tersenyum, “kau benar. Tapi aku sudah
menemukan pengantinya”. Adriel menghela nafas panjang saat teringat
kata-kata Kay. Dia tidak menyangkah wanita yang di maksud Kay adalah Alina
wanita yang sangat di cintain selama ini. Adriel mengingat saat Kay dan Alina
berpelukkan di pantai tadi. Tampak jelas kebahagian yang terpancar dari wajah
Alina. “Aku tidak akan menganggu dirimu. Tidak akan….” Yang mulai merelahkan
Alina.
***
Kay tiba di
apartemen. Dilihatnya Ibunya dan Ceri sudah tertidur lelap di tempat tidur.
Kay teringat dengan kata-kata Alina, “nanti di rumah jangan lupa makan. Ok…”. Kay
ke dapur untuk segera makan.
Sedang asik
menikmatin makan malam di meja makan, Ibu Sari muncul dari balik pintu dapur,
“kau lama pulang?”tanyanya.
“Ya,” jawab
Kay sambil makan.
“Kemana saja
kalian?”.
Kay memadang
Ibunya, “Bu”.
“Apa sayang?”.
“Ibu setujuh
dengan hubungan kami berdua khan…??” Kay yang tiba-tiba bertanya seperti itu
padanya.
Pertanyaan Kay
membuat Ibu Sari diam sejenak lalu berusaha untuk tersenyum di hadapan putranya
itu yang sangat berharap banyak padanya.
***
Ibu Sari masih
memikirkan perkataan Kay tadi malam. Apa yang dikatakan Kay membuat Ibu Sari
serbah salah harus melakukan apa. Dia tahu benar sifat mantan suaminya itu.
Jika Ayah tidak menyukainnya, dengan cara apapun akan Ayah lakukan untuk
menghalanginnya. Tidak ada yang bisa merubah keputusan Ayah walaupun demi anak
kandungnya.
***
Kay menemuin
Heru dan Rudi di lestoran Hotel Larisa yang sebelumnya mereka sudah janjian
bertemu. “Apa kau serius menemuin Pak Suroyo?” tanya Heru yang masih tidak
nyakin dengan keputusan yang diambil Kay.
“Ya,” jawan
Kay singkat.
“Pak Suroyo
selalu memintah imbalan jika mau bekerja sama dengan perusahaannya,” sambung
Rudi, “misalnya… kau harus memberikan beberapa saham cuma-cuma padanya. Aku
denggar perusahaan membatalkan kerja sama dengan Pak Suroyo karena
permintaannya yang tak masuk akal”.
“Kau tidak
boleh melakukan itu Kay!” tentang Heru.
Kay hanya diam
memikirkan jalan keluar yang terbaik.
“Kecuali… kau
mau mengambil jalan pintas”.
Kay menolek,
“apa maksudmu? Ada yang kau ketahuin??” tanyanya pada Rudi.
“Ada kabar
mengatakan putri Pak Suroyo ditahan di kantor polisi di Amerika. Aku denggar
kasus yang menimpah putrinya kasus pembunuhan. Bukti-bukti menujukkan dia yang
melakukan pembunuhan itu. Korban adalah kekasihnya sendiri. Untungnya kasus
yang menimpah putrinya ini tidak menganggu perusahaannya,” penjelasan Rudi
panjang lebar.
“Kau menyuruh
Kay untuk menjadi pengacara putrinya?!”.
“Aku hanya
memberikan saran”.
“Jika
bukti-bukti sudah menujukkan bahwa putrinya bersalah, aku harus melakukan apa
lagi?” kata Kay.
“Pak Suroyo
nyakin putrinya tidak mungkin melakukan pembunuhan itu. Karena itulah sampai
sekarang Pak Suroyo masih memperjuangkan kebebasan putrinya sampai saat ini.
Jika kau bisa membuktikan putrinya tidak bersalah, aku nyakin, Pak Suroyo
pastih mau bekerja sama dengan perusahaan tanpa memintah imbalan apapun”.
“Perusahaan
tidak bisa menunggumu sampai kau kembali Kay,” Heru menyakinkan Kay.
“Kau harus
memintah bantuan seseorang Kay…” saran Rudi.
“Maksudmu
siapa?” tanya Heru pada Rudi.
“Aku nyakin
kau pastih sudah tahu orangnya. Sekarang yang harus kau pikirkan adalah
bagaimana cara Pak Suroyo nyakin dengan
kau”.
“Aku tahu,”
Kay menatap Heru.
Heru tahu
maksud Kay menatapnya, “baiklah… aku akan berangkat duluan ke Amerika. Tapi…
apa kau nyakin Pak Suroyo mau menyerahkan kasus putrinya padamu??”.
Kay tersenyum,
“lihat aja nanti”
***
Ayah
mendapatkan file-file perusahaan dari asistennya. File-file itu membuktikan
bahwa dalang dari semua masalah yang terjadi pada perusahaan adalah istrinya,
itu membuat Ayah murkah. Wanita yang dinikahinnya 3 bulan yang lalu tenyata
dalang dari semua masalah yang terjadi pada perusahaan. Ibu selalu mengambil
uang perusahaan secara diam-diam itu membuat keuangan perusahaan semakin
berkurang dan mengakibatkan kerugian yang sangat besar tiap bulannya.
***
Alina baru
pulang. Dilihatnya Ibu Sari termenung di balkon sampai tidak menyadarin
kehadirannya, “tante tidak apa-apa?” tanyanya yang kuatir melihat keadaan Ibu
Sari yang tidak seperti biasanya.
“Kau sudah
pulang?” tanya Ibu Sari yang baru menyadarin kehadiran Alina.
“Iya. Tante
tidak apa-apa?” tanya Alina lagi.
Ibu Sari
berusaha menutupin apa yang terjadi, “aku gak apa-apa”.
Walaupun Ibu
Sari mengatakan tidak apa-apa, namun Alina merasakan Ibu Sari menyimpan sesuatu
darinya. Alina berusaha bersikaf biasa saja dihadapan Ibu Sari tanpa menujukkan
kecuringaan apapun.
***
Pak Budi dan
Sarani menunggu pembeli di rumah. Mereka segaja datang lebih dulu agar pembeli
tidak terlalu menunggu kedatangan mereka. Sudah hampir 1 jam mereka menunggu
namun bagi Pak Budi, satu jam itu terasa sudah 10 jam menunggu. Waktu yang
telah terbuang dengan sia-sia diharapkan menghasilkan kebahaggian yang sangat
diharapkan Pak Budi saat ini.
“Kau gak bisa
tenang?!” kesal Sarani melihat Pak Budi yang dari tadi mondar-mandir.
Pak Budi tidak
memperrdulikan perkataan Sarani, dia terus menunggu dan menunggu, “jam berapa
lagi mereka datang?!”.
“Sabar…”.
Akhirnya orang
yang ditunggu-tunggu datang juga. Orang itu menggunakan mobil sedan yang
langsung di pakirkan di depan rumah. Sepasang suami istri keluar dari
mobil. “Sorry telat. Tadi macet banget,”
kata si suami.
“Gak apa-apa,”
jawab Sarani, “mereka yang aku maksud,” kata Sarani pada Pak Budi.
Pak Budi dan
sepasang suami istri itu saling bersalaman. Pak Budi membukakan pintu rumah,
“silakan lihat-lihat dulu”.
“Baiklah. Ayo
Mas…” si istri mengajak suaminya masuk ke dalam rumah untuk lihat-lihat keadaan
rumah.
“Semoga mereka
suka,” harapan Pak Budi.
“Semoga saja,”
Sarani yang juga berharap.
Diwaktu yang
sama, Nisa melintas jalan di depan
rumah. Dari kejauhan Nisa melihat Ayah
tiri Alina bersama seorang wanita berdiri di depan rumah. Nisa juga melihat
sepasang suami istri itu masuk ke dalam rumah itu membuat Nisa mulai berpikir
macam-macam dan tanpa pikir panjang dia langsung menelpon Alina untuk
memberitahukan apa yang terjadi, “halo…. Kau dimana…” Nisa yang panik, “cepat
kesini!” lalu mendenggar jawaban dari Alina, “dirumahmu! Cepat datang!!
Sepertinya Ayah tirimu mau menjual rumahmu!!,” setelah mendenggar jawaban dari
Alina barulah Nisa menutup telponnya dan menunggu kedatangan Alina. Berharap Alina secepatnya datang.
***
Kay pulang
dengan wajah lesu. Dia harus segera mengambil keputusan untuk menyelamatkan
perusahaan orang tuanya. Dia masih memikirkan pendapat dari Rudi, bahwa dirinya
harus memintah bantuan seseorang. Dan Kay tahu siapa yang dimaksud Rudi. Kay
melangkah masuk ke dalam gedung dengan wajah tidak bersemangat. Ketika lift
terbuka, Kay dikangetkan dengan Alina yang nampak sedang buru-buru untuk pergi,
“kau mau kemana?” Kay langsung bertanya.
Alina tidak
bisa berkata apa-apa lagi, yang dia pikirkan sekarang adalah segera ke tempat
lokasi rumahnya yang akan segera di jual oleh Ayah tirinya. Alina bergegas
pergi meninggalkan gedung apartemen. Kay yang kuatir melihat keadaan Alina, dia
pun mengejar Alina.
***
Ibu Sari dan
Ceri nampak kebingungan melihat Alina yang langsung pergi setelah mendapatkan telpon dari seseorang.
“Kakakmu kenapa?” tanya Ibu Sari pada Ceri berharap Ceri tahu sesuatu.
Ceri
mengeleng.
Ibu Sari
semakin penasaran apa yang sebenarnya terjadi.
***
Alina dan Kay
sampai ke lokasi. Mereka datang terlambat. Trasaksi sudah selesai di lakukan
kedua pihak. Pembeli bersedia membeli rumah dengan uang sebesar Rp
100.000.000,- tunai. Pak Budi nampak tengang berhadapan dengan Alina yang
nampak jelas marah padanya, “Alina… biar aku
jelaskan…” Pak Budi yang mau menjelaskan pada Alina.
Air mata
menetes membasahin pipi Alina, “kenapa kau lakukan ini? Kenapa kau melakukan
ini!!!?” marah Alina yang sudah lama ditahan-tahannya.
“Aku hanya…”.
Alina langsung
memotong perkataan Pak Budi, “apa kau tidak puas membuat aku menderita!!
Sekarang kau menjual harta satu-satunya peninggalan Ibuku!! Kau jahat!!” Alina
memukul Pak Budi dengan kedua tangannya, “kau jahat…!!” yang terus memukul.
Pak Budi tidak
melawan mau pun menghindar. Dia membiarkan Alina melapiaskan kemarahan pada
dirinya.
“Kau jahat…!!”
Alina berhenti memukul Pak Budi namun dia masih menanggis, “seumur hidupku aku
harus membayar utang-utangmu. Harus menghidupin kau dan Ceri,” diam sejenak,
“aku tak pernah penduli dengan kehidupanku. Sekarang ketika aku mau kembali
seperti dulu… kau mau hancurka lagi hidupku…!! Apa tidak cukup kau membuat Ibu
dan Kakakku mati gara-gara kau!!! Apa aku harus bunuh diri juga agar kau bisa
berubah…!!?”.
“Tidak…” Pak
Budi menanggis, “jangan kau lakukan itu! kau jangan bunuh diri sama seperti
Ibumu…” lalu memengang tangan Alina, “aku mohon jangan kau lakukan itu…” mohon
Pak Budi.
Alina
melepaskan tangan Pak Budi dengan kasarnya, “dari dulu aku ingin sekali
mengatakan ini… tapi tidak bisa aku ucapkan. Sekarang akan aku katakana… jangan
ganggu kehidupan aku dan Ceri lagi,” Alina melangkah pergi.
Sarani
membantu Pak Budi berdiri, “kau tidak apa-apa?” tanyanya.
“Aku memang
Ayah yang tidak bisa diadalkan…” Pak Budi yang sangat menyesal.
“Ayo kita
pergi…” Sarani mengajak Pak Budi meninggalkan lokasi. Mereka melewatin Kay yang dari tadi memperhatikan mereka.
***
Adriel duduk
di meja kerja sambil memikirkan jalan keluar apa yang harus di buat untuk
menyelesaikan masalah perusahaan yang melenggu dirinya. Pikirannya buntuh tidak
bisa berpikir apa-apa lagi. Sekali-kai Adriel menarik nafas untuk membuatnya
rikles tapi itu hanya sesaat untuk menghilangkan stressnya. Beberapa saar
kemudian Adriel mendapatkan telpon dari Ayah. Adriel nampak ketakutan namun
tetap diangkatnya, “halo Yah…” setelah mendenggar apa yang dikatakan Ayah,
“baik Yah,” lalu menutup telpon. Ayah menyuruh Adriel menemuinnya di Hotel Ratu
itu membuat dirinya tengang.
Setiba di
Hotel Ratu, Adriel langsung menemuin Ayah diruang kerjanya. Kedatangan Adriel
disambut dingin oleh Ayah. Adriel melihat file-file perusahaan diatas meja
kerja Ayah itu tandanya Ayah sudah mengetahuinnya. “Kenapa kau tidak
mengatakannya??!” tanya Ayah yang masih bersikaf dingin pada Adriel.
“Maafkan aku
Ayah. Aku hanya ingin menyelesaikannya sendiri,” Adriel yang mencoba
menjelaskan.
“Apa
buktinya?! Sampai sekarang kau belum menyelesaikannya!!”.
Adriel diam.
“Aku pikir kau
bisa aku adalkan tenyata tidak!!” Ayah yang kecewa pada Adriel, “sekarang jawab
pertanyaanku! Apa kau melakukan ini hanya untuk melindungin Ibumu?!!”.
Adriel diam.
“Aku anggap
itu satu jawaban darimu. Pergilah…!”.
“Ayah… apa
Ayah akan menceraikan Ibu??”.
Kali ini Ayah
yang diam.
“Aku tidak
penduli Ayah menceraikan Ibu atau tidak. Tapi aku mohon… aku masih ingin
menjadi putramu. Aku tidak akan melupakan Ayah,” lalu pergi.
Kata-kata
Adriel membuat Ayah simpatik.
***
Kay ketaman.
Tenyata dugaannya benar, Alina pastih ke taman untuk menghilangkan rasa
frustasinya, “tenyata kau memang disini,” sambil duduk di sebelah Alina yang
berusaha tersenyum padanya menutupin kesedihannya, “jangan paksakan tersenyum
jika tidak bisa tersenyum”.
“Seharusny tadi kau gak usah mengikutinku. Aku
malu padamu,” kata Alina.
Kay tersenyum,
“kenapa kau tidak mendenggarkan penjelasan dari orang tuamu dulu. Mungkin… dia
punya alasan kuat menjual rumah itu”.
“Ya… aku tahu
alasannya,” Alina menanggis, “dia menjual rumah agar bisa main judi dan
mabuk-mabukkan!” dugaan Alina.
“Manusia bisa
berubah kapan pun dia mau,” nasehat Kay.
“Kau tidak
tahu apa-apa! Gara-gara dia harta meninggalan Ayah kandungku habis terjual,
gara-gara dia Ibuku harus banting tulang! Gara-gara dia aku dan kakakku harus
berhenti dari kuliah! Gara-gara dia kakak hampir jadi pelacur! Gara-gara dia
kakak mati di tabrak mobi! Gara-gara dia Ibu bunuh diri! Gara-gara dia aku juga
hampir jadi pelacur!! Dan gara-gara dia aku dan Ceri harus ketakutan seumur
hidup…” Alina melapiaskan kebenciannya.
Kay tidak
menyangkah selama ini Alina sangat menderita.
“Sekarang dia
sudah menjual rumah yang satu-satunya harta yang tertinggal… aku sangat
membencinya… sangat membencinya…”.
Kay memeluk
Alina berharap Alina bisa melapiaskan semua padanya.
***
“Sekarang apa
yang akan kau lakukan dengan uang itu?” tanya Sarani pada Pak Budi yang terlihat
murung sejak tadi.
“Aku gak
tahu,” Pak Budi yang sudah sangat putus asa, “aku tidak pernah melihat Alina
semarah itu denganku”.
“Cobalah
mengerti perasaannya selama ini”.
“Ya… aku
memang Ayah yang jahat! Alina benar… aku sangat jahat!!” Pak Budi menyalahkan
dirinya lagi.
Sarani
merasakan kesedihan dari wajah Pak Budi. disisi lain dia sangat mengerti
kebencian Alina pada Pak Budi namun
disisi lain Pak Budi ingin menebus kesalahannya. Namun itu tidak semudah dengan
membalikkan telapak tangan. Pak Budi harus bekerja keras untuk menyakinkan
kedua putrinya terutama Alina yang sudah terlanjur membencinya. “Aku akan
memberitahu mereka, kau mau membayar utangmu”. karena tidak ada jawaban dari
Pak Budi, Sarani pergi meninggalkan Pak Budi sendiri meratapin penyesalannya.
***
Kay membelikan
2 es krim di supermarket terdekat lalu kembali lagi ke taman, “ini…” memberikan
salah satu es krim pada Alina. Alina nampak ragu menerimah es krim pemberian
Kay. “Aku denggar es krim bisa mendinginkan kepala”.
Alina
mengambil es krim itu dan langsung memakannya.
Kay melihat
Alina menikmatin es krim dengan buru-buru, “jangan buru-buru memakannya,
kepalamu bisa sakit!”.
Alina
menghentikan menikmatin es krim lalu menatap Kay yang sedang menikmatin es
krimnya.
“Kau jangan
melihatku seperti itu? kau terlihat mengerikan,” Kay yang mengira Aliina
tersingung dengan kata-katanya.
“Trimah kasih
ya…”.
Kay pura-pura
tidak mengerti maksud perkataan Alina, “untuk apa?”.
“Untuk
semuanya… trimah kasih untuk semuanya…” menarik panjang lalu membuanggnya
perlahan-lahan, “aku… aku terasa nyaman saat kau ada disisiku”.
“Apa kata-kata
itu ungkapan kau menyukainku…??” goda Kay.
Alina hanya
tersenyum.
“Kau memang
pelit kata-kata!”.
***
Ibu mulai
gelisa saat mengetahuin bahwa suaminya sudah mengetahuin apa yang dilakukannya
pada perusahaan. Rasa bersalah mulai menyelimutin dirinya. Beberapa saat
kemudian Ibu melihat Adriel baru pulang. Ibu langsung menayakan pada Adriel,
“apa benar Ayah sudah tahu?” gugup Ibu.
Adriel menatap
Ibu, “ya”.
“Bagaimana ini…”
Ibu yang ketakutan.
“Dari awal aku
sudah memperingatkan Ibu”.
“Aku gak butuh
kata-katamu itu sekarang!!!” marah Ibu.
“Mungkin…
besok aku akan mengudurkan diri”.
Ibu tampak
terkejut, “apa Ayah yang memintahmu mengudurkan diri?”.
“Tidak. Ayah
tidak mengatakan apa-apa. Aku hanya malu dengan perbuatan Ibu,” lalu
meninggalkan Ibu sendiri dan Adriel masuk ke kamarnya.
“Dasar anak
kurang ajar!!” Ibu yang tidak menyukain kata-kata Adriel padanya.
***
Kay kembali ke
apartemen sendirian tanpa didampingin Alina. Kedatangannya disambut Ibunya,
“kau dari mana sampai selarut ini??” tanya Ibu Sari.
“Aku menemanin
Alina Bu,” jawab Kay sambil duduk di sofa.
“Sekarang dia
dimana?” tanya Ibu lagi sambil duduk di sebelah Kay.
“Alina
langsung kerja”.
“Sebenarnya
apa yang terjadi? Tadi setelah menerimah telpon dia buru-buru pergi??”.
Kay melihat
kearah kamar, “Ceri sudah tidur?”.
“Sudah…
sekarang cerita ke Ibu. Apa yang terjadi ada Alina?”.
“Rumahnya
dijual Ayah tirinya”.
“Apa!”.
Kay mengingat
kata-kata Alina, “aku tidak menyangkah Alina menderita seperti itu,” Kay yang
kasihan melihat keadaan yang selama ini Alina jalanin.
Ibu Sari mulai
ragu untuk memisahkan Kay dan Alina. Saat ini mereka saling membutuhkan satu
sama lain.
***
“Aku senang
kau tidak apa-apa?” kata Nisa yang dari tadi menguatirkan keadaan Alina sejak
dia pergi dari rumahnya, “aku sangat menguatirkanmu”.
Alina berusaha
menutupin kesedihannya, “aku tidak apa-apa. Kau tidak usah menguatirkankku
seperti itu”.
“Syukurlah…
aku jadi tenang sekarang”.
Suasana terhening
sejenak, “apa kau akan tinggal selamanya bersama Kay?” tanya Nisa.
“Aku juga
memikirkan itu. Aku tak mungkin selamanya tinggal bersama Kay dan bersembunyi
dari mereka. Aku tidak ingin mereka mencelakain Kay”.
“Apa
rencanamu?”.
“Tolong bantu
aku cari kontrakan yang murah”.
“Baiklah”.
“Trimah
kasih”.
***
“Bos… tadi
Sarani mengatakan Budi akan membayar utang-utangnya besok,” kata anak buah dari
lintenir itu.
“Akhirnya dia
berani muncul juga!” lintenir itu yang sudah lama menahan kemarahannya, “tapi…
dari mana dia dapat uang sebanyak itu??!”.
“Aku denggar
dia menjual rumahnya Bos”.
“Hahahaha…
jadi sekarang dia sudah jadi gembel!!”.
“Ya bos…”
Lintenir itu yang mulai membuat rencana untuk menjebak Pak Budi.
***
Hari ini Kay
segaja memakai pakaian rapi dengan memakai kemeja putih dilapisin setelan jas
berwarna hitam dan juga memakai dasi berwarna merah bergaris-garis. Sepatu di
sesuaikan dengan pakaian yang dipakainya sekarang. Sambil memadang dirinya dari
cermin Kay berkata dalam hatinya, kau
harus bisa menyakitkannya Kay!. Lalu sekali-kali menarik nafas untuk
membuatnya rikles.
Ibu Sari
melihat putranya yang tidak berpakaian sepertinya biasanya, “kau mau kemana?”.
Kay menolek,
“Ibu akan mendukungku apapun yang aku lakukan, iya kan Bu??”.
Ibu tersenyum,
“iya sayang. Ibu percaya kau sudah tahu mana yang terbaik”.
“Trimah kasih
bu”.
“Apa kau tidak
mau cerita pada Ibu?”.
Kay merusaha
menutupin perasaannya, “maafkan aku Bu. Tapi… aku janji akan pastih cerita”.
Ibu Sari tidak
mau memaksa putranya untuk cerita, “Ibu tunggu”.
“Aku pergi
dulu”.
“Hati-hati
sayang”.
Kay melangkah
pergi meninggalkan komplek gedung apartemen menggunakan mobil yang selalu
mengantarnya kemana dia akan pergi.
***
Ibu masuk ke
dalam kamar Adriel, “kau tidak kerja?” basa-basi Ibu melihat Adriel berdiri di
depan jendela tanpa menolek kearahnya.
Adriel memadang pekarangan rumah dari jendela kamarnya. Dia segaja tidak
keluar dari kamarnya karena rasa malu dan bersalah kepada Ayah. Dilihatnya
surat penguduran dirinya di meja yang akan diberikannya nanti siang. Rasa
bersalah menyelimutin dirinya. “Tidak. Aku akan memberikan surat penguduran diriku nanti siang”.
Ibu duduk di
kasur, “maafkan Ibu”.
Adriel hanya
menghela nafas, “apa Ayah sudah pergi?” membuka pembicaraan baru.
“Semalam Ayah
tidak pulang”.
Suasana
terhening sejenak, “aku ingin kita pergi dari rumah ini Bu”.
“Aku gak
mau!”.
“Bu…”.
“Aku masih sah
jadi istrinya! Kalaupun aku mau pergi, aku tidak mau dengan tangan kosong!!”
serakah Ibu.
“Bu…”.
Ibu berdiri,
“kau mau pergi!? Pergi saja sendiri….!!!” Ibu keluar dari kamar.
Adriel semakin
kesal melihat sikaf Ibu yang keras kepala tanpa memikirkan orang yang terluka
nantinya.
***
Gilda masih
penasaran dengan wanita yang dilihatnya bersama Kay sewaktu di pantai. Rasa
penasaran itu membuat Gilda mau menemuin Alina di apartemen. Belum sampai ke
komplek apartemen, Gilda melihat Alina keluar dari supermarket. Awalnya Gilda
berpikir Alina hanya belanja di supermarket
namun kecuringaan mulai timbul saat Alina begitu akrab dengan
orang-orang yang keluar bersamanya. Diantara mereka melintas di depan Gilda.
Gilda tidak mau membuang kesempatan, dia langsung bertanya, “maaf mbak…”.
“Iya, ada
apa?” tanya kariawan supermarket.
“Apa kau kenal
dengan wanita itu?” tanya Gilda sambil menujuk kearah Alina.
“Maksudmu
Alina?”.
“Namanya
Alina? Kau kenal dia?”.
“Ya iyalah.
Kami kerja di tempat yang sama”.
“Maksudmu dia
menejer supermarket itu?”.
“Alina pelayan
sama denganku”.
Apa! Pelayan…”
Gilda yang tak percaya wanita yang disukain Kay adalah wanita yang tidak ada
apa-apa dibandingkan dirinya.
“Kau siapa ya
Alina?” tanya kariawan supermarket itu.
“Itu bukan
urusanmu!!” lalu pergi menggunakan mobilnya yang terpakir di tepi jalan tak
jauh dari supermarket.
“Dasar cewek
gila!!” kesal kariawan supermarket itu.
Diperjalanannya
pulang, Gilda masih memikirkan status Alina yang sangat berbeda dengan Kay,
“dia hanya pelayan…” yang mulai merencanakan sesuatu untuk menghalangin
hubungan Kay dan Alina.
***
Di perusahaan
HK. Pak Suroyo sedang rapat dengan derektur-derektur perusahaan HK di ruang
rapat. Pak Suroyo menolak bertemu dengan Kay
setelah dia tahu Kay anak dari Darmawan, pengusaha yang menolak kerja
sama dengan perusahaannya. Kay segaja
menunggu di luar ruang kerja Pak Suroyo karena Pak Suroyo pastih akan
kembali keruang kerjanya dan tidak mungkin langsung meninggalkan perusahaan.
Sudah lebih 3 jam Kay menunggu Pak Suroyo yang
akhirnya Pak Suroyo datang juga bersama 2 pria yang berjalan di belakangnya,
“selamat siang Pak…” sapa Kay.
“Kau??”.
“Aku putra
dari Pak Darmawan. Nama ku Kay,” Kay memperkenalkan diri dihadapan Pak Suroyo.
“Aku sudah
menolakmu kenapa kau masih disini?!!” tanya Pak Suroyo.
“Maafkan aku.
Aku tidak bermaksud menganggu kenyaman anda Pak. Aku hanya ingin bicara 5 menit
dengan anda”.
“Aku tahu apa
yang ingin kau bicarakan!!” Pak Suroyo yang sudah mengetahuin semuanya,
“sekarang pergilah!!”.
“Aku mohon…
hanya 5 menit,” mohon Kay.
Pak Suroyo pun
mengalah, “jangan sia-siakan waktumu?!!”.
“Trimah
kasih,” lalu menghela nafas untuk membuatnya rileks, “aku denggar ada
membutuhkan pengacara. Aku bersedia menjadi pengacara putri anda Pak Suroyo”.
“Kau??”.
“Aku pengacara
di perusahaan pengacara di Amerika”.
“Berapa kasus
yang sudah pernah kau tanganin di Amerika?”.
“Sekitar 4
sampai 5 kasus”.
“Hahahaha…hahaha…”
Pak Suroyo tertawa, “kau ingin putriku mendapatkan hukuman gantung!!!?” marah
Pak Suroyo. “Aku tidak akan memberikan kasus putriku pada orang yang tidak
berpengalaman sepertimu!!!”.
“Mungkin aku
tidak berpengalaman. Tapi aku akan tetap berusaha,” Kay yang tak pantang
menyerah.
“Apa
jaminanmu?!!”.
“Perusahaan
orang tuaku. Aku datang kesini memintah bantuan pada anda dan dengan balasnya
aku akan menjadi pengacara putri anda. Aku pastihkan putri anda tidak akan
dihukum gantung,” kata Kay menyakinkan Pak Suroyo, “tapi… aku ingin anda
membantu perusahaan orang tuaku dulu”.
“Hahaha…!! Kau
belum bekerja tapi kau sudah memintah imbalan. Kau pikir kau siapa?!!”.
“Jika menunggu
aku sampai pulang dari Amerika, perusahaan orang tuaku tidak bisa tertolong
lagi”.
“Seberapa
nyakin kau bisa menyelamatkan putriku???”.
“70%”.
Pak Suroyo
berpikir sejenak, “baiklah,” Pak Suroyo setujuh dengan persyaratan yang berikan
Kay, “lusa sidang putriku. Aku serahkan
kasus putriku padamu! Jika kau tidak bisa membebaskan putriku! Bukan perusahaan
orang tuamu saja yang aku hancurkan tapi seluruh orang yang dekat denganmu!!”
acam Pak Suroyo.
Kay tetap
menujukkan kekuatannya, “baiklah”.
“Kapan kau
berangkat?”.
“Nanti malam,
keberangkatan terakhir”.
“Aku akan
suruh orang untuk mengantar
berkas-berkas kasus putriku”.
“Sebelumnya
trimah kasih”.
“Aku harap kau
tidak membuatku kecewa,” kata Pak Suroyo yang mulai memperlembut nada suaranya.
“Ya”.
***
Pak Budi dan
Sarani ke bar menemuin lintenir yang meminjakan uang pada Pak Budi. Kedatangan
Pak Budi dan Sarani disambut hangat oleh lintenir itu, “akhirnya kau datang
juga… silakan duduk,” ramah lintenir itu pada Pak Budi dan Sarani.
Pak Budi
langsung memletakkan amlop berwarna
coklat yang berisi uang Rp 80.000.000,- di atas meja, “aku lebihkan Rp 5.000.000,- dan jangan
ganggu putri-putriku lagi!” dengan nada tinggi, “permisih…” lalu pergi.
Lintenir itu
hanya tersenyum lebar, “tunggu!! Aku ingin berikan tawaran padamu”.
Pak Budi
menghentikan langkahnya lalu membalikkan tubuhnya, “tawaran apa?” tanyanya.
Sarani yang
sudah sangat mengenal lintenir itu mulai menguatirkan Pak Budi, “ayo kita
pergi,” paksa Sarani.
“Aku akan
berikan Rp 50.000.000,- tapi dengan satu syarat…”.
“Apa itu?!”.
“Kau serahkan
anak tirimu,” diam sejenak, “ Dia hanya anak tirimu. Kalian tidak ada hubungan
sedarah, jadi tidak salahnya kau serahkan dia ke aku,” lintenir itu mulai
mengasut Pak Budi yang mulai bimbang.
Sarani yang
melihat Pak Budi yang mulai bimbang mulai mencoba menyakinkan Pak Budi, “Budi…
ingat tujuan awalmu!! Kau tidak ingin melihat Alina menderita lagi khan… sudah
lama Alina menderita karena kau… apa kau ingin membuat Alina menderita lagi!?”.
Pak Budi mulai
mengingat kata-kata yang dilontarkan Alina kemarin kepadanya, “apa kau tidak puas membuat aku menderita!!
Sekarang kau menjual harta satu-satunya peninggalan Ibuku!! Kau jahat!!” Alina
memukul Pak Budi dengan kedua tangannya, “kau jahat…!!” yang terus memukul.
Pak Budi tidak melawan mau pun menghindar. Dia membiarkan Alina
melapiaskan kemarahan pada dirinya.
“Kau jahat…!!” Alina berhenti memukul Pak Budi namun dia masih
menanggis, “seumur hidupku aku harus membayar utang-utangmu. Harus menghidupin
kau dan Ceri,” diam sejenak, “aku tak pernah penduli dengan kehidupanku.
Sekarang ketika aku mau kembali seperti dulu… kau mau hancurka lagi hidupku…!!
Apa tidak cukup kau membuat Ibu dan Kakakku mati gara-gara kau!!! Apa aku harus
bunuh diri juga agar kau bisa berubah…!!?”.
Kata-kata
Alina menyadarkan Pak Budi, “tidak… aku tidak ingin dia mati!” yang tidak
menginginkan Alina bunuh diri seperti istrinya, “aku tidak akan menjual
putriku!!” kata Pak Budi pada lintenir itu, “kau tidak bisa membeli putriku
dengan uangmu itu!!!”..
“Brensek!!!”
Lintenir itu nampak tidak menyukain jawaban dari Pak Budi, “hajar dia!!”
perintah lintenir itu pada anak buahnya.
“Kalian mau
apa…” Sarani yang mulai ketakutan melihat anak-anak buah lintenir itu yang
mendekatin Pak Budi dan salah satu dari mereka memengan dirinya. Sarani hanya bisa menanggis melihat Pak Budi di pukul berkali-kali oleh
mereka, “aku mohon jangan pukul lagi… aku mohon…” yang tak kuasa melihat Pak
Budi yang sudah babak belur namun masih dihajar oleh mereka.
***
Adriel
melangkah keluar dari mobilnya menuju pintu masuk perusahaan. Kariawan yang
melintasinnya masih menyapah dengan
hormat. Adriel berusaha menutupin perasaannya saat ini. Baru beberapa langkah
masuk ke dalam gedung perusahaan, Adriel mendapatkan telpon dari sebuah nomor
yang tidak tercantung ke kontak telpon. Adriel mengangkat telpon, “halo…”
tenyata Kay yang menelponnya. Kay mengajak Adriel ketemuan. “Baiklah,” lalu
menutup telpon. Di benaknya bertanya-tanya kenapa Kay tiba-tiba mengajaknya
ketemuan.
Adriel
mendatangin tempat yang ditentukan Kay untuk ketemuan. “Kau datang juga,” kata
Kay lalu meminum secangkir kopi yang sebelumnya sudah di pesannya, “kau mau
minum apa?”.
“Langsung
saja! Kau mau apa?!” tanya Adriel tidak menujukkan sikaf persahabatan.
“Ok…” Kay
meletakkan beberapa file di atas meja, “aku ingin kita saling membantu”.
“Apa
maksudmu?!”.
“Perusahaan HK
bersediah bekerja sama dengan perusahaan. Mereka akan membantu keuangan
perusahaan dan aku ingin kau mengurus kerja sama itu sampai selesai,”
penjelasan Kay.
“Kenapa bukan
dirimu??” curiga Adriel.
“Aku harus
segera ke Amerika”.
Adriel
berpikir sejenak, “Pak Suroyo tidak akan mau bekerja sama jika memintaannya
tidak diturutin,” setahu Adriel, “apa yang dimintahnya?? Apa kau memberikan
sebagian sahammu padanya??”.
Kay tertawa,”
hahahaha…hahaha… aku tidak sebodoh itu!!”.
“Lalu apa?”.
“Aku buat
perjanjian dengannya?”.
“Perjanjian??
Penjanjian apa?!”.
“Aku akan
menjadi pengacara di kasus putrinya”.
Adriel yang
pernah mendenggar kasus putri Pak Suroyo, “karena itu kau mau berangkat ke
Amerika?”.
“Ya”.
“Apa kau nyakin
bisa memenangkan kasus itu?”.
“Doakan saja,”
Kay tidak mau menujukkan keraguannya dihadapan Adriel.
“Aku harap kau
bisa melakukannya”.
“Kau juga”.
Suasana
terhening sejenak, “trimah kasih kau sudah mempercayainku,” kata Adriel yang
mulai menyukain Kay.
“Aku tidak
akan mempercayainmu sampai masalah ini selesai,” kata Kay.
Kali ini
Adriel tersenyum, “aku akan berusaha membuatmu percaya padaku”.
Kay membalas
tersenyum.
***
Ibu Sari makan
malam bersama Alina dan Ceri di meja makan. Alina nampak tidak bersemangat
menimatin makan malamnya. “Kau kenapa?” tanya Ibu Sari pada Alina, “kau ada
masalah?”.
“Tidak tan. O
ya… aku berencana mau mengotrak rumah tan. Gak enak juga aku kelamaan tinggal
disini,” kata Alina.
“Kau bicarakan
langsung saja pada Kay,” ucap Ibu Sari.
“Baik”.
Beberapa saat kemudian Alina mendapatkan telpon dari nomor yang tidak terterak
di kontak telpon. Alina mengangkatnya, “halo… ini siapa?”.
“Ini aku
Sarani…” nada suara Sarani yang nampak gemetar.
“Ada apa?”.
“Ayahmu…
Ayahmu…”.
“Ke…kenapa dengan
dia?” Alina yang mulai kuatir.
“A…ayahmu
sekarang dirumah sakit”.
“Apa!!” Alina
nampak terkejut, “aku akan segera datang!” lalu menutup telponnya.
“Kau mau
kemana?!” tanya Ibu Sari yang melihat Alina yang bersiap-siap untuk pergi.
Alina mau
menjawab pertanyaan Ibu Sari namun saat dia melihat Ceri, dia menghentikan
niatnya, “aku akan segera pulang,” lalu pergi dengan tergesah-gesah.
“Kakak kenapa
tan?” kuatir Ceri.
Ibu Sari
berusaha menghibur Ceri, “kakakmu hanya pergi sebentar. Kita lanjutin makan”.
Ceri menganggu
lalu melajutin makannya yang tertunda.
Ibu Sari
terpikiran dengan Alina yang buru-buru pergi setelah menerimah telpon namun
berusaha tidak ditampakkannya di hadapan Ceri. Ibu Sari nyakin Alina tidak
menjawab pertanyaannya karena menjaga merasaan Ceri.
***
Setiba di
rumah sakit. Alina langsung bertanya pada perawat dimana Ayah tirinya di rawat.
Setelah tahu di kamar mana Ayah tirinya dirawat, Alina bergegas menuju kamar
tempat Pak Budi dirawat. Kedatangan Alina di sambut Sarani yang dari tadi
menunggu kedatangannya, “akhirnya kau datang juga”.
Alina melihat
perban membalut tangan, kaki, dan kepala Pak Budi, “bagaimana keadaannya?”
tanya Alina.
“Dia belum
sadar”.
“Kenapa bisa
seperti ini?!” Alina yang membutuhkan penjelasan.
“Budi berniat
membayar utang-utangnya. Tapi lintenir itu memberikan tawaran padanya. Dia
menolaknya mentah-mentah!! Lalu mereka memukul sampai seperti ini,” penjelasan
Sarani sambil menanggis yang tidak bisa melupakan kejadian itu.
“Kenapa dia menolaknya?” Alina yang merasa
tidak mengenal Ayah tirinya itu lagi.
“Mereka
menginginkan kau Alina”.
Alina
terkejut, “dia sampai seperti ini gara-gara aku,” yang tidak menyangkah, “ini
bukan dia…” Alina pun menanggis, “ini bukan dia….” Yang tersanjung melihat Pak
Budi melindungin dirinya, “ini bukan dia…!!” yang masih menanggis.
***
Kay pulang ke
apartemen untuk bersiap-siap berangkat ke Amerika malam ini juga. Dengan
bantuan Ibunya kay memasukkan pakaian ke dalam koper. “Kenapa dadakkan seperti
ini?” heran Ibu melihat putranya yang buru-buru.
“Ada kasus
yang harus aku selesaikan Bu,” jawab Kay.
“Berapa lama
kau pergi?” tanya Ibu Sari.
“Aku gak tahu
bu. Tapi aku ingin cepat pulang”.
“Apa kau sudah
memberitahu Alina?”.
“Belum. Tolong
Ibu beritahunya”.
“Sepertinya
Alina lagi ada masalah?”.
Kay menatap
Ibu dan mulai menguatirkan keadaan Alina.
“Kau pergi
saja. Ibu akan coba menghibur Alina sampai kau kembali,” kata Ibu yang tidak
ingin putranya ragu.
“Baiklah.
Trimah kasih Bu”.
Ibu hanya
tersenyum walaupun sebenarnya dirinya masih ragu.
Setelah siap,
Kay pun berangkat ke bandara Sukarno_Hatta menggunakan taxi yang sebelumnya
sudah di pesannya. Ibu Sari hanya mengantar Kay sampai di depan pintu masuk
gedung apartemen. Rasa penasaran mulai timbul kenapa Kay tiba-tiba berangkat ke
Amerika. Kasus apa yang membuat Kay harus pergi meninggalkan masalah yang
menyelimutin perusahaan.
***
Bersambung
Tidak ada komentar :
Posting Komentar