3
Kay mengajak
Ceri ke Moll, lalu mereka memasukkin toko pakaian yang khusus menjual pakaian
anak-anak seumuran Ceri. Dengan bantuan pelayan toko, Ceri di bantu memilih
pakaian yang akan di pakai nantinya. Sedangkan Kay menunggu Ceri di meja kasir.
“Berapa umur
anaknya Pak,” tanya pelayan toko yang berdiri di meja kasir.
Kay menolek
pada pelayan itu, “apa wajahku sudah terlihat seperti Ayahnya?”.
“Maaf Pak,”
kata pelayan itu yang langsung memintak maaf mengira Kay tersingung dengan
kata-katanya.
Tak lama
kemudian Ceri sudah selesai memilih, beberapa pakaian sudah dipilihnya,
“menurutmu mana yang bagus?” tanya Ceri pada Kay.
Kay melihat
pakaian yang dipilih Ceri cukup banyak, “hitung semuanya,” lalu memberikan
kartu kredit pada kasir.
“Dibelinya
semuanya?” yang tak percaya apa yang didenggarnya.
“Kalau hanya
satu di beli dan besoknya kau masih memakai bajuku lebih baik tidak usah beli,”
pendapat Kay.
Setelah semua
pakaian dibayar, Kay dan Ceri meninggalkan toko. Tak jauh dari toko, Kay
melihat toko pakaian yang khusus menjual pakaian perempuan, “sepertinya kakakmu
memerlukan beberapa pakaian,” lalu mereka masuk ke dalam toko itu. Pelayan toko
langsung melayanin mereka berdua, “bisa saya bantu Pak?”.
“Aku mau cari
pakaian untuk wanita dewasa,” kata Kay.
“Pakaian
seperti apa Pak?” tanya pelayan itu yang belum mengerti penjelasan Kay.
“Umur kakakmu
berapa?” tanya Kay pada Ceri.
“27 tahun”.
“Bedah tiga
tahu,” yang tidak menyangka umur Alina sudah
27 tahun padahal Kay mengira umur Alina sekitar 24 atau 25 tahun. “Aku
ingin pakaian perempuan yang umurnya sekitar 27 tahun, dengan ukuran celana
sekitar 27 atau 28, tinggi badan 170 dengan ukuran dadah?? Berapa ukuran
dadahnya?” Kay bingung berapa ukuran dadah Alina, “ahh… kau bisa carikan
khan?”.
“Iya Pak,”
kata pelayan itu yang sedikit mengerti penjelasan Kay, “tunggu sebentar pak,”
lalu pelayan itu segera memilih pakaian. Tidak begitu lama Kay menunggu pelayan
itu, beberapa pakaian pilihan pelayan itu ditunjukkan pada Kay, “silakan pilih
Pak”.
“langsung
hitung saja,” perintah Kay lalu memberikan kartu kredit pada kasir. Setelah
semua pakaian di hitung dan kartu kreditnya di kembalikan padanya, Kay dan Ceri
keluar dari toko. “Sekarang kita mau beli apa lagi?”.
“Pakaian
dalam,” jawab Ceri.
“Apa! Pakaian
dalam!” Kay yang tidak menyangkah Ceri memintah dibelikan pakaian dalam,
“kenapa kau tidak mintak beli sepatu saja?” tawar Kay.
“Pakaian dalam
lebih penting dari sepatu”.
“Hahhh…. Aku
menyesal mengajakmu”.
“Dan… belikan
untuk Kak Alina juga yach”.
“Apa!”.
***
Seperti Adriel
kata dengan Ibu tadi pagi dia akan menemuin Rudi secara pribadi. Adriel datang
ke hotel Larisa sendirian tanpa ditemanin siapapun, dia berniat memintah maaf
pada Rudi atas sikaf kasarnya kemarin. Kedatangan Adriel disambut dingin oleh
Rudi, “aku pikir kau tidak akan berani lagi menujukkan wajahmu di hadapanku.
Tenyata aku salah. Kau sampai mengijak harga dirimu untuk menemuinku,” Rudi
yang sangat puas.
“Aku disini
hanya memintah maaf,” kata Adriel langsung ke inti bicara.
“Aku tahu,
jika tidak tidak memintah maaf untuk apa kau jauh-jauh datang kesini,
benarkan?”.
“Aku hanya
tidak mau kerja sama ini batal karna hanya masalah sepeleh”.
“Bagi kau
mungkin masalah sepeleh tapi bagiku itu masalah besar. Kau sudah membuat aku
malu di kandangmu sendiri! Tapi… karna aku mengingat persahabatanku dengan Kay
di tambah Ayahku dengan om Darmawan sudah berteman baik, aku tidak mau
merusaknya hanya karna ketidak provesionalnya dirimu. Hotel Larisa dengan Hotel
Ratu tetap akan bekerja sama,” keputusan Rudi.
“Trimah kasih.
Urusanku sudah selesai, permisih,” Adriel yang akan segera pergi.
Baru beberapa
langka Rudi memanggil Adriel, “tunggu!”.
Adriel
menghentikan langkahnya tanpa menolek kearah Rudi.
“Sebaiknya kau
harus lebih banyak belajar dari Kay,” saran Rudi.
Adriel
nampak tidak menyukain saran dari Rudi.
“Tapi
sepertinya kau tidak akan melakukannya,
“ dugaan Rudi, “tapi kali ini kau harus mengikutin saranku”.
Adriel
membalik tubuhnya, “maksud kau?”.
“Walaupun
sikaf Kay yang cuek dan masa bodoh, tapi dia tipe orang yang serius, jadi kau
harus hati-hati dengannya. Jangan biarkan Kay masuk, jika sekali masuk, kau
tidak akan bertahan lama,” saran Rudi.
Adriel
memikirkan maksud perkataan Rudi padanya.
***
Kay dan Ceri
tiba di pakiran apartemen. Kay mengeluarkan bungkusan-bungkusan dari bagasi
mobil. Ceri hanya membawa 2 bungkusan sedangkkan Kay terpaksa harus membawa
sisa bungkusan itu sendiri. Didalam lift
Kay memperingatin Ceri agar tidak memberitahu siapapun dia menemanin Ceri
membeli pakaian dalam wanita, “ingat! Jangan ada seorang pun tahu aku membeli
pakaian dalam wanita”.
“Beres,”
jjawab Ceri sambil menujukkan jempolnya.
Ketika lift
terbuka di lantai 30, mereka langsung keluar dari lift. Bertapa terkejutnya
Ceri melihat Alina menyadar didinding dengan mata tertutup, “kakak…”Ceri
langsung mendekatin Alina dan langsung menanggis..
Sama seperti
Ceri, Kay pun kanget melihat keadaan
Alina. Di pengangnya lenggan Alina untuk
memeriksa nadi apakah masih berdetak atau tidak, “dia masih hidup.
Suara
tanggisan Ceri membuat Alina terbangun, “kalian baru pulang,” melihat Ceri dan
Kay berada dihadapannya.
“Kakak…” Ceri
langsung memeluk Alina itu membuat Alina bingung.
“Dia pikir kau
kenapa-kenapa,” Kay yang menjelaskan pada Alina kenapa Ceri bersikaf itu
padanya.
Alina
melepaskan pelukkan Ceri, “kakak tidak apa-apa, “ lalu melihat banyak
bungkusan, “bungkusan apa itu?”.
“Kak Kay
membeli pakaian untuk Ceri, untuk kakak juga ada,” jawab Ceri yang sangat
senang.
Alina berdiri,
“tolong jangan perlakukan kami seperti ini,” yang tidak menyukain perhatian Kay
yang berlebihan pada mereka berdua.
“Apa
maksudmu?”.
“Aku memang
menumpang di rumahmu,” air mmata jatuh membasahin pipi Alina, “tapi aku buka
pengemis”.
“Tapi aku
tidak pernah bilang kau pengemis!” Kay membelah diri.
“Dengan caramu
seperti ini, kau sudah menganggap kami seperti pengemis!”.
Kay
mendekatkan dirinya pada Alina, “bisahkan kau membedahkan antara pengemis
dengan dirimu!! Dan satu hal lagi, harga dirimu itu terlalu tinggi!” Kay
meletakkan kunci apartemen di tangan Alina
lalu pergi meninggalkan mereka
berdua.
Alina masih
menanggis.
“Kakak jangan
menanggis,” Ceri yang juga ikut menanggis, “kalau Kakak marah, Ceri tidak akan
memakai pakaian-pakaian ini huhuhu… Ceri tidak mau Kakak marah”.
Alina memeluk
Ceri, “maafkan Aku. Dia benar, harga diriku terlalu tinggi,” yang mulai sadar
kesalahannya.
***
Didalam kamar,
Adriel memikirkan saran yang berikan Rudi padanya, “Walaupun sikaf Kay yang cuek dan masa bodoh, tapi dia tipe orang yang
serius, jadi kau harus hati-hati dengannya. Jangan biarkan Kay masuk, jika
sekali masuk, kau tidak akan bertahan lama”. Adriel tersenyum, “mana
mungkin anak manja seperti dia bisa mengalahkanku,” nyakin Adriel yang bisa
mengalahkan Kay.
***
Hari sudah
semakin gelap. Ceri pun sudah tertidur lelap di sofa karena kelelahan.
Namun Kay belum juga
pulang dari tadi. Alina mulai merasa bersalah pada Kay. Dilihatnya satu
persatu bungkusan diantaranya bungkusan itu terdapat pakaian dalam dan kosmetik
untuknya, “sampai segininya kau memberikan padaku,” Alina yang mulai sedikit
menikmatin perhatian yang di berikan padanya.
Karena tidak
mau telat kerja, Alina segera berangkat dan meninggalkan Ceri sendiri di
apartemen. Ketika mau keluar dari gedung apartemen, Alina melihat Kay sedang
duduk di anak tangga depan pintu masuk gedung. Alina duduk di sebelah Kay lalu
berkata, “maafkan aku. Seharusnya tak
sepantasnya aku bersikaf seperti itu padamu”.
Kay tersenyum,
“aku sudah melupakannya”.
“Lalu kenapa
kau tidak kembali?”.
“Permadangan
disini bagus”.
Alina tahu itu
hanya alasan Kay saja, “jangan bercanda”.
Kay tersenyum
lebar, “hhmmm…” diam sejenak, “sebenarnya aku iri padamu”.
“Kau jangan
bercanda,” Alina yang mengira Kay bercanda.
“Kau dan Ceri
saudara tiri tapi kalian saling menyayangin sedangkan aku. Bertemu saja belum
pernah,” diam sejenak, “temanku bilang, dia sepertinya tidak menyukainku”.
“Itu kan hanya
tanggapan temanmu?” Alina yang mencoba menghibur Kay.
“Seperti iya,”
diam sejenak, “tapi itu salahku juga, awalnya aku juga tidak menyukainnya”.
Alina
tersenyum namun senyum itu hanya sesaat ketika matanya tertujuh pada 2 pria
yang sedang berdiri di tepi jalan tak jauh dari gedung. Alina langsung menarik
Kay bersembunyi di dalam gedung.
“Kau kenapa?”
Kay merasakan tubuh Alina yang gemetar, wajahnya pucat karena ketakutan. Kay
mencoba menigitip apa yang membuat Alina sampai setakut ini. Kay melihat dua
pria yang berdiri di tepi jalan tak jauh dari gedung. Mereka adalah salah satu
pria yang mengeroyok Alina 2 malam sebelumnya. “kau jangan takut,” Kay memeluk
Alina, “aku akan menjagamu”. Alina tidak bisa mengatakan apa-apa, tubuhnya
gemetar karena ketakutan.
Kay membawa
Alina ke apartemen, “minumlah,” lalu memberikan segelas air putih pada Alina
yang sebelumnya diambilnya di dapur.
Alina langsung
meminumnya, “trimah kasih”.
“Hari ini kau
jangan kerja dulu,” saran Kay.
Alina
mengangguk.
Kay melihat
pakaian dikenakan Alina pakaian yang sama tadi siang, “sebaiknya kau mandi, kau
bauk sekali,” canda Kay yang mencoba menghibur Alina yang masih ketakutan.
“Iya…” lalu
Alina masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Sedangkan Kay
memidahkan Ceri yang sudah tertidur lelap ke kamarnya. Setelah memidahkan Ceri
ke kamar, Kay ke dapur untuk membuat kopi. Setelah selesai membuat kopi, Kay ke
ruang tengah sambil mencicipin kopi yang panas namun tatapannya langsung
berhenti saat melihat Alina keluar dari kamar mandi dengan memakai prints
dress. Tatapan Kay membuat Alina salah tingkah, “sepertinyya kependekan,” malu
Alina.
“Tidak, kau
terlihat cantik,” puji Kay.
Alina tidak
melihat Ceri di sofa, “mana Ceri?” yang mulai panik.
“Jangan panik.
Aku pindahkan Ceri di kamar. Kau bisa tidur di kamar bersama Ceri”.
“Tapi kau?”.
“Kau tidak
usah kuatir denganku, aku kan laki-laki,” kata Kay sambil tersenyum.
Alina
tersenyum tipis.
“Kau mau
kopi?” tawar Kay.
“Tidak. Aku
mau tidur saja. Selamat malam,” lalu Alina masuk ke dalam kamar.
“Malam,”
matanya yang masih tertujuh kearah kamar, “dia cantik sekali,” puji Kay yang
tidak bisa melupakannya. Kay berdiri di balkon lalu mengingat saat dirinya
memeluk Alina tadi namun tenganggu saat Kay mulai penasaran dengan rasa takut
Alina pada pria-pria itu, “kenapa dia begitu takut?? Siapa mereka??”.
Tenyata dikamar
Alina tidak tidur dia masih memikirkan bagaimana cara membayar utang-utang Ayah
tirinya. Bagaimanapun mereka bersembunyi
dari lentenir itu pastih suatu saat nanti mereka akan ditemukan juga dan itu
yang tidak ingin Alina inginkan. Sebelum itu terjadi, dia ingin menyelesaikan
semua utang-utang Ayahnya di tambah dia tidak ingin Kay orang yang menolongnya
terlibat dalam masalahnya.
Bukan karna
memikirkan masalah ini saja Alina tidak bisa tidur. Alina sudah terbiasa hidup
terbalik, siang menjadi malam, malam menjadi siang. yang seharusnya malam
orang-orang istirahat bagi Alina malam adalah untuk mencari uang dan siang
untuk istirahat. Kebiasaan itu membuat Alina terbiasa dengan kehidupan yang
dijalaninnya selama ini.
***
Tidak terasa
jam sudah menuju pukul 3.00 WIB. Alina keluar dari kamar dilihatnya Kay
tertidur di sofa tanpa memakai selimut. Diambilnya selimut dari kamar lalu
menyelimutin tubuh Kay yang terlihat kedinginan karna udara pagi yang dingin
pagi yang mulai terasa dari cela-cela petilasi. Dipadangnya wajah Kay yang
sedang tidur, “trimah kasih,” yang sangat bertrimah kasih atas bantuan yang
selama ini Kay berikan padanya dan Ceri.
Karena tidak
mau menyia-yiakan wantu begitu saja, Alina pun membersihkan rumah, mencuci
pakaian dan juga menyiapkan sarapan seadanya karena isi dapur Kay pun terlihat
tidak lengkap dan isi kulkas pun tidak ada apa-apa. Alina hanya memasak nasi goreng untuk sarapan mereka nantinya.
***
Seperti biasa
Bob datang ke supermarket sebelum pengantian kariawan. Di kasir Bob hanya
melihat Nisa padahal Alina juga ditetapkan menjaga kasir. “Mana Alina?”
tanyanya.
“Eeehhh… dia
tidak masuk,” jawab Nisa ragu-ragu, “mungkin Ceri lagi tidak mau ditinggalkan,”
Nisa mencoba memberi alasan pada Bob.
Bob terdiam
sejenak, “atau lagi dengan pria itu,” lalu meninggalkan Nisa.
Nisa tahu Bob
pastih cemburu pada pria itu, rasa cemburunya pada pria itu membuat perasaan
Nisa terluka. Sudah lama sekali dia menahan perasaan ini pada Bob, dia pun
tidak bisa mengatakannya karena Bob
menyukain sahabatnya dibandingkan dirinya.
***
Kay bangun
dari tidurnya, dlihatnya ada selimut menyelimutin tubuhnya. Kay terlihat
bingung siapa yang melakukan ini padanya. Terdenggar sauara dari arah dapur,
Kay pun ke dapur melihat siapa yang berada di dapur, “kau sedang apa?” tanyanya
yang melihat Alina yang sedang mencuci piring.
Alina kanget
langsung membalikkan tubuhnya, “hahhh…. Kau membuatku kanget”.
Kay tersenyum
melihat Alina yang sangat terkejut, “kau melakukan ini semua?” melihat sarapan
sudah tersedia di atas meja makan.
Dibandingkan
menjawab pertanyaan Kay, Alina malah mengomentarin peralatan dapur Kay yang
tidak lengkap, “alat dapurmu tidak lenkap dan isi kulkasmu juga gak ada
apa-apa. Hanya makanan ringat, apa kau terbiasa hidup seperti ini?”.
Kay duduk, “Ya”.
“Kalau kau
lapar?”.
“Aku bisa
menyuruh orang untuk membawa makanan”.
“Untuk aja
beras ada,” kata Alina dengan nada suara pelat.
“Apa?”.
“Tidak,”
sambil tersenyum, “ayo makan”.
Kay mulai
memakan nasi goreng yang disiapkan Alina untuk sarapan mereka. Sambil makan
mata Kay melihat isi dapur yang terlihat bersih dan pakaiannya yang berada di
mesin cuci pun sudah terlipan rapi, “kau tidak tidur semalaman?” dugaannya.
“Aku sudah
terbiasa hidup terbalik. Siang menjadi malam, malam menjadi siang”.
“Kenapa kau memilih
pekerjaan malam? masih banyak pekerjaan pada siang hari”.
“Karena
gajinya lebih besar dibandingkan siang hari”.
“Apa sebutuh
itukah kau dengan uang”.
“Ya,” diam
sejenak sambil memadang Kay yang duduk di hadapannya, “kehidupanku
kebalikkannya denganmu. Kau berlipah dengan uang sedangkan aku kekurangan
uang”.
“Apa pernah
kau memipikan untuk mendapatkan uang yang banyak?”.
Alina
tersenyum, “aku takut untuk bermimpi”.
“Kenapa?”.
“Karena setiap
mimpi yang aku impikan akan hilang begitu saja”.
Walaupun masih
penasaran Kay tidak melajutin bertanya lagi. Dia melihat penderitaan
menyelimutin kehidupan Alina selama ini. “Kau terlihat sangat menderita”.
Alina masih
tersenyum, “aku sudah terbiasa dengan kehidupan ini,” yang berusaha kuat
dihadapan Kay.
***
Adriel
mendapat telpon dari derektur Edi untuk segera ke Hotel Ratu karena Ayah dan
Rudi sedang membicarakan kerja sama Hotel Ratu dengan Hotel Larisa. Adriel
mengingat sikaf kasarnya pada Rudi di
Hotel Ratu membuat dirinya panik takut Rudi memberitahu Ayah tirinya itu.
Walaupun dia sudah memintah maaf secara pribadi pada Rudi tapi rasa takut itu
masih menyelimutinnya. Adriel angsung bergegas ke Hotel Ratu.
Setiba di
Hotel Ratu Adriel melihat Ayah bersalaman dengan Rudi di depan lobi Hotel. Ayah
menyambut kedatangan Adriel, “Aku tidak salah menyerahkan tugas ini padamu,”
bangga Ayah pada kinerja Adriel sambil menepuk bahu Adriel dengan pelat.
Adriel hanya
tersenyum.
“Aku pergi
dulu”.
“Iya Yah,”
Adriel menatap Rudi dengan tatapan tajam.
Setelah sopir
membukakan pintu mobil untuk Ayah barulah Ayah masuk ke dalam mobil lalu mobil
pun berjalan pergi meninggalkan Hotel Ratu.
Adriel
mendekatin Rudi, “kau menyetujuian kerja sama ini?”.
“Ya,” jawab
singkat Rudi yang masih tersenyum.
“Kau terlihat
merencanakan sesuatu,” dugaan Adriel.
“Benarkah?”
yang pura-pura terkejut, “aku pikir kau tidak tahu. Hahhh… mulai sekarang aku
harus hati-hati denganmu”.
Adriel menatap
Rudi sejenak, “Permisih,” lalu
memutuskan meninggalkan Hotel menggunakan mobil yang masih terpakir di depan lobi
Hotel. Dari kaca spion Adriel melihat
Rudi melambaikan tangan kearahnya seakan sedang mengejeknya.
“Apa yang kau
lakukan?!” tanya Heru melihat sikaf Rudi pada Adriel, “kau membuatnya kesal”.
“Aku senang
mengerjain orang yang suka menusuk saudaranya dari belakang,” kata Rudi
mengukir kata-katanya.
Kata-kata Rudi
membuat Heru tidak mengerti, “maksudmu itu apa-apa?!”.
Rudi menatap
Heru, “apa sejak kau menjadi asisten Kay kau menjadi bodoh!”.
“Apa!”.
“Hahh… tenyata
benar”.
“Heiii…”.
“Sebaiknya kau
pikirkan lagi pekerjaanmu itu!” kata Rudi lalu masuk ke dalam mobil yang
sebelumnya di buka sopinya dan kemudian pergi meninggalkan hotel.
“Apa orang
kaya selalu sifatnya seperti itu!” kesal Heru melihat sikaf Rudi yang tak jauh
bedah dengan sikaf Kay padanya, “hahhh…
seharus aku tidak bersahabat dengan mereka!”.
***
Adriel kembali
ke perusahaan. Diruang kerjanya Adriel memikirkan sikaf Rudi padanya yang
seakan sedang melindungin Kay darinya. Adriel semakin kesal dengan Kay yang
banyak melindunginnya. “Aku penasaran seperti apa dia?” yang mulai penaasaran
dengan wujud Kay.
***
Selesai dari
jonging Kay istirahat di bangku taman yang sama
Alina dudukin. Dia memikirkan perkataan Alina saat sarapan, “aku takut untuk bermimpi”.
“Kenapa?”.
“Karena setiap mimpi yang aku impikan akan hilang begitu saja”.
Kata-kata itu
menganggu pikiran Kay. Kehidupannya dengan Alina memang sangat terbalik. Dia
bisa melakukan apapun karena dia memilikin orang tua yang kaya sedangkan Alina
harus bekerja keras untuk memenuhin hidupnya.
Dari kejauhan
tiga pria memperhatikannya. Kay merasakan di perhatikan oleh mereka namun
berusaha tidak menujukkannya. Cukup lama Kay membiarka mereka memperhatikannya,
lalu kemudian memutuskan mendekatin mereka. 3 pria itu mulai kelabakkan untuk
pura-pura tidak melihat Kay, “siapa yang menyuruh kalian?” tanyanya yang
langsung ke inti masalah.
“Maafkan kami
tuan,” kata salah satu dari mereka.
“Aku tidak
butuh maaf dari kalian. Siapa yang menyuruh kalian? Ayah? Atau ibu tiriku?”.
“Ayah tuan,”
jawab salah satu dari mereka.
“Kenapa Ayah
menyuruh kalian untuk menjagaku?”.
“Tuan besar
takut nyonya akan melukain tuan”.
Kay tersenyum,
“tenyata dia sekarang sudah menujukkan bagaimana seharusnya ibu tiri”.
Mereka bertiga
hanya diam.
“Dari pada
kalian menjagaku lebih baik kalian membantuku,” Kay mendapatkan ide.
“Maksud
tuan?”.
***
Alina mendapatkan telpon dari Nisa untuk mengajaknya ketemuan. Alina
mengajak Nisa ketemuan di depan
gedung apartemen. Nisa yang melihat tempat tinggal Alina yang baru sangat
terkejut, “kau tinggal disini?” tanya Nisa seakan tidak percaya apa yang
dilihatnya.
Alina mengangguk, “ini hanya
sementara. Setelah aman aku akan pergi”.
“Kenapa kau tidak tinggal
denganku saja?”.
“Kalau aku tinggal denganmu kau
akan celaka. Setidaknya kalau aku tinggal disini mereka akan mengangguku di
dalam. Karena disini banyak polisi penjaga”.
“Lalu bagaimana kalau kau sedang diluar?”.
Alina berusaha untuk tersenyum,
“aku akan tertangkap”.
Nisa memeluk Alina, “aku tidak
ingin terjadi apa-apa denganmu kau
sahabatku satu-satunya”.
Alina sangat senang
mendenggarnya, “trimah kasih kau mau menjadi sahabatku selama ini”.
Nisa masih memeluk Alina.
***
Kay pulang dan
tidak melihat Alina hanya Ceri yang berada di dalam apartemen sambil nonton TV,
“mana kakakmu?”.
“Pergi menemuin
temannya di luar,” jawab Ceri dengan
matanya terus tertujuh kearah TV.
“Kau tidak
sekolah?”.
Ceri
mengeleng, “kakak menyuruhku sekolah”.
Kay menjulak
kepala Ceri, “dasar bodoh! Memang yang sekolah itu kakakmu!”.
Ceri
menujukkan wajah cemberut.
“Besok
sekolah!”.
Ceri
mengangguk dengan wajah cemberut.
Kay tersenyum
melihat wajah Ceri yang cemberut.
***
“Apa tidak
apa-apa kau menemaninku?” tanya Nisa pada Alina yang menemaninnya berbelanja di
Moll.
“Tidak
apa-apa. Setidaknya aku harus hati-hati,” jawab Alina sambil tersenyum, dia
tidak ingin menujukkan ketakutannya di hadapan Nisa, “mungkin beberapa hari ini
aku tidak masuk kerja”.
“Ya , itu
lebih baik dari pada nantinya kau tertangkap”.
Mereka berdua
melintasin toko pakaian pria. Alina menghentikan langkahnya, “kita masuk yuk,”
mengajak Nisa masuk ke dalam toko. Walaupun bingung Nisa tetap mengikutin
Alina. Alina melihat-lihat jaket pria, ketika sudah memutuskan jaket yang cocok
Alina melihat harga yang tercantum di jaket Rp 560.000,-. Cukup kanget Alina
melihat hargat jaket lalu meletakkan jaket itu kembali ke tempatnya. “Ayo…”
lalu menarik Nisa keluar dari toko.
“Kenapa gak
jadi?” tanya Nisa.
“Mahal”.
Nisa tertawa,
“hahaha… mahalah, memang kau pikir ini tanah abang,” candanya.
“Hahahah…haha…”
Alina ikut tertawa, “mungkin lain kali aku belikan,” harapan Alina suatu saat
nanti.
“Untuk pria
itu?” tebak Nisa.
“Aku hanya
ingin membalas kebaikannya saja”.
“Siapa
namanya?”.
“Namanya Kay”.
***
Ibu menyambut
kepulangan Adriel, “kau pulang sayang,” melihat raut wajah Adriel yang tidak
bersemangat, “kau kenapa? Apa ada masalah?”.
“Aku ingin
bertemu dengan Kay”.
“Untuk apa kau
ingin bertemu dengan Kay?”.
“Selama dia
berada di Jakarta, dia akan terus menghantuin kehidupanku Bu”.
“Kenapa kau
bicara seperti itu?”.
“Rudi”.
“Rudi pemilik
Hotel Larisa?”.
“Dia sahabat
Kay. Sepertinya Kay menyuruh Rudi untuk bermain-main denganku”.
“Apa. Apa
maksudmu?”.
Adriel tidak
menjawab dia hanya ingin segera bertemu dengan Kay.
***
Alina kembali
ke apartemen. Didalam apartemen Alina melihat Kay dan Ceri tertidur di sofa
dengan makanan berserakat di atas meja dan TV di biarkan menyalah. Alina
mengambil selimut lalu menyelimutin tubuh Kay dan Ceri. Ketika mau menyelimutin
Kay tiba-tiba mata Kay terbuka. Alina sangat terkejut dan langsung berdiri
tegap.
“Kau baru
pulang?” tanya Kay yang terbangun dari tidurnya.
“Iya,” gugup
Alina.
Kay menahan
senyum melihat Alina yang gugup, “kau tidak apa-apa?”.
Alina menatap
Kay, “Ya,” lalu tersenyum, “aku tidak apa-apa”.
“Oh iya, besok
Ceri harus sekolah, tidak baik untuk pendidikannya,” saran Kay. Kay melihat keraguan di ekpresi wajah yang
ditunjukkan Alina. “Kau tidak usah kuatir, aku menyuruh orang untuk menjaga
Ceri 24 jam”.
“Tapi…”.
“Kau tidak
usah kuatir, bukan aku yang membayar merek, orang tuaku yang membayar. Mereka
di suruh untuk menjagaku. Dari pada mereka menjagaku lebih baik mereka menjaga
Ceri,” mencoba menjelaskan, “apalagi aku sudah besar, tidak perluh ada yang
menjagaku,” kata Kay panjang lebar menyakinkan Alina.
“Biasanya
orang tua menyuruh seseorang untuk menjaga kita pastih akan ada yang
mencelakain kita,” kata Alina yang mulai kuatir dengan Kay.
“Aku sudah
terbiasa hidup seperti ini. Hidup sendiri tanpa ada yang menjaga. Aku anak
orang kaya,” tersenyum pada dirinya sendiri, “aku bisa melakukan apapun yang
aku inginkan tapi…” terdiam sejenak, “ada yang tidak bisa aku lakukan”.
“Maksudmu?”.
“Sudah tiga
tahun lebih aku tidak bertemu dengannya, sekarang dia muncul dengan menyuruh
orang menjagaku itu terlihat aneh bagiku”.
“Kadang kerinduan
seseorang itu susah di tebak, ada yang menujukkannya ada juga hanya diam.
Sekarang bagaimana cara kita menilainnya,” nasehat Alina.
Kata-kata
Alina membuat Kay terhibur, “kau terlihat dewasa dibandingkanku”.
Alina hanya
tersenyum.
***
Nisa
menceritakan semua pada Bob bahwa Alina sekarang tinggal bersama pria yang
bernama Kay. Bob yang mendenggar cerita Nisa nampak kesal, “jadi mereka tinggal
berdua”.
“Alina
berpikir kalau dia tinggal di apartemen mereka tidak akan berani mendekatinnya
karena apartemen banyak penjaga,” penjelasan Nisa.
“Dibandingkan
menerima pertolonganku dia malah memilih menerima pertolongan dari orang yang
baru dikenalnya!”.
“Kau
cemburu?”.
“Aku selalu
bertepuk sebelah tangan. Saat Adriel pergi,
aku berpikir bisa menggantikan Adriel di hatinya tapi tidak. Sekarang
muncul pria lain,” lalu tersenyum, “sepertinya aku akan mengalaminnya lagi”.
“Bisakah kau
melupakan perasaanmu pada Alina,” harap Nisa dengan mata berkaca-kaca.
“Apa
maksudmu?”.
Nisa berusaha
tidak menunjukkan rasa sukanya pada Bob, “aku pikir, mungkin suatu saat nanti
kau bisa mendapatkan wanita terbaik melebihin Alina”.
“Aku tidak
tahu. Aku belum pernah memikirkannya”.
“Kenapa kau
tidak mau memikirkannya?!” Nisa yang mulai marah, “kau pikir di dunia ini hanya
Alina!!”.
Bob bingung
melihat Nisa marah padanya, “kau kenapa? Kau ada masalah?” yang mengira Nisa
ada masalah di luar ceritanya.
“Tidak.
Maafkan aku”.
***
“Kakak mau
kemana?” tanya Ceri yang melihat Alina yang akan pergi.
“Aku akan
pulang untuk ambil perlengkapan sekolahmu. Gak mungkinkan kau memakai baju
bebas ke sekolah,” kata Alina.
“Tapi kak…”.
“Aku akan
hati-hati,” saat Alina membalikkan tubuhnya dia melihat Kay sudah berdiri di
pintu kamar, “kau sudah bangun? Aku sudah siapkan sarapan kalian, sebelum
jonging sebaiknya kau makan dulu,” saran Alina sambil berjalan keluar kamar.
Kay langsung
menahan lengan Alina, “biar aku suruh orang mengambilnya”.
Alina
melepaskan tangan Alina, “tidak usah, aku bisa sendiri. Aku… aku akan
hati-hati. Jangan terlalu menguatirkan aku”.
“Aku tidak
menguatirkanmu tapi aku penduli padamu!”.
Alina menatap
Kay, mereka berdua saling menatap satu sama lain. Kay mulai menujukkan
kesukaannya pada Alina namun Alina belum menyadarin itu semua. Tidak tahu kapan
munculnya, Kay mulai penduli dengan kehidupan Alina.
“Bisakah
kalian tidak bertengkar,” sambung Ceri yang tidak ingin suasana menjadi
memanas.
Alina
melangkah keluar kamar menghindarin Kay yang masih menatapnya. Terdenggar suara
ketukkan pintu dari luar. Alina membuka pintu. Alina sangat terkejut melihat
tiga pria berbadan besar di hadapannya, “si… siapa ka… lian?” tanya Alina
dengan gemetar.
Kay muncul di
belakang Alina, “kalian sudah datang,” menyambut ketiga pria itu, “masuklah!”.
Setelah masuk ketiga pria itu, Kay melihat Alina masih berdiri di depan pintu.
Kay tahu pastih Alina berpikir tiga pria itu sedang mencarinya selama ini,
“mereka yang akan menjaga Ceri,” katanya mencoba menenangkan perasaan Alina.
Alina
membalikkan tubuhnya, “dari mana kau tahu?”.
“Aku terbiasa
dengan memperlajarin ekpresi seseorang,” kata Kay seraya tersenyum lalu masuk
ke dalam.
Alina ikut
masuk ke dalam dilihatnya tiga pria itu sedang membantu Ceri menyiapkan diri
dari buku-bukunya dan memakaikan sepatu Ceri, “apaan ini?!” Alina mencoba
menghindarin perhatian yang berlebihan
di berikan Kay pada Ceri.
Kay melihat
ekpresi wajah Ceri yang langsung murung saat Alina mengatakan itu. Kay lagsung
memengang tangan Alina lalu menariknya masuk ke kamar.
Alina
melepaskan tangan dari genggaman Kay dengan kasarnya, “tolong jangan berikan
perhatian berlebihan pada kami!”.
“Bisakah kau
bicara setelah Ceri pergi!” marah Kay, “kau tidak melihat ekpresi yang
ditunjukkan Ceri”.
“Ekpresi-ekpresi,
ekpresi apa?! Aku tidak mengerti ekpresi yang kau maksud!!” Alina yang ikut
marah pada Kay.
“Aku pernah
mengatakan harga dirimu terlalu tinggi dan sekarang kau tunjukkan lagi,” lalu
keluar dari kamar.
Alina
menyadarkan tubuhnya ke dinding sambil memikirkan perkataan Kay padanya.
“Antar dia ke
sekolah,” perintah Kay pada ketiga pria itu.
“Baik tuan,”
kata salah satu dari mereka.
“Kakak
gimana?” tanya Ceri.
Kay melihat
Alina belum keluar dari kamar, “pergilah”.
Ceri
mengangguk, “aku pergi dulu,” lalu pergi bersama tiga pria itu ke sekolah
menggunakan mobil yang terpakir di depan apartemen.
Tak lama
kemudian Alina keluar dari kamar,
dilihatnya Kay sedang berdiri di balkon sambil memadangin pemadangan
kota dari atas. “Mungkin orang seperti aku hanya tinggal harga diri yang aku
punya yang lainnya tidak lagi. Semuanya hilang dengan berjalannya waktu”.
Kay
membalikkan tubuhnya, “maafkan aku. Mungkin jika aku jadi kau, aku baru tahu
bertapa kau mempertahankan harga dirimu itu,” yang mulai mengerti sikaf Alina.
Alina
tersenyum, “tapi kau sudah menghancurkannya perlahan demi perlahan. Dengan kau
memberikan semua ini pada kami, harga diriku mulai rapuh”.
Kay mendekatin
Alina lalu memengang bahu Alina dengan kedua tangannya, “siapapun tidak akan
bisa menghancurkan harga dirimu walaupun
itu aku. Jadilah dirimu sendiri, itu yang membuat aku tertarik padamu,” Kay
mulai memberikan penyataan bahwa dia mulai menyukain Alina.
Tiba-tiba Heru
muncul, “maaf… a..aku akan pergi,” Kata Heru yang merasa menganggu kemesraan
sahabatnya itu.
Kay melepaskan
tangannya dari bahu Alina, “tunggu!” lalu kembali berdiri di balkon.
Sedangkan
Alina masuk ke kamar, dia memikirkan perkataan Kay barusan, “Jadilah dirimu sendiri, itu yang membuat
aku tertarik padamu”. Alina tersenyum sendiri sambil membandingkan masa
lalunya, “tenyata semua pria itu sama,” yang tak mau terluka untuk kedua
kalinya.
Heru
mendekatin Kay, “kau menyukainnya?” goda Heru.
Kay hanya
tersenyum
Melihat
ekpresi Kay itu sudah satu jawaban untuk Heru, “dari kapan?”.
“Sebaiknya kau
beritahu tujuanmu dari pada kau bertanya masalah pribadiku”.
“Hahahaha…”
Heru tertawa, “sejak kapan kau menyimpan rahasia dariku?”.
“Mulai
sekarang”.
“Hahhh… kau
ini!” Heru tidak melihat Ceri, “mana adiknya?”.
“Sekolah”.
“Hahhh… wajar
aja kalian bisa berduaan”.
Kay hanya
tersenyum menanggapin perkataan Heru, “o iya, kenapa Ayah menyuruh orang untuk
menjagaku? Kau tahu sesuatu?”.
“Aku tidak
tahu apa-apa. Kau tidak tanya pada mereka?”.
“Aku pikir kau
tahu”.
“Ayahmu gak
bilang apa-apa denganku”.
Kay diam
sejenak untuk berpikir, “seperti apa ibu dan saudara tiriku?”.
“Kenapa kau
tiba-tiba bertanya tentang mereka? Kau mencurigain mereka?”.
“Tidak. Ini
terlihat aneh. Pastih terjadi sesuatu sampai Ayah menyuruh orang untuk
menjagaku”.
“Perluh aku
cari tahu?” Heru menawarin bantuan.
“Ya”.
“Ok, aku akan
cari tahu”.
***
“Tok…tok…tok…!!”
dari luar pintu ruangan Ayah di ketuk, “masuk!” Ayah langsung memerintahkan
untuk masuk. “Ada apa?” tanyanya pada asistennya.
“Nyonya sudah
kembali tuan,” ucap asisten memberikan laporan pada Ayah.
Ayah terkejut
mendenggarnya kabar bahwa ibu kandung Kay sudah kembali ke Indonesia, “sejak
kapan?”.
“Dua hari yang
lalu tuan”.
“Apa mereka
sudah bertemu?”.
“Aku rasa
belum tuan. Tapi… sepertinya nyonya ingin bertemu dengan tuan Kay”.
Ayah diam.
“Apa yang
harus aku lakukan tuan? Apa perluh aku buat nyonya untuk tidak bertemu dengan
tuan Kay?”.
“Itu tidak
perluh dilakukan, bagaimana pun juga mereka anak dan ibu. Aku tidak ada hak
untuk memisahkan mereka,” kata Ayah yang bijaksana.
***
“Jadi kapan
kau mulai bekerja? Bukannya kau kembali ke Indonesia untuk bekerja di perusaan
Ayahmu,” tanya Heru yang belum mendapatkan jawaban dari Kay sejak dia pulang ke
Indonesia.
“Sebelum aku
bekerja aku ingin bertemu dengan Ayah dulu”.
“Lalu kenapa
kau tidak lakukan?”.
“Ada hal-hal
yang membuatku tidak bisa bertemu dengan Ayah”.
“Itukan sudah
sangat lama,” heru yang mengira masalah yang maksud Kay masalah sewaktu dirinya
meninggalkan Indonsia, “Ayahmu pastih sudah melupakannya”.
“Bukan itu”.
“Lalu apa?”
tiba-tiba hpnya berbunyi. Heru melihat siapa yang menghubunginnya dari layar
hp.
“Kenapa tidak
kau angkat?” tanya Kay melihat Heru ragu mengangkat telpon.
“Ibu tirimu,”
Heru memberitahu siapa yang menghubunginnya.
Kay terlihat
bingung namun berusaha untuk tidak ditunjukkannya pada Heru.
Setelah Heru
pergi, Alina keluar dari kamar, “dia sudah pergi?” tanyanya.
“Ya,” jawab
Kay.
Alina melihat
Kay terlihat murung, “kau kenapa?” lalu berdiri bersama Kay di balkon.
“Aku iri
melihat kau dan Ceri”.
“Kenapa?”.
“Kalian begitu
saling menyayangin”.
“Awalnya aku
tidak menyukainnya”.
Kay menolek,
“kenapa?”.
“Ceri adalah
anak dari ayah tiriku yang hobinya main
judi dan mabuk-mabukkan. Jika aku melihat Ceri aku selalu teringat dengan apa
yang dilakukannya ayahnya pada kakakku,”
diam sejenak, “ketika ibu meninggal aku baru sadar, sekarang tinggal Ceri
saudaraku satu-satunya dan kami harus saling melindungin,” cerita Alina.
“Kau tidak
bernian membencinya”.
“Mungkin kau
benar,” kata Alina seraya tersenyum.
***
Setelah
mendapatkan telpon dari Ibu tiri Kay, Heru segera menemuinnya dirumah orang tua
Kay, “sore tan,” sapa Heru sopan.
“Kau sudah
datang,” melihat Heru, “duduklah”.
“Baiklah,”
lalu duduk di sofa, “kenapa tante ingin bertemu denganku?” tanya Heru yang
penasaran.
“Kau laki-laki
baik, pintar dan bekerja keras. Kenapa kau lebih memilih menjadi asisten Kay di
bandingkan bekerja bersama Pak Rudi di hotelnya. Aku denggar Pak Rudi sudah
menawarkan pekerjaan padamu”.
“Aku menyukain
pekerjaanku ini”.
“Hanya itu?”
Ibu yang tidak nyakin.
“Ya”.
Ibu tersenyum
sinis, “aku tidak nyakin dengan jawabanmu. Tapi itu tidak ada untungnya
denganku,” lalu menatap Heru, “kau pastih tahu dimana Kay tinggal?” tanya Ibu
yang lalu ke inti masalah kenapa dia memanggil Heru.
“Ya”.
“Dimana?”.
“Maaf. Aku
tidak bisa mengatakannya”.
“Apa Kay
menyuruhmu untuk tidak mengatakannya?”.
“Ya”.
“Tenyata kau
sangat setia dengan Kay. Apa kau tidak takut aku pecat?” Ibu mulai mengacam
Heru.
Namun Heru
tidak gentar, “sebelumnya aku mintak maaf, tapi tante tidak ada hak untuk
memecatku”.
“Apa katamu!!”
marah Ibu mendenggar kata-kata Heru.
“Selain Kay tidak
satu pun yang berhak memecatku, walaupun itu om Darmawan,” Heru mempertegas
perkataannya.
“Mentang-mentang
Kay melindunginmu kau mulai kurang ajar denganku!!”.
Heru berdiri,
“aku tidak pernah berlindung di belakang siapapun. Sebelumnya aku mintak maaf
bersikaf tidak sopan pada tante. Aku permisih tan,” ketika membalikkan
tubuhnya, Heru melihat Adriel berdiri di depan pintu menatap tajam kearahnya,
“selamat sore,” sapa Heru pada Adriel.
Adriel
mendekatin Heru, “katakan pada Kay, aku ingin bertemu dengannya,” Adriel
melihat keraguan di wajah Heru, “jika kau tidak bisa memberitahu dimana Kay
tinggal setidaknya kau bisa menyampaikan pesanku ini padanya khan?”.
“Iya, aku akan
sampaikan pesanmu”.
Adriel
tersenyum yang dibuat-buatnya.
***
Kay makan malam bersama Alina dan Ceri di meja
makan. Kay yang melihat Alina hanya masak nasi goreng untuk makan malam mereka
membuat Kay bosan yang setiap hari harus makan nasi goreng, “selain nasi goreng
apa tidak ada masakan lain yang kau bisa?” tanyan Kay.
“Selain kecap dan
cabe isi kulkasmu apa aja,” jawab Alina sambil makan.
Kay baru
menyadarin kalau kulkasnya tidak ada apa-apa yang bisa di masak, “ayo kita
belanja,” sambil berdiri.
“Apa,” Alina
dan Ceri terkejut, “apa gak kemalaman kita belanja,” ucap Alina.
“Kak Alina
benar, mana ada pasar buka malam-malam,” sambung Ceri.
“Apa selama
ini kau tidak mengenal adanya supermarket yang menjual kebutuhan dapur,” kata
Kay pada Ceri.
“Aku tahu,
tapi…”.
“Apa kau ingin
kita besok makan nasi goreng lagi?”.
Ceri
mengeleng.
“Kalian bicara
apa sihh…?” tanya Alina yang tidak mendenggar pembicaraan Kay dengan Ceri.
“Kak kita
belanja yuk,” ajak Ceri.
“Ceri!”.
“Ceri benar,
hari ini kita harus belanja. Bukannya katamu isi kulkasku tidak ada yang bisa
di masak dan juga peralatan dapurku juga tidak lengkap. Ayo kita belanja,”
semangat Kay.
Alina
tersenyum melihat sikaf Kay yang tidak jauh bedah dengan sikaf Ceri.
Mereka bertiga
pergi ke Moll namun langsung ke tempat menjual kebutuhan sehari-hari yang
berada di lantai satu. Kay mengambil kereta dorong untuk membawa barang
belanjaan mereka nantinya. Kay melihat Alina yang sejak tadi bingung mau
membeli ikan, ayam atau daging membuatnya muak, “bisakah kau cepat memilih?”.
Alina menolek,
“besok kau mau makan apa?”.
“Hahhh… jadi
dari tadi kau mikirkan itu?!”.
Alina
mengangguk.
“Kau ini!!”
Kay mengambil ikan, ayam dan daging dan
langsung dimasukkannya ke dalam keranjang.
“Apa yang kau
lakukan?! Apa kau habis makan sebanyak?!”.
“Apa kau tidak
pernah mengetahuin fungsi dari
kulkas?!”.
Alina tersenyum
malu, “maaf”.
“Ayo Ceri,”
Kay mengajak Ceri berjalan duluan dan meninggalkan keranjang pada Alina.
Alina
mengikutin mereka dari belakang. Kay dan Ceri bertugas memutuskan akan membeli apa sedangkan
Alina bertugas mendorong kereta
keranjang dan mengikutin kemana mereka pergi. Kay mengambil sayur-sayuran,
makanan kaleng, rempah-rempah, mi dan kebutuhan lainnya sedangkan Ceri
mengambil makanan ringan. Kali ini Alina membiarkan Kay memajakan Ceri
sesukanya.
Ketika di
tempat peralatan dapur Kay mengambil kuali di setiap ukuran, panci setiap
ukuran, sendok makan, gelas, piring, mangkok-mangkok, sapu, kain pel beserta
cairan pembersi lantai dan alat-alat lainnya yang dibutuhkan.
Alina yang
melihat kemahiran Kay dalam memilih membuatnya kagum, “kau terlihat pahir
memilih,” pujinya.
“Aku hidup
sendiri diharuskan untuk belajar mandiri”.
“Aku pikir kau
hanya anak manja yang hanya mengadalkan kekayaan orang tuamu”.
“Kadang aku
seperti itu”.
“Apa”.
“Memang salah
aku menikmatin kekayaan orang tuaku?”.
“Tidak”.
Kay mengambil
alih mendorong kereta, “itulah kehidupan,” lalu mendorong kereta tempat kasir
untuk membayar barang belanjaan mereka.
Ketika selesai
membayar barang belanjaan, mereka langsung memutuskan langsung pulang. Namun
ketika di pintu masuk Moll mereka bertemu dengan lintenir beserta anak buahnya.
Lintenir itu sangat senang melihat Alina dan Ceri, “tenyata Jakarta ini sangat
sempit,” ucap lintenir itu tertujuh pada Alina.
Alina sangat
ketakutan namun berusaha untuk kuat,
sedangkan Ceri bersembunyi di belakang Kay. “Jangan ganggu mereka, bawak
aja aku,” ucap Alina menyerahkan diri.
Kay yang
mendenggar yang ucapkan Alina seakan tidak percaya, “apa yang kau katakan!!”
sambil memengang tangan Alina untuk menahannya pergi.
“Mereka bisa
melukain kalian. Tolong bawak Ceri pergi,” mohon Alina pada Kay.
“Tidak. Aku
tidak akan membiarkan kau menyerahkan diri pada mereka!! Apa kau lupa! Kau
sudah berusaha melepaskan diri darinya mereka, sekarang malah kau menyerahkan diri!!” marah Kay.
“Kau tidak
tahu siapa mereka!!”.
“Diam!!” marah
lintenir itu yang melihat perdebatan mereka berdua, “ikut aku atau mereka
celaka!” acam lintenir itu pada Alina.
“Lepaskan
aku!” kata Alina pada Kay yang masih memengangnya.
Kay mulai
bicara pada lintenir itu, “aku suaminya”.
Kata-kata Kay
membuat Alina terkejut, “kau bicara apa!”.
“Hahahaha….”
Lintenir itu tertawa berserta anak buahnya, “tenyata kau sudah punya suami, ini
tambah menarik”.
“Aku tidak
akan membiarkan kau membawa istriku!” kata Kay pada lintenir itu.
“Kau
mengacamku?!”.
“Di Moll ini
sekitar 10 sampai 15 penjaga dan ketika terjadi sesuatu dengan cepatnya salah
satu dari mereka akan menelpon polisi,” lalu tersenyum sinis, “dan mungkin kita
harus bertemu lagi di pengadilan,” yang mulai menakut-nakutin para penjahat
itu.
Lintenir itu
mulai ketakutan dengan acaman Kay, “siapa sebenarnya kau?!”.
Kay memberikan
kartu nama yang sebelumnya diambil dari
dompetnya.
Di kartu nama
itu tertulis nama Kay Dwight Frank seorang pengacara di salah satu perusahaan
pengacara di Amerika, “kau pengacara”.
“Walaupun aku
pengacara di Amerika, aku punya beberapa teman pengacara, polisi dan hakim di
Indonesia. Dengan satu ketukkan aku
pastihkan kalian akan lama di penjara,” acam Kay dengan nada halus.
“Baik, kali
ini kalian selamat. Tapi ingat, ini tidak akan tahan lama. Ayo pergi,” lalu
lintenir itu pergi bersama anak buahnya meninggalkan Moll.
Kay tersenyum
lebar melihat ketakutan yang di tujukkan para penjahat itu, “aku pikir mereka
tidak akan takut tenyata sebalikkannya,” lalu menolek kearah Alina hanya yang
masih menatapnya, “kenapa kau melihatku seperti itu? apa ada sesuatu di
wajahku?”.
Alina
melepaskan tangannya, “sebaiknya kita pulang,” sambil melangkah keluar bersama
Ceri.
Kay tahu
mengapa Alina bersikaf dingin padanya.
***
Bersambung
Tidak ada komentar :
Posting Komentar