12
“Kita mau
kemana Kak?” tanya Ceri yang mengikutin Alina berjalan.
Alina tidak
menjawab dia terus berjalan melewatin
pemukiman tempat dulu dirinya tinggal. Ketika cukup jauh berjalan, mereka pun
tiba di sebuah rumah yang sangat sederhana, “sementara kita akan tinggal
disini”.
Pintu rumah
terbuka, “kalian sudah datang. Ayo masuk…” ajak Sarani yang sebelumnya sudah
mendapatkan telpon dari Alina bahwa mereka berdua akan tingga di rumahnya.
“Iya”. Alina
dan Ceri masuk ke dalam rumah. Dilihatnya Pak Budi sedang tidur-tiduran diatas
tikar. Tanpa sebab air mata jatuh membasahin pipi Alina.
Sarani melihat
Alina menanggis terasa heran, “kau tidak apa-apa?”.
Alina
menghapus air mata dipipinya, “aku tidak apa-apa,” lalu keluar dari rumah dan
duduk di teras.
Sarani
mendekatin Alina, “apa ada penyebab lain kau memutuskan untuk tinggal disini?”.
Alina diam.
***
Setiba di
depan gedung apartemen. Tanpa pikir panjang Kay langsung ke apartemennya. Di
dalam apartemen terlihat sangat sepih. Tidak satupun orang yang menyambut
kedatangannya dan itu wajar karena tidak
satupun diberitahunya kalau dirinya pulang hari ini. Tapi Kay masih berharap
ada seseorang diapartemen. Dicari-carinya di setiap ruangannya namun sia-sia
saja. Tidak satupun orang di apartemen. Tapi yang membuat Kay heran bukan
karena tidak ada orang di apartemen melainkan pakaian-pakaian yang dulu di beli
untuk Alina dan Ceri berserak diatas kasur.
Beberapa saat
kemudian terdenggar pintu terbuka. Kay langsung keluar kamar, “Ibu…”.
“Kay…” Ibu
Sari tampak kanget melihat Kay kembali.
Kay tidak
melihat Ibu bersama Ceri, “apa Ceri bersama Alina?”.
“Mereka sudah
pergi??”.
Pertanyaan Ibu
Sari membuat Kay bingung, “maksud Ibu?”.
“Ayahmu…”.
“Ayah??”. Kay
tahu apa yang maksud dari perkataan Ibu kandungnya itu. Dia tahu ini akan
terjadi tapi dia tahu akan terjadi seperti ini akhirnya
***
Alina dan
Sarani masih duduk di teras memadangin langit-langit yang penuh dengan taburan
bintang. “Tidak masalah jika kau tidak mau cerita. Aku hanya ingin kalian
nyaman,” kata Sarani yang tak ingin memaksa kehendaknya.
Alina
tersenyum. Tiba-tiba hpnya berbunyi. Alina nampak terkejut melihat nomor yang menghubunginnya itu dari layar
hpnya. Kay…. Ketika mau menjawab telpon dari Kay, Alina teringat
dengan kata-kata Ayah padanya, “Aku
ingin kau menjauhin putraku!!”.
Alina sangat terkejut. Tanpa disadarinnya air mata membasahin pipinya.
Tubuhnya gemetar dan tak bisa berkata apa-apa.
“Aku tidak penduli kau mencintain putraku atau tidak. Aku hanya tidak
ingin putraku hancur karena kau!!”.
Perasaan
bimbang mulai menyelimutinnya. Dihatinya paling dalam dia sangat ingin menjawab
telpon dari Kay namun terhalang dengan
harga dirinya. Berkali-kali telpon bordering namun tetap Alina tidak mau
mengangkat telpon dari Kay itu membuat hatinya sangat terluka.
“Kenapa tidak
kau angkat?” heran Sarani membiarkan hpnya bordering berkali-kali.
Alina hanya
mengeleng dan berusaha untuk tidak menanggis.
***
“Bagaimana?”
tanya Ibu Sari pada Kay berkali-kali menelpon Alina.
“Tidak
diangkatnya,” Kay yang sudah putus asa. Kay teringat tempat yang biasa Alina
datangin, “aku pergi dulu bu…”.
“Mau kemana
sayang…?”.
Kay tidak
menjawab pertanyaan Ibu Sari, dia langsung pergi meninggalkan apartemen untuk
mencari Alina ke tempat biasa Alina datangin sepengetahuannya.
***
Bob keluar
dari ruang kerjanya. Dilihatnya di meja kasir bukan Alina maupun Nisa yang
menjaga kasir seperti biasanya. Bob mendekatin meja kasir. Dibandingkan
bertanya mengapa Alina tidak masuk, Bob malah bertanya mengapa Nisa hari ini
tidak masuk, “kenapa Nisa tidak masuk??” tanyanya pada kariawan yang menjaga
meja kasir hari ini.
“Katanya sakit
bos,” jawab kariawan.
“Sakit? Sakit
apa?”.
“Gak tahu
bos”.
Ketika mau
kembali ke ruang kerjanya, tatapan Bob tertujuh pada pria yang baru masuk ke
dalam supermarket yang langsung bertanya pada pengawainya yang menjaga meja
kasir.
“Apa Alina
ada?” tanya Kay berharap bisa bertemu dengan Alina.
“Alina tidak
masuk,” jawab Kariwan.
“Apa kalian
tahu dimana Alina sekarang tinggal?”.
“Setahu aku
sih rumahnya sudah di jual orang tuanya”.
Kay tanpa
kecewa yang tidak mendapatkan informasi apa-apa, “trimah kasih”.
“Apa kita bisa
bicara?!” kata Bob.
Kay menolek.
Dia tampak bingung melihat pria yang tidak dikenalnya itu mau bicara dengannya,
“baiklah,” tapi dia tetap mengiyakannya.
Mereka berdua
berbicara sambil berjalan meninggalkan supermarket. Bob mencoba memulai membuka
obrolan, “aku senang akhirnya Alina bisa mendapatkan pengganti Adriel. Dan aku
harap kau pria yang tepat”.
“Kau bicara
seperti itu seakan kau pernah menyukain Alina,” kata Kay.
Bob hanya
tersenyum.
“Tenyata
benar,” yang sudah mendapatkan jawaban dari ekpresi wajah Bob, “apa aku perluh
menganggapmu sebagai saingat?!”.
“Aku rasa
tidak perluh. Dari awal aku sudah kalah,” menghentikan langkahnya dan menatap
Kay, “tapi jika kau berani menyakitin Alina kau akan berhadapan langsung
denganku!!”.
“Apa itu
sebuah acaman?”.
“Anggap saja
seperti itu”.
“Baiklah. Tapi
kali ini… dia mencoba menjauhinku”.
Bob menepuk
bahu Kay dengan pelat seakan memberi semangat pada Kay, “aku pergi,” lalu
meninggalkan Kay.
Kay sejenak
memperhatikan Bob yang berjalan meninggalkannya yang semakin jauh sambil
memikirkan perkataan Bob barusan padanya. Kemudian Kay pun memutuskan ke taman
kota.
Setiba di
taman kota. Dibangku yang sama tempat yang biasa Alina duduk. Tenyata Alina
tidak ada. Kay tampak sudah sangat putus
asa mencari Alina. Tempat ini satu-satunya yang biasa Alina datangin selain
itu dia tidak tahu.
***
Bob
mendatangin kosan Nisa namun hanya berdiri di depan gerbang rumah kosan dengan
tatapan tertujuh kearah kamar kosan Nisa. Dia tahu mengapa hari ini Nisa tidak
masuk kerja itu pastih gara-gara dirinya itu membuat dirinya merasa bersalah.
***
“Mana
Kakakmu?” tanya Pak Budi pada Ceri yang sedang menikmatin sarapannya.
“Dia keluar
sebentar,” jawab Sarani sambil meletakkan segelas kopi di atas meja yang
dibuatnya untuk Pak Budi.
“Apa Alina
punya masalah?” kuatir Pak Budi yang melihat Alina semalaman murung.
“Mungkin,”
sambil duduk di sebelah Ceri, “mungkin tidak”.
“Maksudmu itu
apa?!!”.
“Kau kan
Ayahnya, kenapa tidak langsung tanya saja!!”.
“Kau ini!!”.
“Pertengkaran
suami istri,” Ceri yang asal bicara.
“Ceri!!” kata
Pak Budi yang tenyata mendenggar ucapan Ceri.
“Maaf…”.
Sarani hanya
tersenyum menanggapin perkataan Ceri.
***
Alina segaja
pergi ke taman untuk menghilangkan kesedihannya. Namun langkahnya terhenti saat
melihat Kay duduk di bangku yang biasa dirinya dudukin, “Kay…”. Rasa rindu
mulai menyelimutin Alina yang ingin segera mendekatin Kay namun rasa itu harus
ditahannya saat mengingat kata-kata Ayah Kay padanya. Alina menjulurkan
tangannya seakan memengang wajah Kay.
Tenyata Kay
merasakan kehadiran Alina. Kay menolek kearah Alina tenyata Alina sudah duluan
meninggalkan taman tanpa sepengetahuan Kay.
***
“Tok… tok…
tok…!!” Ibu Sari yang mendenggar suara ketukan pintu dari luar langsung membuka
pintu. “Kau sudah pulang Kay,” yang mengira Kay yang mengetuk pintu tenyata
bukan. Gilda yang mengetuk pintu.
“Pagi tan,”
Gilda langsung meyapa Ibu Sari.
“Kau…” Ibu
Sari yang masih menujukkan sikaf dingin pada Gilda.
“Aku denggar
Kay sudah kembali. Aku ingin bertemu dengannya”.
“Kay tidak
ada”.
“Tan…”.
“Kau pikir aku
bohong!!!”.
“Maafkan aku”.
“Orang yang
kau cari tidak ada, pergilah!!” Ibu Sari langsung menutup pintu tanpa membiyarkan
Gilda masuk ke dalam.
Sejenak Gilda
diam memadangin pintu yang tertutup rapat untuknya setelah itu barulah dirinya
meninggalkan apartemen.
Di perkarangan
gedung apartemen Gilda dan Kay berpapasan namun mereka tidak saling bertemu
satu sama lain. Kay langsung ke apartemennya yang berada di lantai 30
menggunakan jasa lift. Setiba di lantai 30 Kay langsung masuk ke dalam
apartemennya.
Ibu Sari yang
melihat kedatangan putranya langsung menyambutnya, “kau sudah pulang sayang”.
“Ya,” langsung
duduk di sofa.
“Kau tidak
apa-apa?” Ibu Sari yang kuatir dengan keadaan putra kandungnya itu.
Kay tidak
menjawab.
“Kau belum
bertemu dengan Alina?”.
Kay mengeleng.
“Kau sudah
mencarinya ke rumah teman atau… saudaranya??”.
Kay diam.
Wajah kesedihannya tidak bisa di sembunyikannya di hadapan ibu kandungnya itu,
“aku merindukannya Bu,” dengan mata berkaca-kaca.
Ibu Sari
memeluk Kay.
“Aku sangat
merindukannya Bu…”.
***
Alina kembali
ke rumah Sarani. Dihentikannya langkahnya di depan rumah sambil memadang
sekeliling pekarangan rumah yang tidak begitu luas. Saat ini dirinya menyadarkan dirinya untuk
bangun dari mimpi indahnya selama ini. “Kau harus kuat Alina!” kata Alina pada
dirinya sendiri.
“Kau sedang
apa?” tanya Sarani yang tiba-tiba muncul dari belakang.
Kedatangan
Sarani membuat Alina terkejut, “kau…”.
“Kau pikir
siapa?” Sarani menahan tawa melihat Alina yang terkejut.
“Tidak. Kau
dari mana?”.
Sarani
menujukkan barang belanjaannya.
“Sini aku
bantu,” mengambil sebagian barang belanjaan dari tangan Sarani, “kau banyak
sekali belanja”.
Sarani hanya
tersenyum. Lalu mereka masuk ke dalam rumah.
Tanpa
disadarin mereka berdua dari kejauhan Adriel mengamatin Alina yang sekarang dia
tahu tinggal dimana. Adriel mulai
diam-diam mempunyai rencana untuk membalas kesalahannya yang lalu
pada Alina.
***
Bob kembali
mendatangin kosan Nisa tapi dirinya tidak berani mengetuk pintu kosan. Dia
hanya berdiri di depan gerbang rumah kosan dengan tatapan ke kamar kosan Nisa.
Cukup lama dia berdiri dan memutuskan untuk segera pergi. Tapi langkahnya
terhenti saat Nisa tiba-tiba keluar dan menyadarin kehadirannya.
“Bob...”
panggil Nisa.
Bob menolek.
“Kau sedang
apa disini?”.
“Aku
menguatirkanmu”.
Nisa berusaha
tersenyum, “aku tidak suka dibuat-buat. Bersikaflah biasa saja,” Nisa yang tidak
nyaman dengan keadaan seperti itu.
“Maafkan aku”.
“Kau mau apa
kesini?”.
“Aku hanya
ingin tahu kenapa semalam kau tidak masuk?”.
“Aku kurang
enak badan”.
“Apa itu
karena aku?”.
“Jangan
terlalu berlebihan. Nanti malam aku masuk. Pulanglah”.
“Nisa…”.
“Aku sudah
lelah menunggu. Sudah sangat lelah,” Nisa kembali masuk kekamar kosannya.
Bob menarik
nafas panjang, dia bingung harus melakukan apa untuk menyakinkan Nisa.
***
Alina membantu
Sarani menyiapkan makan malam di dapur.
Sedang asik mengoreng ayam Sarani mencoba membuka obrolan baru, “aku denggar
kau pernah kuliah?”.
“Iya,” jawab
Alina yang sedang memotong sayuran di meja makan.
“Jurusan
apa?”.
“Kedokteran”.
“Apa kau gak
berniat untuk melajutkannya lagi?”.
“Tidak”.
“Kenapa?”.
Alina diam.
“Apa karena biaya?”.
Alina masih
diam.
“Jika punya
biaya, apa kau mau melajutinnya lagi?”.
Kali ini Alina
tersenyum, “aku tidak punya uang untuk melajutin kuliah,” jawabnya.
“Apa
20.000.000,- cukup??”.
“Maksudmu?”.
“Hasil jual
rumahmu masih tersisa 20.000.000,-. Kalau kau mau kau bisa lajutin kuliahmu”.
“Kau sekarang
sudah seperti Ibuku”.
“Kurangnya??”
tebak Sarani.
“Iya”.
Sarani nampak
kecewa.
“Sudahlah… gak
usah dipikirkan. Mungkin Tuhan tidak menginginkanku menjadi dokter,” kata Alina
menutupin kesedihannya, “aku buang sampah dulu,” lalu membawa sampah keluar
dari rumah. Alina segaja mengalihkan pembicaraan untuk menghindarin membahas
kuliahnya yang tertunda sudah cukup lama itu membuatnya membuka kesedihan masa
lalunya saat dirinya harus berhenti dari kuliah karena tidak ada biaya lagi
untuk kuliah.
Alina membuang
sampah di tempat sampah yang telah disediahkan yang jaraknya tidak begitu jauh
dari rumah. saat mau kembali ke rumah, Alina dikejutkan oleh kehadiran Adriel
yang sudah berdiri tak jauh darinya.
“Aku ingin bicara,”
kata Adriel.
“Baiklah,”
yang berusaha melupakan sakit hatinya pada Adriel, “kita sambil jalan,” Alina
mengajak Adriel menjauh rumah tempat tinggalnya saat ini. Adriel mengikutin
langkah Alina. “Apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Alina.
“Ayah pria
yang baik. Dia tidak bermaksud menyakitinmu,” yang sebelumnya sudah mengetahuin
pertemuan antara Ayah tirinya dengan Alina, “aku harap kau tidak membencinya,”
kata Adriel yang tidak menginginkan Alina membenci Ayah tirinya itu.
“Aku tidak
membencinya. Wajar saja orang tua ingin mendapatkan pasangan yang terbaik untuk
anaknya. Sama saat Ibumu menjauhin dirimu dariku,” Alina yang mulai mengukit
masa lalu.
“Sampai saat
ini kau tetap yang terbaik”.
Alina
tersenyum.
“Apa kau sudah
memaafkanku?”.
“Aku
perlahan-lahan ingin melupakan semua kebencianku padamu”.
“Apa karena
Kay?”.
“Mungkin,”
yang berusaha untuk menutupin kesedihannya.
“Apa kau
sangat mencintainnya?”.
“Ya”.
Adriel terdiam
sejenak, “berusahalah untuk memperjuangkan cintamu pada Kay”.
Alina
menghentikan langkahnya langsung menatap Adriel, “kau bicara apa,” yang tidak
percaya Adriel bisa bicara seperti itu padanya.
“Aku dan Kay
sangat berbedah. Kay pastih akan memperjuangkan cintanya padamu, walaupun di
tentang oleh orang tuanya. Bukan seperti aku yang selalu melakukan apa
diperintahkan orang tuaku,” kata Adriel yang mulai membandingkan dirinya dengan
Kay.
Alina diam.
“Kau harus
tetap memperjuangkan cintamu”.
“Kau bisa
bicara seperti itu karenai kau tidak pernah diposisiku!”.
“Alina”.
“Saat ini aku
ingin mencoba melupakan Kay”.
“Alina”.
“Kau saja bisa
aku lupakan. Dan… aku juga pastih bisa melupakan perasaanku pada Kay,” Alina
yang menguatkan dirinya sendiri.
Adriel hanya
menyesalin keputusan Alina.
Tanpa disarain
mereka. Ibu yang sedang mengedarain mobil yang
kebetulan melewati daerah itu melihat mereka berdua sedang mengobrol di
tepi jalan. Ibu yang tidak tahu apa-apa mulai berpikir antara Adriel dan Alina
mulai menjalin hubungan lagi itu membuat Ibu sangat marah. Namun Ibu tidak
mendekatin mereka berdua karena Ibu mempunyai rencana yang lebih bagus
dibandingkan mendekatin mereka.
***
“Mana Alina?”
tanya Pak Budi pada Sarani yang sedang memasak di dapur.
“Buang
sampah,” jawab Sarani.
“Ohhh”.
“Kau mau
kemana?” tanya Sarani melihat Pak Budi yang bersiap-siap untuk pergi.
“Aku mau cari
angin”.
“Hati-hati”.
“Ya,” Pak Budi
pun pergi.
***
Kay bertemu
dengan Pak Suroyo di lestoran yang sebelumnya mereka tentukan untuk bertemu.
“Aku puas melihat kasus putriku yang mulai ada perkembangan,” kata Pak Suroyo
yang kagum dengan kinerja kerja Kay, “kau sudah membuktikan kesombonganmu itu”.
“Kali ini aku
tidak bisa memastikan kebebasan putri ada pak,” Kay yang mulai berterus teras.
“Maksud kau?
Bukannya kau sudah berjanji akan membebaskan putriku!!”.
“Aku bisa
membuktikan pada pengadilan putri anda tidak terlibat pembunuhan itu tapi aku
tidak bisa membuktikan putri anda tidak terlibat penggunaan narkoba!”.
“Aku tahu
itu”.
Kay terkejut
dengan kata-kata Pak Suroyo, “maksud anda? anda mengetahuin putri anda
menggunakan narkoba?”.
“Ya”.
“Sejak
kapan?”.
“Setahun yang
lalu”.
“Kenapa anda
tidak mencoba menjauhin putri anda dari narkoba?”.
“Karena saat
itu aku berpikir dengan cara itu dia bisa melupakan Alm Ibunya,” terdiam
sejenak, “tenyata aku salah… aku sudah gagal menjadi orang tua yang baik
untuknya”.
Kay diam.
“Apa kau bisa
membantu putriku terhindar dari hukuman?”.
“Aku akan coba
mengajukan rehablitasi untuk putri anda”.
“Trimah
kasih”.
Kay berusaha
untuk tersenyum.
Setelah
pertemuan antara Kay dan Pak Suroyo selesai. Kay mengantar Pak Suroyo sampai di
depan mobil yang sudah menunggu di depan lobi lestoran. Mereka berdua saling
bersalaman. “Aku percaya padamu kau pastih bisa membatu putriku,” kata Pak
Suroyo.
“Aku akan
berusaha”.
“Sampai jumpah
lagi,” lalu Pak Suroyo masuk ke dalam mobil.
“Ya”.
Setelah Pak
Suroyo pergi tiba-tiba Adriel tiba-tiba muncul, “kau memang pengacara hebat
Kay,” puji adriel.
“Kau…??”
bingung melihat kehadiran Adriel yang dianggapnya tidak disegaja.
“Aku segaja
menemuinmu”.
“Kau ingin
mengucapkan trimah kasih,” canda Kay.
Adriel
memberikan selebar potongan kertas kecil pada Kay yang berisi alamat, “ini
alamat tempat Alina tinggal saat ini”.
Kay langsung
mengambil kertas itu.
“Pastihkan kau
bisa mempertahankan cintamu,” kata Adriel lalu pergi.
Walaupun masih
bingung dari mana Adriel mendapatkan alamat tempat tinggal Alina saat ini semua
itu tertutupin rasa rindunya yang ingin segera bertemu dengan Alina.
***
Dari ruang
kerjanya Bob melihat Nisa baru tiba di supermarket. Bob mendekatin Nisa, “aku senang
kau bekerja lagi,” katanya.
“Aku masih
memerlukan pekerjaan ini,” ucap Nisa.
“Ya”.
“Aku hanya
tidak ingin mencampurin urusan pribadi dengan pekerjaan”.
Bob menatap
Nisa yang berusaha menghindarin tatapannya, “baiklah”.
Nisa berusaha
untuk tersenyum, “permisih…” lalu ke meja kasir untuk melakukan pekerjaannya
seperti biasanya.
Tak lama
kemudian Alina tiba di supermarket. Dilihatnya Bob menatap Nisa dari pintu
ruang kerjanya namun dia heran kenapa Nisa tidak membalas tatapan Bob padanya.
Alina ke meja kasir mendekatin Nisa, “sudah lama,” membuka obrolan.
“Ya”.
“Bob kenapa
melihatmu seperti itu?”.
“Aku gak
tahu”.
“Kalian
bertengkar?”.
“Tidak”.
“Nisa…” Alina
yang nyakin Nisa menyembunyikan suatu masalah darinya.
“Aku mohon…
aku tidak ingin membahasnya”.
“Baiklah,”
Alina mencoba mengerti kenapa Nisa tidak
ingin bercerita padanya.
***
Setiba di
alamat yang diberikan Adriel padanya, Kay langsung ke luar dari mobilnya.
Dilihatnya rumah yang sekarang Alina tempatin yang sangat jauh berbedah dari
kehidupannya selama ini. Rasa rindu bercampur kagum menyelimutin perasaan Kay
saat ini.
Seorang gadis
kecil keluar dari rumah seakan tahu akan kedatangannya, “Kak Kay…” Ceri yang
sangat senang melihat Kay lagi dan langsung mendekatin Kay yang masih berdiri
di depan mobilnya.
Kay hanya
tersenyum namun tatapannya masih tertujuh kearah pintu berharap Alina juga akan
keluar dari rumah menyambut kedatangannya.
“Kak Kay mau
bertemu dengan Kak Alina?”.
“Alina ada?”.
“Kakak sudah
pergi kerja”.
“Ohhh…” Kay
yang sangat kecewa yang tidak bisa bertemu dengan Alina.
“Siapa Ceri??”
tanya Sarani keluar dari rumah, “kau siapa?” tanyanya pada Kay.
“Namaku Kay,”
Kay memperkenalkan diri, “aku permisih dulu,” lalu kembali masuk ke dalam mobil
dan pergi.
Sarani
mendekatin Ceri, “apa dia Kaya?” tanyanya pada Ceri.
Ceri
mengangguk.
“Dimana kau
bisa kenal dengannya?” tanya Sarani lagi yang penasaran.
“Ada deh…”
sambil masuk ke dalam rumah.
“Ceri!!” kesal
Sarani seakan dipermaikan Ceri.
Ceri hanya
cenggar cenggir menikmatin rasa penasaran Sarani.
***
Dari kaca yang
trasparan sudah terlihat Alina berada di dalam supermarket sedang melayanin
pembeli. Kay masuk ke dalam supermarket namun Alina belum menyadarin
kehadirannya karena sibuk melayanin pembeli yang mau membayar barang belanjaan.
Kay segaja mengambil minuman kaleng
dingin lalu langsung ke temapt kasi untuk membayar.
Tanpa
memperhatikan siapa yang berada dihadapannya
Alina langsung menyebutkan biaya yang harus di bayar Kay, “6500,-“.
Kay memberikan
selembar uang 10.000,-.
Alina belum
menyadarin kehadiran Kay, dia malah mengembalikan uang sisa kembalian Kay tiga
lembar uang seribuan dan 500 uang logam, “trimah kasih”.
Kay yang mulai
kesal melihat Alina yang tidak memperhatikannya mulai memanggil nama Alina,
“Alina…”.
Alina
menghentikan pekerjaannya. Suara yang memanggil namanya itu sangat tidak asing
di telingahnya. Perlahan-lahan Alina mengangkat kepalanya menatap pria yang
dihadapannya itu, “Kay…” perasaan mulai bercampur aduk.
Mereka bicara
di luar supermarket. Kay mencoba memulai pembicaraan, “maafkan Ayahku”.
Alina berusaha
tidak menujukkan reaksi apa-apa dihadapan Kay, “aku tidak menyalahkan orang
tuamu. Wajar dia melakukannya,” yang berusaha untuk kuat.
“Tapi bagiku
itu tidak wajar!! Aku ingin kau…”.
Alina memotong
perkataan Kay, “kita tidak ada hubungan apa-apa. Aku mohon jangan temuin aku
lagi”.
“Alina!!” Kay
mempertinggi volume suaranya.
“Lupakan aku”.
“Aku tidak
bisa!!”.
“Kau harus
bisa!!” yang mulai mempertinggi volume suaranya.
“Tidak!!”.
“Kau harus
melupakan aku!!! Aku mohon lupakan aku… dan jangan mencariku lagi!!” Alina membalikkan tubuhnya
agar tidak dilihat Kay bahwa dirinya sedang menanggis. Air matanya semakin
deras membasahin pipinya.
Saat Alina
pergi kay langsung menahan tangan Alina, “aku mohon…” yang tidak relah
melepaskan Alina.
Dengan
kasarnya Alina menghepaskan tangan Kay dan langsung meninggalkan Kay yang masih
memadangnya. Alina langsung keruangan ganti kariawan yang berada di belakang.
Di dalam ruangan itu Alina sepuas-puasnya menanggis mengeluarkan kesedihannya
yang sedang menyelimutinnya saat ini, “huhuhu…huhummm…huhuhuhu…”.
Nisa masuk ke
dalam ruangan, “kau kenapa?” kuatir Nisa.
Alina langsung
memeluk Nisa, “huhuhu…huhuhu….huhuhhh….” yang masih terus menanggis yang saat
ini di pelukkan Nisa. Dan Nisa membiarkannya.
***
Kay kembali ke
apartemennya. Dijatuhkannya tubuhnya diatas sofa. Tatapannya tertuju ke
langit-langit ruangan dengan tatapan kosong. Kay mengingat jelas kata-kata yang
diucapkan Alina yang membuat hatinya sangat terluka, “kita tidak ada hubungan apa-apa. Aku mohon jangan temuin aku lagi”.
“Alina!!” Kay mempertinggi volume suaranya.
“Lupakan aku”.
“Aku tidak bisa!!”.
“Kau harus bisa!!” yang mulai mempertinggi volume suaranya.
“Tidak!!”.
“Kau harus melupakan aku!!! Aku mohon lupakan aku… dan jangan mencariku lagi!!”
Walaupun
kata-kata Alina sangat menyakitkan perassaannya tapi dia tidak bisa membenci
Alina. dia tahu Alina pastih punya alasan mengapa dia mengatakan itu padanya
dan itu pastih karena Ayahnya.
Tanpa
disadarin Kay, Ibu Sari memperhatikannya dari pintu kamar. Ibu Sari tidak tegah
melihat putra kandungnya yang mulai tidak bersemangat menghadapin hidupnya
lagi.
***
“Kau sudah
bangun sayang,” sapa Ibu Sari menyambut putranya yang baru bangun dari tidur.
“Kepalaku
sakit sekali Bu,” Kay yang mengeluh sambil memengan kepalanya.
“Cobalah untuk
merikleskan pikiranmu sayang,” saran Ibu Sari.
“Aku tidak
apa-apa Bu”.
“Kay…”.
“Minggu depan
aku akan kembali ke Amerika Bu”.
“Apa kau akan
kembali lagi?”.
“Aku gak tahu
Bu”.
“Sayang…”.
“Alina ingin
aku menjauhinnya Bu. Dan… aku akan melakukannya”.
Melihat
putranya terluka seperti ini membuat Ibu Sari sangat marah pada sikaf mantan
suaminya itu yang memisahkan Alina dari Kay.
***
Pulang dari
mengantar Ceri ke sekolah, Sarani langsung bebelanja ke pasar terdekat yang tak
jauh dari pemukiman tempat tinggalnya. Baik itu lauk pauk maupun sayur mayur di
belinya untuk makan siang yang akan disiapkan untuk calon keluarganya.
Sedang asik
memilih sayur yang bagus, seorang wanita mendekatin Sarani, “hei Sarani…!!”
panggil wanita itu sambil memengang bahu Sarani dari belakang.
Sarani menolek
ke belakang, “Sita!” kanget melihat teman satu kerjanya.
“Kau sedang
apa disini?” melihat barang belanjaan Sarani, “kau kenapa gak kerja-kerja??”.
“Eeehhh….”
Sarani bingung harus menjawab apa.
“Kau gak mau
kerja lagi?”.
“Iya”.
“Lalu kau mau
kerja apa? Kau pikir perusahaan atau toko-toko mau menerima kariawan mantan
PSK?!”.
Sarani diam.
“Jangan bilang
kau berhenti karena Budi??!” tebak Sita yang mengetahuin Sarani yang menyukain
Budi dari dulu.
“Ya”.
“Kau ini!! Apa
gak ada cowok lain apa!!?”.
Sarani diam.
“Ya udahlah…
itu sudah keputusanmu!! Sebelum kau memutuskan menikah dengan Budi sebaiknya
kau rubah dulu sifat main judi dan mabuknya itu!!”.
“Aku rasa Budi
tidak akan lagi melakukannya”.
“Hahaha… kau
ini lucu banget sih…!! Kalau dia tidak melakukannya lagi, lalu siapa yang aku
lihat di meja judi semalam!!”.
“Apa!!” Sarani
sangat kanget.
***
“Mau pulang bareng,” ajak Nisa pada Alina yang
bersiap-siap untuk pulang.
“Ya”.
Mereka berdua
pulang bareng. Nisa mencoba membuka obrolan, “masih gak mau cerita?”.
Alina diam.
“Sepertinya
Kay sangat serius dengan kau. Kenapa kau malah ingin menjauhinnya?” penasaran
Nisa.
“Bagaimana
hubunganmu dengan Bob?” Alina mengalihkan pembicaraan.
Nisa tersenyum
lebar melihat Alina yang mengalihkan pembicaraan, “kau sekarang mulai pintar
mengalihkan pembicaraan”.
Alina
tersenyum.
“Aku bilang
pada Bob aku tidak ingin menunggu lagi. Aku sudah lelah menunggu,” kata Nisa.
“Kenapa kau
lakukan itu? kenapa kau tidak memberikan kesempatan pada Bob?” tanya Alina yang
bingung dengan keputusan Nisa padahal setahunya Nisa sangat mencintain Bob malah sekarang saat Bob ingin dekat dengannya
dia malah ingin menjauh.
“Lalu kau??”
Nisa balik bertanya, “kenapa kau malah menjauhin Kay?” diam sejenak, “dalam
faktanya kau juga menyukainnya!”.
“Masalah kita
berbedah Nisa!! Ayah Kay tidak menyukainku,” kata Alina dengan mata
berkaca-kaca.
“Itu bukan
alasan!!! Memang sampai kapan kau seperti ini!! dulu kau melepaskan Adriel juga
karena Ibunya tidak menyukainmu! Apa sekarang juga kau harus melepaskan Kay
hanya karena Ayah ya tidak menyukainmu!!” kesal Nisa.
“Lalu aku
harus apa?” Alina yang sudah butuh mencari jalan keluar dari masalahnya.
“Kau harus tetap memperjuangkan cintamu,” Nisa menyakinkan Alina.
Alina diam.
Nisa menarik
nafas panjang, “mungkin… aku juga harus tetap berusaha memperjuangkan cintaku,”
yang mulai kembali kesemangatannya.
Alina menolek,
“kau akan memberikan kesempatan pada Bob?”.
“Ya. Dan… kau juga….??”.
Alina tidak
nyakin namun dia hanya menanggapin perkataan Nisa dengan tersenyum.
***
Nisa tidak
langsung pulang. Dia mengajak Bob ketemuan di cave yang jaraknya tak jauh dari
komplek rumah Bob. Bob bergegas datang ke cave setelah mendapatkan telpon dari
Nisa, “maaf membuatmu menunggu,” sambil duduk.
“Mau minum?”
tawar Nisa.
“Tidak”.
Suasana
terhening sejenak, “aku sudah memikirkan semuanya,” Nisa memulai membuka
pembicaraan yang serius.
“Maksudmu?”.
“Aku sangat
mencintainmu, dan sampai saat ini pun aku masih mencintainmu,” diam sejenak,
“aku akan mencoba untuk menunggumu sampai kau menyukainku”.
“Trimah
kasih,” Bob yang sangat senang mendenggar kata-kata yang terucap oleh Nisa.
“Tapi aku
tidak ingin terlalu lama menunggu”.
Bob memengang
tangan Nisa, “trimah kasih. Trimah kasih selama ini kau sudah mencintainku
dengan tulus”.
Nisa tersenyum
melihat cintanya mulai terbalas.
***
Setiba di
rumah, Sarani langsung masuk ke kamar. Diambilnya amplo berisi uang dari dalam
tasnya. Dirinya legah saat melihat uang itu masih utuh tidak berkurang
sepeserpun. Walaupun belum nyakin dengan cerita temannya itu Sarani tidak mau
diam begitu saja. Kapanpun Pak Budi
pastih akan mengambil uang ini darinya untuk main judi dan mabuk-mabukkan.
Sarani memutuskan untuk menyimpan uang itu di rekeningnya. Saat mau pergi ke
bank, Sarani bertemu dengan Alina yang baru pulang dari kerja.
“Mau kemana?”
tanya Alina melihat Sarani yang buru-buru.
Sarani terdiam
sejenak untuk memikirkan jalan keluar yang terbaik.
“Sarani…”
heran melihat Sarani yang terdiam.
“Ini…” sambil
memberikan amplo berisi uang kepada Alina, “sebaiknya kau menyimpan”.
“Apa itu?”.
“Ini sisa
uang jual rumahmu”.
Alina
mengambilnya lalu memberikannya lagi pada Sarani, “sebaiknya kau saja yang
menyimpan”.
“Alina”.
“Anggap saja
uang ini biaya hidup kami selama kami tinggal bersamamu”.
“Itu tidak
perluh! Aku iklas membantu kalian”.
“Dibandingkan
aku, kau lebih membutuhkannya,” diam sejenak, “kau bisa berhenti dari kerjaanmu
dan membuat usaha dengan uang ini”.
Sarani menanggis.
Dia terharum dengan perhatian yang ditunjukkan Alina padanya. Baru kali ini ada
orang memperhatikan masa depannya, “trimah kasih huhuhu…”.
Alina melihat
keadaan rumah seperti tidak ada penghuni selain mereka berdua, “mana Ayah?”.
Sarani diam,
dia bingung harus menjawab apa.
Tampak jelas
kebingungan dari ekpresi wajah Sarani
membuat Alina curiga, “apa semalam dia tidak pulang”.
“Alina…”
mencoba menjelaskan.
Namun langsung
di potong oleh Alina, “apa dia main judi lagi?”.
Sarani mabuk.
Alina sangat shok
mendenggarnya. Dia tidak menyangkah Ayah tirinya itu akan melakukannya lagi
setelah kejadian itu.
“Alina…”.
“Kenapa dia
tidak pernah belajar dari kesalahannya!!!” marah Alina.
Sarani hanya
diam. Dia pun tidak bisa berbuat apa-apa untuk merubah sifat main judi dan
mabuk-mabuk Pak Budi.
***
Kay menemuin
Ayah di lestoran Hotel Ratu. Tidak lama dia menunggu kedatangan Ayah yang
langsung datang setelah mengetahuin kedatangan putra kandungnya. Ayah langsung
duduk dan langsung membuka obrolan, “bagaimana dengan kasus yang kau
kerjakan?”.
Dibandingkan
menjawab pertanyaan Ayah, Kay malah mengatakan sesuatu yang membuat Ayah
terkejut, “aku mohon pada Ayah jangan ganggu Alina lagi”.
“Kau
menemuinku hanya karena wanita itu?!!”.
“Aku mohon
Yah”.
Ayah tidak
memberi jawaban pada Kay, dia hanya menatap Kay dengan tatapan tajam dan Kay
tidak membalas tatapannya.
***
“Apa Ayah dan
Kakak tidak pulang malam ini lagi?” tanya Ceri pada Sarani yang sedang
menikmatin makan malamnya.
Sejenak Sarani
berhenti namun kembali melajutin makan, “mungkin,” jawabnya sambil makan.
“Kalau Kakak
kerja. Ayah kemana sih gak pulang-pulang?” tanya Ceri yang lugu.
Sarani tidak
menjawabnya, dia malah menyuruh Ceri melajutin makannya, “kalau makan jangan
bicara!” kata Sarani untuk menghindari
pertanyaan-pertanyaan yang akan di lontarkan Ceri nantinya.
***
Untuk
melepaskan kestressannya, Alina pergi ke taman. Di bangku yang sama Alina
menikmatin suasana taman yang hampir gelap. Hanya beberapa orang yang masih
berada di taman menikmatin suasana taman sama dengan dirinya.
Alina menatap
bintang yang bertaburan di langit. Tampak jelas bintang berkelap-kelip
menghiasin malam yang cerah. Pemadangan yang indah namun suasana hati Alina
saat ini tidak seindah memadangan malam ini.
Beberapa saat
kemudian. Kay muncul dengan melangkah lesuh kearah Alina yang tidak
disadarinnya ada di taman bersama dirinya. Setelah dekat barulah dirinya baru
menyadarin kehadiran Alina, “Alina…”.
Alina
mendenggar suara yang memanggil namanya, lalu dia menolek, “Kay…” sambil
berdri.
Awalnya Kay
mau pergi namun dia menghentikan niatmya untuk meninggalkan taman. Dia
mendekatin Alina yang masih menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Aku tidak
menyangkah kita bisa bertemu disini”.
“Aku juga”.
Kay mendekatin
Alina, “tempat ini bagus untuk menghilangkan stress”.
Alina kembali
duduk, “iya”.
Suasana
terhening sejenak, “minggu depan aku akan pergi,” kata Kay memberitahukan
keberangkatannya, “kita tidak akan bertemu lagi”.
“Apa kau tidak
akan kembali lagi?”.
“Ya”.
Alina tidak
bisa menahan air matanya lagi untuk tidak keluar namun dia berusaha untuk tidak
menujukkan kesedihannya pada Kay. “Apa
kau harus pergi?”.
“Iya,” Kay
berdiri untuk segera pergi.
Alina teringat
dengan kata-kata Nisa untuk memperjuangkan cintanya, “Kau harus memperjuangkan cintamu,” Nisa menyakinkan Alina.
kata-kata Nisa membuat Alina mulai berpikir untuk memperjuangkan cintanya yang
akan pergi darinya. “Bisakah kau tidak pergi?” harapan Alina yang sangat besar
pada Kay.
Kay
menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuhnya, “apa katamu?” berharap
dirinya tidak salah mendenggar.
Alina berdiri
dan menatap Kay dengan air mata masih jatuh membasahin pipinya, “aku ingin kau
tidak pergi, aku ingin kau tidak pergi… huhu…huhuhu…” Alina berulang-ulang
mengucapkan kata-kata itu.
Kay mendekati
Alina dan langsung memeluknya, “aku tidak akan meninggalkanmu, tidak akan…”
menyakinkan Alina.
Kali ini Alina
menanggis bukan karena sedih melainkan karena kebahagian yang menyelimutin
dirinya, ‘maafkan aku, maafkan aku…”.
Kay memeluk erat
tubuh Alina dan tidak ingin melepaskannya. Rasa rindu yang bergelora hilang
saat Alina berada di pelukkannya saat ini.
Tanpa disadarin
mereka dari kejauhan Gilda memperhatikan mereka berdua. Tidak tahu sejak kapan
dia berdiri disana namun rasa kesedihan sangat jelas terpancar dari wajahnya.
Perasaan frustasi mulai menyelimutin
dirinya yang patah hati.
Gilda pun
memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. ketika membalikkan tubuhnya, Gilda melihat Adriel sudah berada di
hadapannya yang berdiri tak jauh darinya. “Adriel…” yang tidak menyangkah bisa
bertemu dengan Adriel di tempat ini.
“Aku kebetulan
lewat dan melihat kau disini,” kata Adriel membuka obrolan.
“Aku juga. Aku
kebetulan lewat dan melihat mereka disini,” kata Gilda sambil memadang kearah
Kay yang masih memeluk Alina.
Adriel
tersenyum, “mau aku antar pulang?” tawarnya.
“Ya”. Lalu
mereka pun pergi meninggalkan taman menggunakan mobil Adriel yang tak jauh
terpakir dari mereka.
Hanya beberapa
saat mereka sudah tiba di rumah Gilda. “Trimah kasih,” kata Gilda lalu keluar
dari mobil dan langsung masuk ke dalam rumah tanpa memperhatikan Adriel yang
masih memadangnya dari dalam mobil.
***
Bersambung
Tidak ada komentar :
Posting Komentar