Ayah segaja datang
pagi-pagi ke pemakaman umum untuk melihat siapa yang meletakkan bunga di
kuburan Budi. Ayah melihat seorang pria yang memakai kemeja berwarna merah
bergaris-garis warna hitam dan celana jeas biru. “kau siapa?” tanya Ayah
penasaran menunggu hari ini tiba.
Pria itu menolek ke
belakang sambil berdiri, “lama tidak bertemu paman?” kata Paris yang tahu Ayah
akan datang yang sebelumnya sudah diberitahu penjaga pemakaman padanya.
“Luky!” kangen Ayah.
Paris tersenyum.
Mereka mencari cave tak
jauh dari pemakaman untuk mengobrol. “bagaimana keadaan ibumu?” tanya Ayah.
“Ibu suda meninggal 15
tahun yang lalu karna kecelakaan,” cerita Paris.
“Paman sangat prihatin
padamu. Kau besar tanpa orang tua”.
“Tidak juga. Aku di adopsi
sebuah keluarga di Amerka. Dan namaku bukan Luky lagi, Namaku sekarang Paris
Eriko Prengky”.
“Kau mengganti namamu?”.
“Aku menggatikan anak
mereka yang sudah meninggal”.
“Melihat keadaanmu
sekarang, mereka pastih sangat menjagamu”.
Paris tersenyum.
“Apa pekerjaanmu
sekarang?”.
“Aku pengacara dan dosen
sebuah kampus. kampus yang sama Klara mengajar”.
“Kau dan Klara sudah
bertemu?” kanget Ayah, “apa Klara tahu kau Luky?”.
“Tidak. Aku rasa dia belum
tahu”.
Ayah legah mendenggarnya.
“Apa tujuanmu kembali ke Indonesia? Apa kau mau menagi janji Paman akan
menikahkan kau dengan Klara?”.
Paris mengingat kata-kata
Klara padanya, Kau jangan menyukain aku
lagi ya… aku sudah menyukain seorang pria dan saat memilih jas semalam Tidaklah. Ini untuk kak Rian. “Aku ke Indonesia hanya ingin melihat
pemakaman Ayahku saja,” kata Paris menahan perasaannya. “Aku tidak mengharapkan
lagi perjodohan itu, Klara masa laluku, dan tak perluh di ingat lagi”.
Ayah tersenyum, “Paman
legah mendenggarnya. Awalnya paman binggung harus memilih siapa antara kau dan
Rian. Paman juga sudah telanjur janji dengan keluarga angkat Esa untuk
menjodohkan Riam dengan Klara,” suasana terhening sejenak, “Paman harap Klara
jangan sampai tahu kau sebenarnya Luky dan jauhin Klara. Paman takut nantinya
Klara akan tahu siapa kau sebenarnya,” mohon Ayah.
“Iya. Aku akan
menjauhinnya,” jawab Klara, apa kau tahu
Klara sangat bearti di hatiku, kata Paris dalam hatinya.
***
Sudah lewat tiga jam dari
jam 11, Klara menunggu di depan pagar rumah. Setiap telepon tidak diangkat dan
setiap sms tidak satupun dibalas, “kemana sih dia!!” kesal; Klara bercampur
kuatir yang biasanya Paris tidak pernah seperti ini. Setiap janji selalu Paris
tepatin, sms selalu dibalasnya dan telepon pastih langsung diangkatnya. Tapi hari
ini malah sebaliknya.
“Belum datang juga?” tanya
Bunda.
“Belum”.
“Coba kau kerumahnya
saja”.
“Iya juga ya. aku pergi
dulu Bun,” lalu mengambil mobil di bagasi, langsung pergi ke ampartemen Paris.
30 menit kemudian, Klara
sudah sampai di ampartemen Paris. Langsung diketuknya pintu, “tok…tok…tok…!!”
tapi pintu tak terbuka juga, “paris…!!!paris…!!” panggil Klara namun tak ada
jawaban dari dalam. Klara melihat satpam apartemen yang kebetulan lewat, “pak!”
panggil Klara.
Satpam mendekatin Klara,
“ada apa bu?”.
“Mana pemilik ampartemen
ini?” tanya Klara menujuk ampartemen Paris.
“Maksud ibu pengacara
Paris? Tadi pagi sudah pergi bu”.
“Pergi. Pergi kemana?”
tanya Klara lagi.
“Saya tidak tahu”.
“Apa dia kekantornya?”.
“Tidak mungkin bu. Setiap
hari minggu pengacara Paris tidak pernah kekantor, tapi memang selalu pergi,
saya kurang tahu pergi kemana, tapi biasanya sudah pulang jam segini”.
“Trimah kasih pak,” kata
Klara pada satpam lalu meninggalkannya sendiri di depan pintu, “apa dia
langsung ke puncak,” berpikir sejenak, “gak mungkin, kalau ke puncak pastih dia
sudah menjemputku. Kau kemana pangeran,” Klara mulai kuatir.
***
Jenni menemanin Paris
minum minuman keras Cave Citra. “kau sudah banyak minum?” kata Jenni yang mulai
kuatir dengan keadaan Paris.
“Aku tidak apa-apa,” kata
Paris lalu meminum segelas lagi minuman keras yang sebelumnya dituangkan.
“Aku tidak suka melihat
kau seperti ini”.
“Jangan cerewet”.
“Sekarang maumu apa?”
tanya Jenni.
“Setelah kasus Oki, aku
mau kembali ke Amerika,” jawab Paris yang sudah setenggah sadar,
“Bagaimana dengan Klara?”.
“Dia akan hidup bahagia
dengan Rian”.
“Tapi orang tua angkatmu
akan datang ke Indonesia”.
“Siapkan saja tempat
tinggal mereka di hotel, setelah mereka pulang.ke Amerika jual hotel itu”.
“Kau membeli hotel itu
karna kau ingin bertemu dengan Klara dan…”.
Paris berdiri, “aku mau
pulang”.
“Aku antar”.
“Tidak usah. Aku bisa
sendiri”.
“Jangan bodoh!” lalu
membantu Paris berjalan yang sudah gotyang-goyang berjalan.
Sesampai didepan
ampartemen. Paris langsung keluar dari mobil Jenni, “kau pulanglah, “sambil
keluar dari mobil, “trimah kasih”.
“Ya sudah aku pulang
dulu,” kata Jenni lalu pergi.
Paris melangkah masuk ke
dalam ampartemen yang berlatai 10 itu, dan ampartemennya berlantai 7. ketika
mau masuk kedalam lip, Paris melihat Klara.
“Paris,” kanget Klara
melihat Paris yang setengah sadar, “kau minum?” yang tercium bauk minuman di
mulut Paris.
“Jngan pendulikan aku!”
kata Paris. Paris hampir terjatuh. Spontan Klara memengang lenggan Paris,
langsung paris melepaskan tangan Klara dari lenggatnya, “kau pulanglah!”.
“Kau kenapa sih?!!” marah
Klara melihat sikap kasar Paris padanya. “kalau hanya gara-gara jas itu kau
marah padaku. Aku akan beli barang lain!” kata Klara yang menduga Paris marah
padanya karna jas itu.
Paris menatap Klara, “kau
pernah mengatakan suatu hari nanti jika kau mintak bantuan pastih aku bantu”.
“Iya. Aku ingat janji
itu”.
“Jauhin aku”.
“Apa!” kanget Klara.
“Menjauhlah dariku”. Pintu
lip terbuka, Paris langsung masuk
kedalam lip.
Klara menanggis tidak
percaya apa yang didenggarnya, “dasar cowok aneh,” lalu pergi dari ampartemen.
Didalam apartemennya.
Paris langsung membaringkan tubuhnya diatas kasur. Ditutupnya matanya sambil memengang kalung berliontin kelici,
dengan mengingat saat bersama Klara.
Saat di Bandung, Klara memukul dirinya yang mengira dirinya pencuri tasnya
karna jasnya sama dengan pencuri tasnya. Saat dibandara, saat bersama Kristin
dan saat berada di moll dan saat-saat yang lainnya yang selalu mereka berdua.
Kenangan itu tidak bisa dilupakan Paris dalam sekejap, Paris tersenyum sendiri, dan tertidur dengan
kenangan di benaknya.
***
Klara teringat kata kata
Paris padanya, Menjauhlah dariku,
“dia pikir dia itu siapa?!” marah Klara sambil melempar boneka beruang yang
diberika Paris padanya. ditatapnya boneka kelinci yang juga didapatnya dari
Paris, “Entah kau pangeran atau pengacara atau apapun! Jangan berani-beraninya
kau marah padaku!!” kata Klara marah pada boneka kelinci menggambarkan boneka
kelinci adalah Paris. Klara membaringkan tubuhnya diatas kasur, “kenapa juga
aku harus memikirkannya, nak marah atau tidak aku tidak penduli,” lalu menutup
matanya, baru beberapa detik Klara menutup matanya langsung dibukaknya lagi,
bangkit dari tempat tidur, langsung berteriak, “aahhh….!!! Kau buat aku marah!!
Dasar cowok aneh!1” gelisah Klara.
***
Keluar dari rumah Erika
dikangetkan dengan Rian yang menjemputnya lagi, “Rian…” senang Erika melihat
Rian dihadapannya.
“Sudah lama aku tidak
menjemputmu lagi,” kata Rian.
Erika tersenyum dengan mata
berkaca-kaca, “kau tidak marah lagi”.
“Maafkan aku. Kau temanku
yang baik, tak pantas aku melakukan kau seperti itu”.
Walaupun hanya sebagai
teman itu sudah cukup bagi Erika, baginya
teman melebihin apapun daripada tidak sama sekali.
***
Klara masuk dalam kelas,
“kita ujian hari ini,” lalu membagikan kertas disetiap meja, “waktu kalian
hanya 1 jam teritung dari sekarang,” kata Klara lalu duduk di meja dosen.
Ambilnya hp dari tas gandeng berwarna coklat yang dibawaknya dari rumah. Klara
mencoba menghubungin no Paris lagi, namun sama saja seperti yang kemarin tidak
diangkatnya. Beberapa kali Klara mencoba
hasilnya tetap sama, “kau pikir siapa
harus marah ke aku!!,” marah Klara sambil mencoret kertas ujian,
“seenaknya marah tanpa sebab!!” kesal Klara.
“Ibu tidak apa-apa?” tanya
Sarah yang dudu dibangku paling depan.
Klara melihat kedepan,
semua mahasiswa melihan heran kearahnya. Mya tersenyum, “kalian lanjutkan,”
malu Klara.
***
“Kau sudah siap?” tanya
Jenni pada Paris yang akan masuk ke pengadilan.
“Pertanyaanmu aneh sekali.
Ini sidang bukan pertama bagiku,” jawab Paris.
“Aku tahu itu. Tapi kau
kelihatan aneh semalam”.
Paris tersenyum.
“Kau tidak pernah minum
semabuk itu. Sebenarnya ada masalah apa?” tanya Jenni yang belum tahu kejadian
yang sebenarnya.
Paris mencari perkataan
lain, “Sidang akan dimulai, ayo masuk,” sambil berjalan.
“Hatimu pastih sakit,”
ucap Jenni.
“Aku sangat tersiksa
dengan perasaan ini, sangat…” kata Paris dengan nada suara kecil sambil
berjalan berharap Jenni tidak mendenggar perkataannya yang berjalan duluan dari
Jenni.
***
“Paris ke pengadilan?”
kata Klara yang menelpon kantor Paris cara untuk bicara dengan Paris, “baiklah.
Aku langsung ke pengadilan saja, trimah kasih,” lalu mematikan hp.
“Ibu mau kemana?” tanya
Benni mendenggar perkataan Klara yang tadi menelpon.
“Aku mau ke pengadilan,”
jawab Klara.
“Semangat bu!” sambung
Joni.
“Untuk apa?” binggung
Klara mendenggar perkataan Joni.
“Semangat memperjuangkan
cinta ibu,” kata Joni lagi.
Klara tersenyum malu,
“apaan si Pak Joni,” malu Klara, “ Aku tidak mungkin mencintain Paris. Kami
hanya teman”.
“Ya… pastih ibu harus
semangat”.
“Iya. Trimah kasih,” Klara
keluar dari ruangan.
“Nak dibantah juga,
kedekatan mereka melebihin dari teman,” kata Benni.
“Jadian juga gak ada yang
marah khan…” kata Joni.
“Ibu Erika hanya bimbang
dengan perasaannya sekarang,” kata Erika
menjawab pertanyaan Benni dan Honi.
“Wahhh… sepertinya Ibu
Erika tahu sekali perasaan Ibu Klara sekarang. Tapi ngomong-ngomong kapan
kalian jadian?” goda Benni melihat Rian dan Erika.
“Pak Benni ngomong apa
sih!!” malu Erika sambil berdiri lalu keluar dari ruangan.
“Mau ditutupin juga masih
nampak kok,” kata Benni asal bicara.
“Maksud Pak Benni apa?!”
tanya Rian yang dari tadi diam.
“Masa sih Pak Rian tak
tahu perasaan Ibu Erika pada Bapak,” jawab pak Benni.
“Maksud bapak?”.
***
Klara pergi kepengadilan,
berharap bertemu langsung dengan Paris. Baru mau masuk kedalam pengadilan
seseorang memanggilnya, “Klara…!!”. Mya menolek kebelakang, wajah perempuan
yang memanggilnya itu tidak asing dilihatnya. “aku Dewi, kita teman satu SMA,”
penjelasan Dewii.
“Ooohhh…. Dewi,” senang
Klara bertemu kembali teman SMA yang sudah tidak bertemu kurang lebih 8 tahun
kecuali dengan Eka yang tiap sat selalu bersamanya. “kau sedang apa disini?”
tanya Klara.
“Ini sidangku,” jawab Dewi
dengan wajah sedih.
“Apa!,” kanget Klara.
Sidang dimulai. Klara
duduk di bangku paling belakang menunggu selesai sidang, langsung menemuin
Paris, yang dilihatnya sedang berada didepan sidang. “dia kelihatan tampan,”
puji Klara yang pertama kali melihat Paris beraksi dalam sidang.
“Apa ada nyakit anak di
kadungan ada itu anak Oki?” tanya Paris pada Dewi yang duduk di depan ruang
sidang..
“Keberatan ketua,
pengacara terlalu menekat korban!”.
“Keberatan di tolak,”
jawab ketua sidang.
“Saya bertanya lagi nona,
apa benar anak itu anak Oki?”.
“Apa maksud pertanyaan
pengacara!” marah Dewi.
“Aku hanya butuh jawaban
ya atau tidak”.
“Ini anak Oki,” sambil
melihat Oki yang duduk di sebelah Jenni.
“Kapan ada melakukan
hubungan itu?”.
“Keberatan ketua.”
“Keberatan di terimah”.
“Klien saya mengatakan,
awal bulan januari menyentuh ada, kalau di hitung-hitung sampai bulan sekarang,
seharusnya ada sudah melahirkan. Anehnya kenapa usia kadungan ada 3 bulan”.
“Dia bohong!! “ kata Dewi
yang hamper pingsat.
“Ketua. Klien saya
membutuhkan istirahat,” kata pengacara Dewi.
“Karna melihat keadaan
Dewi yang sedang kurang sehat, pengadilan ini di tunda samapi tgl 25 oktoberr
2011,” lalu mengetuk palu. sidang pun selesai.
Klara mencari Paris yang sejak keluar dari
ruangan pengadilan tidak terlihat lagi.
“Kau sedang apa disini?”
tanya Paris muncul di belakang Klara, yang sebelumnya tahu Klara menunggunya
dari tadi, namun karna sidang sedang berlangsung Paris terpaksa pura-pura tidak
mengenal Klara..
Maya menolek ke belakang,
“lu kemana saja?”.
Paris menatap Klara.
“sedang apa kau di sini?”.
“Kau kenapa menjadi
pengacara orang yang salah?” tanya Klara lupa dengan tujuannya ke pengadilan.
“Itu urusanku!” jawab
Paris, “memang kau tahu dari mana klienku salah”.
“Ya… jika wanita diperkosa
gak mungkin bohong,” pendapat Klara.
“Dewi temanmu?”.
“Iya. Teman SMA”.
“Aku rasa kau belum
mengenalnya,” kata Paris lalu menurunin anak tangga.
Klara memengang tanga
Paris, “tunggu!”.
“Ada apa lagi?!”.
Baru menurunin satu anak
tangga, keseimbangan Klara tidak bisa
ditahannya, karna kakinya mengijak anak tangga terlalu pinggir, “ahhh…”
Paris spontan menangkap
Klara yang akan jatuh, “hati-hati,”
kuatir Paris.
Klara berdiri, “maaf…”
kata Klara, dilihatnya tangan mereka saling berpengangan, “ini pertama kali
kita berpengangan”.
Paris melepaskan
tangannya, “kau pulanglah,” kata Paris berjalan duluan.
“Aku tidak bawak mobil,”
alasan Klara yang segaja tidak membawa mobil.
“Kau kan bisa naik taxi,”
jawa Paris yang terus berjalan menuju pakiran.
“Hari ini sifatmu dingin
padaku, besok seperti apa?” tanya Klara pada dirinya sendiri, melihat Paris
pergi menaikkin mobil. kalara berusaha tenang, dituruninnya anak tangga satu
persatu, setelah itu pergi dari pengadilan dengan menggunakan taxi yang lewat
di depan pengadilan.
***
“Sampai kapan kau seperti
ini?” tanya Jenni sambil mengambil cangkir berisi kopi yang diberikan Paris.
Paris duduk disofa, hnaya
diam tidak menjawab pertanyaan Klra.
Jenni meletakkan cangkir
di atas meja, “sampai kapan kau mempermaikan perasaanmu?”.
“Aku tidak mau
membahasnya,” kata Paris.
“Kenapa?!”.
“Karna aku ingin melupakan
Klara!!” jawab Paris dengan nada suara tinggi.
Jenni berdiri, “kau
bohong! Jika kau ingin melupakan Klara, pastih dari dulu kau lakukan! Aku pulang,”
Jenni langsung keluar dari apartemen.
Paris mengenggap cangkir
dengan sekuat tenaga. Cangkir itu pecah karna terlalu tertekat oleh tanggan
Paris. Paris melihat ditelapak kedua tangganya penuh dengan darah. Dilihatnya
darah yang mengalir jatuh kelantai. “kenapa hatiku lebih sakit dari luka ini,”
yang membiarkan luka mengeluarkan darah.
***
Jenni menyambut Paris
diruang kerjanya, dilihatnya kedua tanganya terbalut perban, “kenapa
tanganmu?”.
“Semalam kena pecahan
gelas,” jawab Paris duduk di meja kerjanya, “ada pekembangan kasus Oki?”.
“Iya,” lalu meletakkan
beberapa berkas di atas meja, “ini dari kantor polisi. Ternyata Dewi sudah
beberapa kali masuk kekantor polisi dan saksi mau muncul di pengadilan besok”.
“Bagus. Kita pastih menang,”
nyakit Paris.
“Kau selalu berusaha
memenangkan setiap kasus, tapi kenapa kau tidaj berusaha memenangkan
perasaanmu?” kata Jenni.
Paris diam menatap Jenni.
***
“Klara…!” panggil Dewi
yang menunggu Klara dideapan kampus.
Klara mendekatin Dewi,
“sedang apa disini? Dan kau tahu dari mana aku kerja disini?” tanya balik Klara.
“Soal aku tahu dari mana
kau bekerja itu tidak penting. Aku mau mintak tolong?”.
Klara mengajak Dewi ke
cave tak jauh dari kampus. “Ada apa?”.
“Kemarin. Waktu di
pengadilan aku melihat kau bersama pengacara Paris,” kata Dewi, “kalian kenal
dimana?”.
Maya tersenyum, “kami
tidak segaja bertemu,” jawab Klara.
“Waahhh… sudah tampan,
pengaca pula,” puji Dewi.
Klara tersenyum,
“Bagaimana kadunganmu?” tanyanya.
“Baik,” diam sejenak, “
gua,” ragu-ragu, “gua kesini mau mintak tolong ke kau”.
“Tolong apa?”
“Aku ingin kau bujuk
pengacara untuk membantuku. Aku ingin Oki di hukum seberat-beratnya,” air mata
jatuh di pipinya.
***
“Tok…tok….tok…”pintu
ruangan kerja Paris diketuk dari luar, “masuk,” perintah Paris yang duduk dimeja kerjanya sambil membaca berkas
yang diberikan Jenni padanya tado pagi.
Pintu terbuka, “Pak ada
Ibu Klara?” kata sekretaris.
“Suruh dia masuk,”
perintah Paris.
Klara masuk keruangan,
“maafkan aku menganggu. Karna aku telepon pun tak akan kau angkat juga, jadi
aku memutuskan kekantormu,” Klara melihat perban terbalut di kedua tangan
Paris, “kenapa tanganmu?” kuatir Klara.
“Tidak usah pendulikan
tanganku! Apa tujuanmu?!”.
“Aku mintak bantuan
denganmu. Anggap saja ini bantuan terakhir”.
“Apa itu?”.
“Tolong bantu Dewi di
pengadilan besok”.
“Tidak”.
“Kenapa?”.
Paris menatap Klara,
“karna Oki klienku!”.
“Tapikan Oki bersalah!”.
“Kau tahu dari mana?! Dari
Dewi?! Kau memang naïf, tidak bisa melihat mana yang benar dan salah,” kata
Paris sambil berdiri.
“Apa maksudmu?!”.
“Aku punya saksi dan bukti
Dewi bersalah”.
“Saksi?” Klara teringat
dengan kata-kata Rian padanya, aku
denggar dia akan melakukan apa pun untuk memenangkan kasus walaupun itu
membayar saksi, “apa kau membayar saksi untuk memenangkan kasusmu?”.
“Jika itu perluh”.
Klara kanget.
“Aku akan melakukan
apapun. Itulah caraku untuk hidup!”.
“Apakah harus itu kau
lakukan untuk memenangkan sebuah kasus”.
Paris berdiri di depan
jendela, melihat permadangan luar kantor dari balik kaca, “kadang saksi jika
kita mintak muncul ke pengadilan mereka tidak akan mau, namun jika kita
menurutin apa yang mereka mintak, barulah mereka mau muncul di pengadilan,”
diam sejenak, “bukti yang aku dapat bukan dari saksi saja, tapi ada bukti-bukti
lain. Maafkan aku, aku tidak bisa bantu”.
Klara murung keluar dari
kantor Paris. Bukan karna Paris tidak mau menolongnya, namun sifat dingin Paris
padanya. “samapi kapan kau bersifat dingin padaku,” kata Klara menatap pintu
masuk kantor.
***
Sedang asik membersihkan wajah di depan kaca, tiba-tiba
hpnya berbunyi, “halo…” Klara menjawab.
“Halo, ini aku, Dewi”.
“Ada apa Dew?” tanya
Klara.
“Aku mau nanya soal tadi
siang. Apa kau berhasil membujuk pengacara itu?” tanya Dewi dari tempat
kosannya.
“Maafin aku, aku gak
berhasil”.
Dewi menanggis, “ekhmmm…”.
“Kau menanggis?”.
“Jika Oki dibebaskan. Aku
takut nantinya ada korban-korban berikutnya,” sedih Dewi.
***
Jam sudah pukul 9.00 WIB, semua berkumpul di ruang sidang. Baik pengacara
korban maupun pengacara tersangka sudah menyiapkan bahan untuk persidangan yang
akan mereka tunjukkan dipersidangan. Klara segaja datang ke pengadilan untuk
melihat Paris beraksi di depan sidang.
Setelah ketua pengetuk
palu, persidangan antara Dewi dan Oki
dimulai. Pengacara Dewi bertanya
beberapa pertanyaan pada Ok yang menyudutkannya, namun itu semua tidak
membuat Paris menyerah dengan melihat kliennya diserang dengan pertanyaan yang diulang-ulang dari
persidangan kemarin.. Setelah selesai pengacara Dewi bertanya pada Oki.
Sekarang giliran Paris
menujukkan bukti bahwa Dewi bersalah dalam kasus ini. Dewi memfikna Oki karna
Oki menolak menikahinnya. “Saya mempunyai bukti Dewi beberapa kali masuk
penjara.”
“keberatan ketua. Itu
semua tidak terkait dengan kasus ini,”
kata pengacara Dewi.
“Keberatan ditolak,” kata
ketua.
Paris memberika 5 lembar kertas
pada ketua sidang, “itu semua bukti dari
kantor polisi. 3 tahun yang lalu tertangkap menjual narkoba, lalu dihukum 2
tahun penjara, 5 kali ditangkap karna mabuk di tengah jalan dan 11 kali di
tangkap satpol pp karna menjual diri di pinggir jalan. Dan 3 minggu yang lalu
ada di tangkap satpol pp lagi khan…”
Dewi terkejut.
“tersangka mengakuin
pernah menyentuh Dewi, tapi itu sekitar akhir bulan januari. Kalau di
hitung-hitung sampai bulan sekarang, seharusnya ada sudah melahirkan, tapi…
kenapa usia kehamilan ada baru 4 bulan,” sambil menatap Dewi yang duduk
disebelah pengacaranya.
“Dia bohong!” bantah Dewi
sambil menanggis.
“Saya punya 4 saksi yang
menyatakan klien saya ada di Riau pada bulan mei sampai bulan agustus. keempat
saksi ini diantaranya teman satu kerja dan bos dari perusahaan di Riau tempat
Oki bekerja selama bulan mei-agustus,” kata Paris ingin membuktikan kliennya tidak bersalah
dalam kasus ini dan hanya sebagai korban
atas apa yang dilakukan Dewi.
“Diterima,” kata ketua
sidang yang ingin lihat saksi yang akan di tunjukkan Paris.
Tak lama kemudia satu
persatu saksi di munculkan di depan
sidang, semua pernyataan saksi sangat menyudutkan Dewi. Dewi terlihat pucat,
mendenggar satu persatu pernyataan saksi yang ditunjukkan Paris di persidangan.
Kalaupun keputusan bukan hari ini di beritahu, tapi dari semua bukti yang
ditunjukkan Paris, itu bisa membuktikan dirinya bersalah dalam kasus ini. Malah
Oki bisa menuntut balik dengan kasus pencemaran nama baik.
“Sidang akan dilanjutkan
minggu depan, pembacaan hasil sidang,” kata ketua siding lalu mengetuk palu.
***
“Mana Klara?” tanya Rian
tidak melihat Klara dari tadi pagi.
“Mungkin tidak masuk pak,”
jawab Joni.
“Sepertinya Ibu Klara lagi
ada masalah,” dugaan Erika.
***
Dewi mendekatin Klara yang
menunggu Paris didepan mobil yang sedang mengobrol dengan Benny sebelum dibawak
polisi. “Kau jahat,” marah Dewi yang masih menanggis.
“Maafkan aku Dewi. Tapi
itu benar khan…”
Dewi tersenyum, “aku bunuh kau,” lalu pergi.
Klara kanget mendenggar
kata-kata Dewi.
“Ada apa? apa dia katakan?”
tanya Paris yang langsung bergegas mendekatin Klara yang bersama Dewi.
“Tidak apa-apa,” jawab
Maya. Klara menatap Paris, “kau menguatirkan aku?” tanya Klata.
Mereka pergi ke Cave
Citra. Paris memesan makanan dan minuman pada pelayan. Tak lama kemudian
pesanan tersaji di atas meja. “Ayo makan. Jangan menatapku seperti itu?” kata
Paris pada Klara yang menatapnya dari tadi.
“Empat hari ini kau
kelihatan beruba. Yang aku lihat kau bukan Pangeran Paris yang aku kenal,” kata
Klara yang menatap Paris.
Paris tidak menunjukkan
kesedihannya, “manusia bisa beruba kapanpun, itupun aku,” ucap Paris.
“Kau benar. Tapi… aku
tidak suka perubahanmu ini. Dulu kau sering tersenyum, tapi sekarang aku tidak
melihatnya lagi”.
Paris Klara dengan mata
berkaca-kaca, “kau pikir kau siapa?! Kau bukan kekasihku, pacarku atau istriku
yang harus setiap hari tersenyum padamu!” kasar Paris.
Air mata jatuh dipipi
Klara, langsung dihapusnya, “maaf. Jika kata-kataku membuat kau tersinggung,”
berusaha untuk tersenyum, “o… bagiamana tanganmu?” melihat tangan Paris masuh
terbalut dengan perban.
“Bukannya aku sudah
menyuruhmu untuk menjauhinku!!”.
“Kenapa kau tiba-tiba
menyuruhku untuk menjauhinmu!? Apa karna jas itu,” dugaan Klara sambil
menanggis, “aku juga gak jadi belikan jas untuk kak Rian. Kalaupun itu masih
membuatmu marah, kita bisa beli barang lain. Bukankah itu yang kau mau!”.
***
Rian mengantar Erika
pulang. Sebelum turun Erika berkata pada Rian, “besok coba kau bicara dengan
Klara. Sepertinya Ibu Klara lagi banyak masalah”.
“Aku pikir juga itu,” diam
sejenak, “tapi… kenapa bukan kau saja”.
“Aku?”.
“Iya. Biasanya jika
perempuan bicara dengan sesama perempuan
akan lebih leluasa dari pada bicara dengan pria”.
“Baiklah. Aku akan bicara
dengan Klara besok. Selamat malam,” sambil turun dari mobil. setelah Erika
turun Rian kembali menjalankan mobil menuju rumahnya yang berada satu komlek
dengan rumah Erika.
***
Paris mengantar Klara
pulang. Setelah Klara turun dari mobil, Paris langsung menjalankan mobil menuju
apartemennya yang biasanya Paris selalu menunggu Klara masuk dulu baru dirinya
pergi, tapi kali ini tidak dilakukannya lagi. Klara lesu masuk kedalam rumah.
“Kau sudah pulang sayang,”
kata Bunda menyabut kedatangan Klara didepan pintu.
Klara tidak menjawab, dia
terus melangkah masuk kekamarnya.
“Ada apa dengan Klara?”
tnaya Ayah, “apa dia sakit?”.
“Mungkin ada masalah di
kampus,” dugaan Bunda.
***
Paris sampai
diapartemennya, langsung masuk kamar. Dikatuhknnya tubuhnya diatas kasur,
membiarkan lampu kamar menyalah. Sama yang dilakukan Klara menjatuhkan tubuhnya
diatas kasur. Dilihatnya langit-langit kamarnya yang masih terang karna lampu.
Mereka saling memikirkan satu sama lain. Tersenyum jika kenangan mereka
menyenangkan. Menanggis jika kenangan itu menyakitkan, “maafkan aku…” kata
Klara dan Paris.
***
Pukul 11 siang Klara baru
tiba di kampus. dilihatnya Paris melewatin dirinya, “sekarang dia tak mau
menyapaku,” lalu kembali berjalan menuju ruangan. Didalam ruangan semua melihat
kearah Klara, tapi Klara tidak menyadarinnya, dia langsung duduk dimeja
kerjanya.
“Ada tidak apa-apa?” tanya
Erika pada Klara yang murung.
Klara hanya tersenyum.
“bisa bicara berdua”.
“Iya”.
Mereka duduk ditaman.
Erika melihat mata Klara bengkak, “sepertinya Ibu Klara menanggis sampai pagi”.
Klara memengang wajahnya,
“nampaknya”.
“Ibu ada masalah? Mau
cerita?” Erika memadang Klara.
“Aku tidak apa-apa,” jawab
Klara.
“Kata orang jika kita ada
masalah, enaknya kita cerita pada orang lain, setidaknya hati ini terasa
legah”.
Klara tersenyum, namun air
mata jatuh membasahin pipinya, “a…aku…” Klara langsung memeluk Erika, “aku tidak tahu apa salahku
padany. Aku tak mau diperlakukan seperti ini,” menanggis dipelukkan Erika.
“Maksud ibu siapa?”.
Klara melepaskan
pelukannya, “dia pikir siapa dia marah-marah ke aku!! Dasar pengacara bodoh!!”
kesal Klara.
Erika legah Klara
menyebutkan pengacara bukan Rian. “Pastih yang dimaksud pengacar bodoh itu Pak
Paris khan?”.
“Iya,” diam sejenak,
“Paris marah hanya karna aku membelikan jas yang sama untuk kak Rian dan
dirinya! Padahal sudah aku jelaskan, aku tidak jadi membelikan jas ke kak Rian
tapi tetap saja dia marah padaku! Seperti anak kecil marah hanya karna itu,”
cerita Klara.
“Aku rasa bukan karna jas
Pak Paris marah,” dugaan Erika.
“Maksud Ibu Erika”.
“Gak masuk akal saja hanya
marah karna jas”.
“Terakhir Paris marah
karna itu. Malah dia meninggalkan aku di
toko”.
“Selanjutnya apa Pak Paris
masih marah?”.
“Tidak,” kata Klara
mengingat saat-saat setelah keluar dari toko dirinya melihat Paris di tempat
permainan. “Paris mengambil 3 boneka di toy box, 2 boneka beruang dan 1 boneka
kelinci,” cerita Klara.
“Kalau gitu bukan karna
jas”.
“Lalu?”.
“Aku tidak tahu. Yang
pastih bukan karna jas,” Erika menatap Klara, “Ibu Klara masih menyukain Rian?”
tanya Erika ingin tahu perasaan Klara pada Rian.
“Bukankah kata Ibu, suka
dan menyukain seseorang itu sangat berbeda. Mungkin saat ini aku suka pada kak
Rian karna kak Rian pernah menyelamatin aku dari penculik itu. Tapi…” tidak
melajutin kata-katanya lagi.
“Tapia pa? Ibu tidak
menyukain Pak Paris?”.
Klara menggeleng, “aku
tidak tahu. Aku tidak tahu perasaanku padanya. tapi jujur, aku sangat nyaman
jika bersama Pangeran”.
“Pangeran?”.
Klara tersenyum, “itu
sebutan Kristin untuk Paris. Tapi dia memang seperto pangeran, dia selalu ada
untukku, membantuku, menemaninku kadang membuat aku kesal tapi itu hanya godaan
semata untuk membuat aku tersenyum,” air mata menetes kembali, “5 hari ini
tidak aku lihat lagi pangeran yang aku kenal”.
Erika tersenyum setelah
tahu jawaban dari kata-kata yang diucapkan Klara padanya.
***
“Minggu depan orang tua
angkatmu akan ke Indonesia. Sedangkan kau besok kau sudah berangkat ke
Amerika,” kata Jenni”.
“Aku serakat semua itu
padamu. Aku nyakit kau pastih bisa membuat mereka nyaman di Indonesia,” kata
Paris mempercayain orang tuanya pada Jenni.
“Ha…hahaha…” Jenni
tertawa, “apa perluh kau pergi?”.
“Kau tahu jawabannya. Aku
tidak ada kepentingan lain lagi di Indonesia”.
Jenni tersenyum, “aku pastih
sangat kehilangan”.
“Kau tetap temanku yang
baik”.
Jenni tersenyum lebar
mendenggar perkataan Paris.
***
“Aku ingin kalian bunuh
cewek ini,” kata Dewi pada 2 lelaki berbadan besar memberikan foto Maya.
“Membunuh cewek ini mudah,
bayarannya gimana?” tanya salah satu lelaki dari 2 lelaki itu.
“Soal bayaran kalian gak
usah kuatir,” sambil memberikan beberapa uang 100.000, “itu baru awalnya,
sisanya setelah kalian selesai membunuhnya.”
“Ok,” sambil mengambil
uang
***
Eka menemanin Klara
memilih jam ditoko jam di moll. Klara memilih jam yang cocok untu Paris.
“kenapa kau tidak berkan jas atau dasi,” saran Eka yang mengira hadiah ini
untuk Rian. Klara tidak menjawab perkataan Eka, dia terus memilih jam.
“sepertinya dia sangat mencintai Rian,” dugaan Eka.
***
Jenni membantu Paris
memasukkan pakaiannya kedalam koper. “ini bungkusan apa?” tanya Jenni melihat
bungkusan di atas lemari hias di kamar. Dikeluarkannya isi dalam bungkusan terdapat jas dan 2 kemeja, “kau
beli jas?”.
Paris mengambil jas dari
tangan Jenni, “ini jas yang dibelikan Klara”.
“Jas yang bagus,” puji
Jenni.
Paris tersenyum, “iya”.
Hpnya berbunyi di saku celananya, dilihatnya di layer hp terdapat 1 sms. Paris
melihat is sms, aku tunggu di cave citra, aku mohon datanglah. Anggap saja ini permintaan
terakhirku, is isms dari Klara.
“Dari siapa?” tanya Jenni.
***
Sudah lebih 2 jam Klara
menunggu Paris di Cave Citra, dan akhirnya Paris muncul juga dari balik pintu
cave. “kau datang juga?” senang Klara melihat Paris.
“Ada apa?” tanya Paris.
Klara meletakkan kotak
kecil diatas meja, “kau kan pernah bilang, kau mau barang lain. Aku sudah
membelikannya”.
“Apa ini?” Paris membuka
kotak berisi jam tanggan.
“Kau suka?”.
“Tidak. Aku sudah banyak
jam!”.
“Kalaupun kau tak
menyukainnya, setidaknya kau tidak mengatakan itu”.
Paris menatap Klara.
Klara berdiri, “aku pulang
duluan,” lalu Klara keluar dari cave dengan wajah sedih. Tiba-tiba dua
pria mendekatin Klara, “hai cantik,”
puji salah satu mereka.
“Kalian siapa?” tanya Klara
ketakutan.
“Kami ingin membunuhmu,”
kata salah satu dari mereka sambil
memengang tangan Klara.
“Lepasin gua. Tolong….”
Teriak Klara sambil memberontak.
“Lepasin dia?” kata Paris padakedua
pria yang memengang tangan Klara.
“Jangan sok jadi palawan
kesiangan,” sambil memukul Paris.
Paris mengelak mukulan
pria itu lalu memukul balik di wajah dan perut pria itu sampai terjatuh. Lalu
teman yang satunya melepaskan tangan Klara lalu langsung memukul paris lagi,
tapi itu pun Paris bisa mengelaknya, lalu menedang dan meninju perut pria itu
sampai terjatuh juga. Paris mendekatin Klara, “kau tak apa-apa?” tanya Paris
melihat Klara yang ketakutan.
Klara melihat salah satu
pria itu mengeluarkan pisau lipat dari
sakuny celananya lalu mencoba menusuk Paris dari belakang, “Awas…”teriak Klara
Paris menolek kebelakang,
tiba-tiba pisau itu tertacam di perut Paris. Paris langsung terjatuh, “Tolong…
tolong….” Panik Klara melihat darah keluar dari perut Paris. Sedangkan kedua
pria itu langsung berlari. Melarikan diri. “tolong…tolong…” teriak Klara sampai
ada yang menolongnya.
Paris menatap Klara,
“jangan menanggis…” langsung tak sadarkam diris.
“Pangeran…!!!” Klara
tambah panik melihat Paris tak sadarkan diri lagi.
Orang-orang di sekitar
kejadian langsung menolong Paris, dan sebagian menelpon ambulan untuk datang
ketempat kejadian. Tak lama kemudian ambulan datang. Paris langsung di bawak ke
rumah sakit terdekat. Setiba di rumah sakit Paris langsung di bawak keruanagan UGD untuk tidakan lebih
lanjut.
“Bagaimana keadaannya?”
tanya Eka yang langsung datang setelah
menerima telepon dari Klara.
“Belum tahu, dokter belum
keluar dari tadi,” yang masih menanggis.
Beberapa menit kemudian,
dokter keluar dari ruang UGD, “bagaimana dok?” tanya Klara panik.
“Da tak apa-apa. dia
laki-laki yang kuat,” puji dokter.
“Apa bisa kami lihat?”
tanya Eka.
“Silakan. Tapi pasiennya
dipindahkan dulu di kamar rawat”.
“Terimah kasih dok,” kata Klara.
Setelah Paris dipindahkan
ke salah satu kamar di rumah sakit untuk dirawat, Klara dan Eka langsung menuju
kamar. Klara melihat Paris yang tertidur lemas di atas rajang, “kau terluka?
Gara-gara ingin menyelamatinku, kau relah di tusuk,” kata Klara.
“Sudahlah. Semua orang
pastih akan melakukan yang sama. Itupun tidak di segaja”.
“Kau ada disini?” tanya Jenni
melihat Klara di kamar, “aku denggar kau juga yang membawa Paris kerumah
sakit”.
“Itu semua gara-gara aku,”
menyesal Klara.
“Sudahlah jangan merasa
bersalah begitu. Paris juga tidak apa-apa,” kata Jenni pada Klara, lalu menatap
Paris yang terbaring di tempat tidur, “dua orang yang menusukmu itu sudah di
tangkap, mereka katakan Dewi yang menyuruh mereka. Sekarang polisi sedang
memburuh Dewi yang kabur. Aku jamin Dewi pastih di hokum seberat-beratnya,”
penjelasan Jenni.
Paris melihat Klara murung.
Sedangkan Eka trus melihat kalung
berliontin kelinci melingkar di leher Paris. Di benak Eka sekarang, masa ada
cowok memakai liontin kelinci yang biasanya cewek yang suka liontin seperti
itu.
Setelah melihat keadaan
Paris yang mulai membaik. Klara dan Eka pulang kerumah mereka masing-masing.
Sesampai dirumah Klara langsung masuk kekamar. Ditutupnya matanya, agar cepat
tertidur, dan bisa bangun lebih cepat agar bisa besok kembali kerumah sakit.
***
Pagi-pagi sekali Klara
kerumah sakit. Klara kanget melihat
kamar tempat Paris dirawat semalam kosong, “sus, pasien yang disini mana?”
tanya Maya, “dia korban tusuk kemarin”.
“Sudah pulang bu,” jawab
perawat.
“Kapan?”.
“Semalam”.
“Paris langsung pulang,”
binggung Klara, “apa dia sudah sehat. Tapi tak mungkin...”.
Dari rumah sakit Klara
langsung ke apartemen Paris, “tok…tok…tok…” berkali-kali Klara mengetuk namun
tidak ada jawaban dari dalam, “Pengacara… pengacara…!!” panggil Maya tapi tetap
saja gak ada jawaban.
“Ibu cari pengacara
Paris?” tanya Satpam yang kebetulan lewat melihat Maya mengetuk pintu.
“Kemana dia?”.
“Pak Paris sudah tidak
tinggal disini lagi”.
“Apa. kemana?”.
“Saya kurang tahu soal
itu”. Klara mencoba menghubungin no telepon Paris namun tidak di angkat juga.
“mau ya itu apa sih!!” kuatir Klara.
Klara ke kantor Paris,
setiba di kantor Klara langsung menuju ruangan Paris yang berada di lantai 5
memakai lip. “Apa ada Pengacara Paris?” tanya Klara pada sekretaris.
“Beberapa hari ini Pak
Paris tidak akan masuk,” jawab sekretaris.
“Kenapa? Apa lukanya
parah? Atau terjadi sesuatu padanya,” kuatir Klara.
“Saya tidak tahu bu”.
“Sekarang dimana dia?”.
“Saya tidak tahu bu, Pak
Paris tidak memberitahu keberadaannya”.
“Oh… mana pengacara wanita
yang selalu bersama Paris?”.
“Aku disini.” Kata Jenni
muncul dari balik pintu ruangan Paris.
“Kau pastih tahu dimana
Paris?”.
“Paris sedang ada urusan
pribadi”.
“Apa itu?”.
“Kau siapa Paris?
Pacarnya, kekasihnya atau istrinya?” tanya Jenni.
“A.. aku memang bukan
siapa-siapa Paris, “diam sejenak, “mungkin jika kau yang telepon pastih
diangkatnya. Katakan padanya aku mintak maaf,” air mata jatuh membasahin
pipinya, “permisih…” Klara keluar dari kantor. Klara melihat di sekelilingnya,
“kau dimana hu…humm… kau dimana pangeran,” yang terus menanggis.
***
Rian melihat Klara masuk
keruangan, padahal sekarang sudah pukul 2 siang. Rian mendekatin Klra di meja kerjanya, “aku
mau bicara?” kata Rian lalu keluar dari
ruangan. Klara mengikutin Rian sampai kekantin kampus. “duduklah dulu,” Rian memesan
2 teh pada ibu kanti. Tak lama kemudian Rian kembali dengan membawa 2 gelas
teh, “minumlah,” sambil meletakkan gelas didepan Klara.
“Trimah kasih,” Klara
minum.
“Kau kelihatan murung”.
“Maafkan aku. Aku terlalu
memaksakan diri untuk menyukain kakak”.
“Aku tahu itu,” menatap
Klara, “dari awal aku sudah tahu kau menyukain Paris. Walaupun seribu kali kau
membatahnya, tapi hatimu tak bisa membatahnya”.
“Aku memang bodoh. Aku tak
tahu selama ini aku sangat membutuhkannya,” air mata jatuh kembali di pipi
Klara. Tidak teritung lagi Klara menanggis seharian ini, “aku sangat
membutuhkannya sekarang hum…humm… hemmm….”.
“Ibu Klara tidak apa-apa?”
tanya Sarah yang melihat Klara menanggis .
Klara langsung menghapus
air matanya, “aku tidak apa-apa”.
Liga, Doti, Sarah, sinta dan Roni duduk di meja Klara dan Rian
duduk. “Ibu jangan menanggis lagi,” kata Liga.
“Lihat mahasiswamu sangat
menguatirkan dirimu sekarang,” kata Rian.
Klara berusaha tersenyum
didepan mereka, “trimah kasih”.
***
Bersambung
Tidak ada komentar :
Posting Komentar