11
Sarani
mendapatkan telpon dari Alina yang memberitahukan Pak Budi sudah sadarkan diri.
Sarani langsung bergegas berangkat ke rumah sakit. Namun saat keluar dari rumah
Sarani terkejut melihat litenir bersama anak buahnya sudah berdiri di depan
pintu rumahnya. “Kalian mau apa?! Tanya Sarani dengan kasarnya.
“Aku denggar
mantan pacarmu itu sudah sadar?” kata litenir.
Sarani
terkejut dari mana litenir itu tahu Pak Budi sudah sadar dari komanya, “kalian
tahu dari mana?” mulai menduga ada anak buah litenir itu mengawasin mereka,
“kau menyuruh anak buahmu mengawasin kami!!?”.
“Ya!!” Litenir
itu mulai merubah ekpresi wajahnya.
“Kau mau
apa?!!”.
“Aku hanya
ingin kalian tidak macam-macam!!”.
“Apa!!”.
“Jika kalian
berani melaporkan kasus ini pada polisi! Aku tidak bisa menjamin nyawa
kalian!!” acam lintenir itu.
Sarani nampak
shok dengan acaman lintenir itu. Dia tahu benar siapa litenir itu sebenarnya.
Dia tidak pernah main-main dengan acamannya.
“Ayo
pergi…!!”. Lalu mereka pergi.
***
“Bagaimana
keadaanmu?” tanya Alina pada Ayah setelah di periksa dokter.
“Trimah kasih
kau sudah menjagaku,” Pak Budi yang sangat bertimah kasih pada anak tirinya
itu.
Alina hanya
tersenyum.
Pak Budi dari
tadi tidak melihat Ceri, “apa Ceri tidak mau bertemu denganku?” dugaannya.
“Ceri tidak
tahu, “Alina melihat ekpresi wajah Pak Budi
dengan penuh kekecewaan, “kau ingin bertemu dengan Ceri??”.
“Ceri pastih
membenciku?”.
“Kau benar.
Ceri sangat membencimu”.
Pak Budi mulai
merasa bersalah lagi dengan kesalahannya selama ini.
“Tapi…
setidaknya mulai sekarang kau harus
berusaha untuk mendekatinnya,” Alina memberikan semangan.
Pak Budi
tersenyum lebar saat Alina memberikan semangat padanya, “trimah kasih untuk
semuanya”.
Alina hanya
tersenyum.
***
Gilda ke Hotel
Ratu ingin bertemu dengan Ayah. Dia sangat berharap Ayah ada diruangannya.
“Maaf… apa om Darmawan ada?” tanya Gilda pada sekretaris Ayah.
“Ada. Apa
sudah buah janji dengan komisaris??” tanya sekretaris Ayah.
“Katakan saja
Gilda mau menemuinnya”.
“Baik. Tunggu
sebentar…” sekretaris itu masuk ke ruangan Ayah untuk memberitahu
kedatangannya. Beberapa saat kemudian sekretaris itu keluar kembali, “silakan…”
mempersilakan Gilda masuk keruangan.
“Trimah
kasih,” Gilda masuk keruangan, “siang om…” sapa Gilda.
“Duduklah,”
Ayah mempersilakan Gilda duduk, “ada yang ingin kau bicarakan?”.
Gilda duduk,
“Iya”.
“Apa itu?”.
“Aku ingin
mengatakan sesuatu pada om”.
“Apa?”.
“Apa om tahu
Kay sedang dekat dengan seorang wanita?”.
“Ya”.
Gilda
terkejut, “om tahu,” yang berpikir Ayah sudah merestuin hubungan Kay dengan
wanita itu, “jadi om merestuin mereka?!”.
“Kenapa aku
harus tidak merestuin mereka? Apa ada yang salah dengan wanita itu?”.
Dari perkataan
Ayah, Gilda mengetahuin bahwa Ayah belum tahu apa-apa, “om tahu Alina bekerja
di supermarket??” ragu-ragu Gilda.
“Dia bekerja
di supermarket?” yang baru tahu, “apa dia pemilik supermarket itu??” dugaan
Ayah.
“Tidak om, dia
pelayan”.
“Apa!!” Ayah
sangat terkejut.
Setelah
memberitahu siapa Alina sebenarnya pada Ayah. Gilda tampak puas. Rencananya
berjalan dengan lancar. Gilda nyakin hubungan Kay dan Alina tidak akan bertahan
lama karena Ayah tidak akan merestuin hubungan mereka. Dengan puas Gilda
meninggalkan Hotel Ratu.
***
Tenyata Ayah
tidak percaya begitu saja dengan perkataan Gilda. Dia menyuruh anak buahnya
untuk mencari tahu apakah perkataan Gilda itu benar atau tidak. “Aku ingin tahu
apakah perkataan Gilda benar atau
tidak?!”.
“Baik Pak”.
“Aku ingin
secepatnya!!”.
“Baik”.
“Pergilah!”.
“Permisih…”
mereka meninggalkan ruangaa. Tanpa membuang waktu mereka langsung mengerjakan
tugas yang diberikan Ayah pada mereka.
***
Ibu Sari
mendapatkan kabar dari orang kepercayaannya bahwa Gilda memberitahu siapa Alina
sebenarnya pada Ayah. Ibu Sari nampak
cemas dan mulai menguatirkan hubungan antara putranya dan Alina. walaupun
sebenarnya Ibu Sari sudah tahu ini akan terjadi namun dia tidak menyangkah
semua ini terjadi saat Kay tidak ada dan secepat ini.
***
Sarani tiba di
rumah sakit. Dia langsung ke kamar tempat Pak Budi dirawat. Sekali-kali Sarani
melihat di sekitar apakah ada yang mengawasinnya dari jauh. Dia nampak tidak
bersemangan masuk ke dalam kamar, “kau sudah sadar?” tanyanya pada Pak Budi.
“Ya,” jawab
Pak Budi singkat.
“Bagaimana
keadaannya?” tanya Sarani pada Alina.
“Lihat
pemeriksaan besok. Jika hasilnya sama saja. Ayah boleh balik,” penjelasan
Alina.
“Baguslah,”
Sarani melihat jam sudah menuju pukul 18.30 WIB, “sebaiknya kau pulang. Biar
malam ini aku yang jagah”.
“Baiklah,”
yang tidak ada curiga sedikitpun, “aku pulang dulu…”.
“Kau
hati-hati”.
“Ya,” Alina meninggalkan rumah sakit dengan
berjalan kaki.
Setelah Alina
pergi barulah Pak Budi bertanya pada Sarani dengan sikafnya yang nampak aneh,
“kau kenapa? Apa kau ada masalah?” kuatir Pak Budi.
Sarani cukup
lama menjawab pertanyaan Pak Budi, “tadi siang mereka datang kerumah”.
“Apa!” Pak
Budi yang sangat terkejut dan mulai menguatirkan keadaan Alina, “apa mereka
menginginkan Alina lagi?!”.
“Tidak”.
“Jadi apa mau
mereka?!!”.
“Mereka
melarang kita melaporkan pemukulan ini pada polisi,” Sarani memberitahu tujuan
litemir itu datang tadi pagi ke rumahnya.
Pak Budi
nampak masih cemas dengan keadaan Alina, “mereka tidak akan menyakitin Alina
lagi khan…?”.
“Aku gak
tahu”.
Pak Budi
melihat kecemasan yang nampak jelas dari wajah Sarani, “maafkan aku sudah
melibatkanmu. Tak seharusnya kau terlibat…” yang mulai merasa bersalah pada
Sarani.
“Sudahlah…
sudah terlanjur. Yang pastih sekarang kau harus segera sembuh”.
“Ya”.
***
“Kau baru
pulang?” tanya Ibu pada Adriel yang baru pulang.
“Ya,” jawab
Adriel yang langsung masuk ke kamarnya.
Ibu nampak
kesal dengan sikaf dingin yang ditunjukkan Adriel padanya, “sampai kapan dia
seperti itu!!”.
Di dalam kamar
Adriel langsung menjatuhkan tubuhnya diatas kasur. Hari ini dia sangat lelah
bekerja seharian di kantor yang sangat menumpuk pekerjaan. Dia tidak ingin
berpikir macam-macam, dia hanya konsen dengan pekerjaannya di perusahaan.
***
Alina tidak
langsung pulang, dia langsung ke supermarket untuk bekerja seperti biasanya.
Melihat keadaan Alina yang sekali-kali menguap membuat Nisa kuatir, “kau kenapa
gak pulang saja sih…!!” kesal Nisa melihat Alina yang keras kepala.
“Aku gak enak
dengan Bob,” alasan Alina.
“Hahhh… kau
ini!!”.
Tanpak
disadarin mereka berdua Bob sudah mendenggarkan pembicaraan mereka berdua,
“Nisa benar. Kau harus pulang. Aku tidak ingin kau sakit”.
“Gak apa-apa.
Aku masih kuat”.
“Alina…”.
“Aku gak
apa-apa Bob…” Alina menyakinkan Bob bahwa dirinya masih kuat menahan rasa
gantuk yang sedang menyelimutinnya.
Melihat
kedekatan antara Alina dan Bob membuat Nisa cemburu. Dia mulai mengerjakan
apapun yang harus di kerjakan untuk tidak melihat mereka berdua lagi.
Karena tidak
banyak orang-orang bebelanja pada malam hari, kalaupun ada itu hanya beberapa orang
saja. Alina bisa sebentar-bentar mencuri waktu untuk tidur sejenak sebelum
pengujung supermarket membayar barang belanjaanya.
***
Waktupun
berlalu sangat cepat. Sinar matahari yang kemerah-merahan sudah mewarnain
langit. Alina masih tertidur di tempat kasir karena sejak tadi supermarket
sepih. Bob memperhatikan Alina dari pintu ruangannya. Tanpa disadarinnya Nisa
memperhatikannya cukup lama ketika memutuskan untuk mendekatin Bob, “kau masih
menyukainnya?” tanyanya yang terlihat ragu.
“Aku hanya
kasihan,” jawab Bob.
“Kasihan dan
suka itu gak jauh beda,” goda Nisa yang masih menutupin perasaannya.
Bob hanya
tersenyum.
Nisa mencoba
membahas pertanyaan baru, “kau tidak penasaran lagi dengan wanita yang dimaksud
Alina?”.
“Masih”.
“Kenapa kau
tidak mencoba untuk mencari tahu?”.
“Aku nyakin
dia mempunyain alasan untuk tidak mengatakannya”.
“Mungkin kau
benar,” Nisa asal bicara.
“Apa??”.
“Tidak. Aku
hanya asal bicara”.
Bob tersenyum
lagi.
***
“Apa Adriel
sudah bangun?” tanya Ibu pada Bibi pembantu yang sedang menyiapkan sarapan pagi
diatas meja makan.
“Sudah pergi
dari tadi nyonya,” jawab Bibi.
Ibu melihat
jam dilengganya yang masih menuju pukul 7.15 WIB, “ini masih pagi”.
“Kata Tuan
muda ada kerjaan yang harus diselesaikan di kantor nyonya”.
Ibu nyakin itu
bukan alasan Adriel pergi sepagi itu, “dia sudah berani menghindarinku!!?”
kesal Ibu melihat perubahan sikaf Adriel padanya.
***
Setelah Alina
bangun dari tidurnya. Alina dan Nisa pulang bersama. Diperjalanan Nisa mencoba
pembicarakan hubungan Alina dengan Kay, “bagaimana hubungan kalian? Apa Kay
selalu mendampinginmu?” tanyanya.
“Kay ada di
Amerika,” jawab Alina yang terlihat sedih namun berusaha untuk tidak
ditunjukkan pada sahabatnya itu.
“Amerika? Kok
bisa?! Apa dia gak tahu soal Ayah tirimu?”.
“Tidak”.
“Kau tidak
memberitahunya?”.
“Komunikasi
kami terputus”.
“Apa”.
“Aku gak niat
memberitahukan keadaan Ayah. Tapi aku sangat membutuhkannya saat ini,” Alina
yang tidak bisa menahan kerinduannya lagi.
“Alina…” Nisa
mencoba membujuk, “apa kau sudah bertanya pada Ibu kandung Kay? Bukannya kalian
tinggal serumah”.
Alina diam.
Nisa tahu
benar siapa Alina, dia tidak akan memintah bantuan siapapun atau bertanya
dengan siapapun walaupun sebenarnya dia sangat membutuhkan itu semua. Harga
dirinya terlalu tinggi itu membuatnya merana dalam kerinduan. Nisa hanya bisa
membujuk Alina agar tidak terlihat sedih lagi, “sabar yach…”.
***
Ibu Sari
mengajak Gilda ketemuan di cave yang tak jauh dari komplek perumahan tempat
tinggal Gilda. Gilda langsung datang keika Ibu Sari memintah untuk menemuinnya,
“maaf… membuat tante menunggu,” katanya.
“Duduklah,”
perintah Ibu Sari yang sedang menikmatin secangkir teh hijau yang sebelumnya sudah dipesannya.
Gilda duduk
namun masih heran dengan sikaf dingin yang ditunjukkan Ibu Sari padanya.
“Kau mau
minum?” tanya Ibu Sari.
“Tidak, trimah
kasih. Kenapa tante ingin bertemu denganku?” tanya Gilda penasaran.
“Kau tenyata
sangat pintar”.
“Maksud
tante?”.
“Kenapa kau
menemuin Ayah Kay?” Ibu Sari yang mulai serius.
“Aku…”.
Ibu Sari
langsung memotong perkataan Gilda, “apa untungnya kau memberitahu itu
semua!?!!” dengan memperkeras volume suaranya.
Gilda mengerti
maksud perkataan Ibu Sari.
“Bukannya Kay
sudah mengatakan dia tidak mencintanmu lagi!!” Ibu Sari nampak marah apa yang
dilakukan Gilda.
“Tan…” Gilda
yang hampir menanggis.
“Aku ingin kau
jauhin putraku!!”.
“Maafkan aku,
aku tidak bisa”.
“Apa
katamu!!!”.
“Aku akan
memperjuangkan cintaku pada Kay, apapun caranya!” tekat Gilda.
“Gilda!!!”.
“Maafkan aku
tan,” Gilda yang masih keras mempertahankan cintanya pada Kay dan menyakinin cinta Kay pada Alina
hanya pelampiasan belakang.
***
“Tok…tok…tok…!!”
terdenggar suara ketukkan dari luar pintu. Nisa yang merasa tenganggu
istirahatnya langsung membukakan pintu, “siapa sih…” kata-katanya terputus saat
Bob sudah berdiri di depan pintu kosannya, “Bob…”.
“Ganggu
yach…”.
Nisa hanya
tersenyum.
Lalu mereka
keruangan tamu. Nisa mencoba membuka pembicaraan, “kenapa kau kemari? Apa ada
yang ingin kau bicarakan?” tanyanya.
“Tidak. Aku
hanya kebetulan lewat”.
“Kau dari
mana?”.
“Aku baru dari
rumah Berry,” menyebutkan teman lamanya yang tinggal di daerah tempat Nisa
tinggal, “kau tahu Berry kan?”.
“Ya”.
“Minggu nanti
dia akan nikah”.
“Aku tahu”.
“Apa kau akan
datang?”.
“Mungkin”.
“Mau pergi
bareng?” ragu-ragu Bob mengajak Nisa.
“Apa,” Nisa
cukup terkejut melihat Bob yang pertama kalinya mengajaknya pergi walaupun itu
hanya ke pestah pernikahan, “kau mengajakku?” yang masih tidak percaya.
“Ya iyalah.
Kau kan temanku. Itulah aku mengajakmu”.
Nisa yang
mengira Bob mulai suka dengannya tenyata sampai saat ini dia masih
menganggapnya hanya sebagai teman, “tidak!” yang mulai kesal.
“Ohhh… kau
pastih sudah ada janji dengan pria lain?”.
“Bukan itu?”.
“Lalu?? Ohhh…
kau takut dilihat pacarmu?”.
“Aku belum
punya pacar!! Apa pernah kau melihat aku dengan pria lain!!!” marah Nisa.
Bob mulai
merasa tidak nyaman, “maafkan aku”.
“Aku yang
seharusnya minta maaf. Maafkan aku,” sambil berdiri, “aku mau istirahat.
Permisih…” lalu kembali dikamarnya. Nisa marah pada dirinya sendiri kenapa dia
bisa begitu kasar pada pria yang dicintainnya itu dan kenapa dia harus
menolaknya padahal dihatinya yang paling dalam itulah yang sangat
diharapkannya.
***
Alina sedang
membersihkan rumah, dia kepikiran dengan kata-kata Pak Budi padanya, “apa Ceri tidak mau bertemu denganku?”
dugaannya.
“Ceri tidak tahu, “Alina melihat ekpresi wajah Pak Budi dengan penuh kekecewaan, “kau ingin bertemu
dengan Ceri??”.
“Ceri pastih membenciku?”.
“Kau benar. Ceri sangat membencimu”.
Pak Budi mulai merasa bersalah lagi dengan kesalahannya selama ini.
Kata-kata Pak
Budi dan ekpresi wajahnya membuat Alina kasihan.
Di waktu yang
sama Ceri pulang, “aku pulang…”.
“Kau sudah
pulang,” sambut Alina.
“Ya Kak”.
“Habis makan
kau ikut aku yach…” ajak Alina yang berniat mempertemukan Ceri dengan Ayah
kandungnya.
“Mau kemana?”.
Sejenak Alina
diam, “bertemu Ayah”.
“Ceri gak
mau!” Ceri yang langsung menolak.
“Ceri!!”
bentak Alina.
Ceri
menanggis, “Ceri gak mau…huhuhu…huhuhu….huhu…” yang terus menanggis.
“Ayah sekarang
dirawat di rumah sakit. Baru tadi pagi Ayah sadar dari komanya. Yang pertama
kali yang Ayah ingin lihat adalah kau,” mencoba membujuk Ceri untuk merubah
keputusannya.
Hati Ceri
mulai luluh, “Ayah sakit apa?”.
“Ayah dipukul
orang-orang yang ingin berbuat jahat dengan kita. Ayah sayang dengan kita
terutama kau. Kau anak kandung Ayah, “diam sejenak, “coba aku tanya. Apa Ayah
pernah memukulmu?” tanya Alina berharap jawabannya tidak.
Ceri
mengeleng.
“Apa pernah
berkata kasar denganmu?”.
Ceri tetap
mengeleng.
Alina puas
dengan jawaban yang diberikan Ceri, “itu tandanya Ayah sangat menyanyangin
Ceri”.
“Tapi Ayah
sering buat Kakak menanggis”.
“Itu dulu,
sekarang Ayah ingin berubah. Dan kita harus mendukungnya. Ceri mau kan bertemu
dengan Ayah??”.
Ceri
mengangguk.
“Sekarang
ganti baju, makan dan baru kita pergi”.
“Ya Kak…” Ceri
masuk ke kamar untuk mengganti pakaiannya.
Alina baru
menyadarin kehadiran Ibu Sari yang memperhatikan pembicaraan antara dirinya
dengan Ceri. Ibu Sari hanya diam seakan memikirkan sesuatu. “Tante sudah pulang,”
sapa Alina.
“Ya,” sambil
duduk di sofa, “Ayahmu sudah sadar?” tanya Ibu Sari.
“Ya, tadi
pagi”.
Alina melihat
Ibu Sari nampak murung, “tante ada masalah?”.
Ibu Sari tidak
ingin Alina tahu apa yang terjadi, “tidak”.
“Syukurlah.
Aku akan siapkan makan siang,” sambil berjalan menuju dapur.
“Alina!”
panggil Ibu Sari.
Alina berhenti
berjalan lalu menolek, “ya”.
“Hanya satu
yang aku takutin selama ini”.
Alina diam.
“Aku tidak
ingin melihat putraku terluka lagi”.
“Tante…”.
“Aku sayang
dengan Kay… aku akan memperjuangkan
apapun caranya untuk membuat anakku bahagia,” tekat Ibu sari.
Alina nampak
bingung dengan kata-kata yang diucapkan Ibu Sari padanya.
***
Ibu menemuin
Ayah di Hotel Ratu. Ayah nampak masih kesal pada Ibu yang dilakukannya pada
perusahaan. Mereka terlihat tidak nyaman satu sama lain. “Mau apa kau
kemarin?!!” tanya Ayah yang masih bersikaf dingin pada Ibu.
“Aku ingin
Ayah pulang,” kata Ibu memberitahu niatnya, “aku tidak ingin orang-orang
berpikir macam-macam tentang pernikahan kita”.
“Kau hanya memikirkan
pikiran orang!! Apa kau pernah memikirkan perasaan orang yang kau sakitin!!?”
marag Ayah.
“Ayah!!”.
“Aku akan urus
perceraian kita!!” keputusan Ayah.
“Ayah”.
Tanpa
disadarin mereka berdua, Adriel sudah berada diruangan mendenggarkan
pembicaraan mereka dan itu baru Ayah sadarin kehadirannya. “Adriel…” yang
merasa bersalah dengan keputusannya.
Adriel
berusaha untuk tersenyum, “maaf… dari tadi aku mengetuk pintu tapi tidak ada
yang menjawab. Aku akan menunggu Ayah di lestoran Hotel. Permisih…” Adriel
meninggalkan ruangan.
“Lihat… Adriel
pastih kecewa dengan keputusan Ayah!” Ibu yang mencoba membuat Ayah merubah
keputusannya.
“Kau tidak
akan bisa merubah keputusanku!!!”.
“Ayah…”.
Ayah menemuin
Adriel di lestoran Hotel Ratu. “Kau pastih kecewa dengan keputusan Ayah?” Ayah
membuka obrolan.
“Aku tidak
akan menyalahkan Ayah,” Adriel yang tidak ingin memaksa kehendaknya, “kalau pun
aku memintah Ayah untuk tidak menceraikan Ibu, Ayah akan tetap menceraikan Ibu.
Iyakan Yah??”.
Ayah diam.
“Setelah Ayah
bercerai dengan Ibu, apa aku masih diperbolehkan untuk memanggil kau dengan
sebutan Ayah?” harap Adriel.
“Ya,” Ayah
menyambut dengan bahagia, “kau boleh tetap memanggilku dengan sebutan Ayah”.
Adriel sangat
bahagia mendenggarnya, “trimah kasih Yah… trimah kasih…”.
***
Alina dan Ceri
tiba di rumah sakit. Mereka berdua langsung ke kamar tempat Pak Budi dirawat.
Ceri nampak ketakutan melihat Pak Budi menatapnya. Dia langsung bersembunyi di
belakang Alina. “Apa yang kau takutin?” bujuk Alina.
“Tidak usah
dipaksakan. Wajar jika dia membenciku,” Pak Budi yang sudah sangat pasrah.
“Ceri…” Alina
menatap Ceri dengan harapan penuh padanya.
Dengan
perlahan-lahan Ceri melangkahkan kakinya menuju Pak Budi walaupun sekali-sekali
menolek kebelakang kearah Alina yang masih tersenyum padanya. Ketika berada di
dekat Pak Budi, Ceri melihat bekas-bekas memar di wajah, dan tangan Pak Budi,
“Ayah tidak apa-apa?” Ceri mencoba berbicara dengan Ayah kandungnya.
Pertanyaan
Ceri membuat Pak Budi terharum dan tak bisa menahan air mata kebahagian yang
keluar dari matanya, “anakku…” sambil memeluk Ceri, “maafkan Ayah… maafkan
Ayah…” Pak Budi berulang-ulang mengucapkan kata maaf pada Ceri.
Ceri menganggu
walaupun sebenarnya dia masih belum mengerti kenapa Pak Budi menanggis.
“Kita bicara
diluar,” kata Sarani mengajak Alina keluar dari kamar.
“Ya,” Alina
mengikutin Sarani.
Mereka berdua
mengobrol di taman yang berada di rumah sakit. “Besok dia sudah boleh pulang,”
kata Sarani memberitahukan kabar terbaru tentang Pak Budi pada Alina. Sarani
melihat Alina nampak bingung, “apa kau masih tidak ingin tinggal dengannya?”
dugaanya.
“Bukan itu,”
bantah Alina, “aku belum mencari kotrakan untuk tempat tinggal kami”.
“Sementara
wantu kalian boleh tinggal di rumahku. Sepertinya enak juga kalau tinggal
rameh-rameh”.
“Tapi…”.
“Sudahlah…
jangan banyak mikir. Selama ini Ayahmu sudah banyak merepotkanku. Aku sudah
terbiasa direpotkan,” kata Sarani menyambut Alina dengan tangan terbuka.
“Trimah
kasih”.
“Ya”.
“Ohhh iya… apa
kau bisa antar Ceri pulang?” tanya Alina, “aku mau langsung kerja nanti”.
“Ya”.
“Trimah kasih
yach…” yang mulai menyukain Sarani.
***
Adriel pulang
dan melihat kesedihan di wajah Ibu kandungnya. Tidak bisa dibohongin rasa
kekuatirannya pada Ibunya itu walaupun sejahat manapun Ibunya itu. “Ibu tidak
apa-apa?” tanya Adriel.
Ibu menolek,
“apa yang kalian bicarakan?” Ibu yang ingin tahu apa yang dibicarakan antara
Adriel dan Ayah.
“Ayah memintah
maaf”.
Ibu nampak
bingung, “untuk apa?”.
“Tidak bisa
mempertahankan pernikahan kalian”.
Walaupun Ibu
sudah tahu tapi masih saja Ibu terlihat terkejut, “apa yang kau atakana?!”
berharap Adriel dipihaknya.
“Aku atakana.
Aku iklas Ayah menceraikan Ibu”.
“Adriel!!”
marah Ibu.
Adriel tidak
menghiraukan kemarahan Ibu padanya, “sebaiknya kali ini Ibu ikutin apa yang aku
atakana. Aku akan cari rumah dan kita akan segera pindah dari rumah ini”.
“Aku tidak
mau!” keras Ibu, “ini rumahku!!”.
“Ini rumah Kay
Bu!! Sebelum Ibu menikah dengan Ayah, rumah ini sudah diwariskan dengan Kay.
Jangankan Ibu, Ayah pun tidak ada hak dengan rumah ini!”.
“Adriel…!!”.
“Ibu!!!”
dengan nada suara tinggi, “aku mohon… sekali ini saja Ibu ikutin apa yang aku
inginkan. Aku mohon…”.
Ibu tidak
memberi jawaban.
“Sebaiknya Ibu
pikirkan dengan kepala dingin,” Adriel masuk ke kamarnya.
***
Sarani
mengantar Ceri pulang ke apartemen. “Tante sudah lama mengenal Ayah?” tanya
Ceri lugu.
“Ya,” jawab
singkat Sarani.
“Dari kapan?”.
“Sebelum Ibumu
menikah dengan Ayahmu”.
“Apa
tante menyukain Ayah?”.
Sarani
terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan Ceri padanya, “kenapa kau bertanya
seperti itu?”.
“Karena
tatapan tante dengan Ayah sama dengan tatapan Kak Alina dengan Kak Kay”.
“Kak Kay??
Siapa tuh?” tanya Sarani yang mulai mengalihkan pembicaraan.
“Dia pria yang
menyukain Kak Alina”.
“Dari mana kau
tahu dia menyukain kakakmu?”.
“Kak Kay
sendiri yang mengatakannya”.
“Apa dia
tinggal diapartemen yang sama tempat kalian tinggal?” penasaran Sarani.
Ceri
menganggu.
“Jadi mereka
sudah…” yang mulai berpikir macam-macam.
“Tante bicara
apa sih…?” bingung Ceri.
“Anak kecil
gak boleh tahu!”.
Ceri cemberut.
Akhirnya
mereka sampai juga. Sarani langsung mengentuk pintu, “tok…tok…tok…!!” tak lama
kemudian pintu terbuka. “Selamat malam…” Sarani menyapa Ibu Sari, “aku mau
mengantar Ceri pulang”.
“Alina langsung
kerga?” tanya Ibu Sari balik melihat bukan Alina yang mengantar Ceri pulang.
“Ya”.
“Kau siapa?”
tanya Ibu Sari lagi.
“Dia pacar
Ayahku,” sambung Ceri.
“Ceri…” malu
Sarani, “jangan denggarkan omongan anak kecil”.
Ibu Sari hanya
tersenyum.
“Aku pulang dulu,”
Sarani pergi meninggalkan apartemen dengan wajah memerah karena malu.
Ibu Sari
menutup pintu, “sepertinya dia wanita yang baik”.
“Benarkah?”.
“Apa kau tidak
menyukainnya?”.
“Aku lebih
menyukain tante”.
Ibu Sari
memeluk Ceri, “dasar anak nakal”.
***
Bob mendekatin
Alina yang sedang menghitung barang belanjaan pengujung supermarket, “perluh
bantuan?” tanyanya.
“Tidak,” jawab
Alina yang masih sibuk dengan pekerjaannya. “Trimah kasih…” kata Alina pada
pengujung.
“O iya, apa
kau tahu Nisa sedang dekat dengan seseorang?”.
“Tidak.
Kenapa?”.
“Tadi siang
aku mengajaknya pergi ke pernikahan temanku. Tapi dia tiba-tiba marah padaku…? Itu
terlihat aneh,” Bob yang masih bingung dengan sikaf Nisa pada tadi siang.
“Selama ini
kau menganggap Nisa sebagai apa?” tanya Alina.
“Teman”.
“Hanya
teman?”.
“Maksudmu aku
harus menganggap Nisa sebagai apa?”.
“Kau ini butah
atau tidak punya perasaan??!” Alina yang mulai kesal melihat sikaf Bob yang
cuek.
“Maksudmu
apa?”.
“Apa kau tidak
tahu Nisa sudah lama menyukainmu!”.
“Apa,” Bob
nampak terkejut, “wanita yang kau maksud itu apakah Nisa?” yang mulai bertanya
tentang perkataan Alina tempo lalu.
“Ya”.
Bob baru
sadar, kenapa dirinya sampai butah tidak menyadari ada wanita yang sangat
mencintainnya selama ini. Benar apa yang dikatakan Alina, dirinya sangat cuek
sampai-sampai dirinya tidak menyadarinnya.
***
“Kenapa kau
menolak ajakan Bob??” tanya Alina yang pulang bersama dengan Nisa.
Nisa diam.
“Apa kau sudah
menyerah?”.
“Aku ingin melupakannya”.
Alina
tersenyum sinis, “kenapa baru sekarang kau menyerah!!? Kenapa tidak
kemarin-kemarin!!” kesal Alina melihat Nisa sudah menyerah.
“Jadi
menurutmu aku harus melakukan apa!!? Aku gak mungkin memaksa orang untuk
mencintainku!! Itu tidak mungkin!!” Nisa mempekeras volume suaranya.
“Kau benar!!”
lalu berjalan duluan meninggalkan Nisa yang berjalan di belakangnya.
***
4 pria
berbadan besar menemuin Ayah di kamar hotel tempat selama ini Ayah
beristirahat. “Info apa yang kalian dapat?” tanya Ayah yang langsung bertanya.
“Apa yang
dikatakan nona Gilda itu benar tuan. Alina bekerja sebagai pelayan di
supermarket yang bukak 24 jam,” penjelasan salah satu dari mereka.
“Apa lagi??”.
Mereka memberitahukan apa yang di dapat mereka selama penyelidikan ini tentang kehidupan Alina dan keluarganya. Ayah tampak kecewa dengan
Kay pada wanita pilihannya jauh dari harapannya selama ini. Setelah mendenggar
penjelasan dari anak buahnya, Ayah memerintahkan untuk mempertemukan mereka
berdua, “atur pertemuanku dengannya”.
“Baik tuan,”
mereka pergi meninggalkan kamar.
Ayah masih
memikirkan perkataan-perkataan anak
buahnya.
***
“Kau kenapa
belum pergi?” tanya Ibu Sari pada Ceri yang menyadarkan diri di depan pintu.
“Mereka belum
datang,” rengek Ceri.
Ibu Sari tahu
siapa yang dimaksud Ceri, tiga pria yang selalu menemaninnya pergi dan pulang
sekolah, “aku coba telpon mereka,” lalu mencoba menelpon salah satu dari
mereka. Setelah cukup lama berbicara dengan mereka melaluin telpon. Ibu Sari
mengetahuin dari mereka bahwa mereka di perintahkan oleh Ayah untuk tidak datang
lagi ke apartemen Kay namun mereka tidak diberitahu alasannya. Itu semua
membuat Ibu Sari bingung. Lalu menutup telponnya.
“Kemana
mereka?” tanya Ceri pada Ibu Sari setelah selesai menelpon.
“Mereka tidak
akan datang”.
“Kenapa??”
yang masih bertanya.
Ibu Sari tidak
berniat memberitahu Ceri, “kau bisa
pergi sendiri kan??” mengalihkan pembicaraan.
Ceri
menganggu.
“Sekarang
pergilah”.
“Iya…” dengan
lesuh Ceri pergi meninggalkan apartemen.
Di benak Ibu
Sari penuh banyak pertanyaan yang salah satunya kenapa Ayah melakukan itu
semua??? Apa Ayah sudah mengetahuinnya?? Atau apa??.
***
Di
persimpangan jalan mereka berdua berpisah. Alina langsung ke rumah sakit
sedangkan Nisa pulang kekosannya. Setiba di depan kosan, Nisa dikejutkan oleh
Bob yang sudah menunggunya di depan kosannya, “kau sedang apa disini?” heran
Nisa.
“Maafkan aku
Yach…” Bob yang langsung memintah maaf karena selama ini dia buta.
“Kenapa kau
harus memintah maaf?? Apa kau melakukan kesalahan??”.
“Aku baru tahu
wanita itu adalah kau”.
Mata Nisa
berkaca-kaca, “apa Alina yang memberitahu?”.
Bob diam.
Melihat Bob
diam Nisa sudah mendapatkan jawabannya.
“Apa aku masih
punya kesempatan??” tanya Bob.
“Tapi kau
tidak menyukaiku”.
“Aku akan
mencoba,” menyakinkan Nisa, “aku mohon… kasih aku waktu untuk belajar untuk
mencintainmu”.
“Sampai kapan?
Aku sudah lama menunggu”.
Bob diam.
“Aku mau
istirahat. Permisih…” Nisa langsung masuk ke dalam kamar kosannya. Di dalam
kosan Nisa sepuas-puasnya menanggis melepaskan kesedihannya. Dia tidak berniat
untuk menyakitin pria yang cintainnya tapi dia sudah lelah untuk menunggu lagi
itu yang membuatnya menanggis saat ini.
***
Alina melihat
Sarani sedang menbantu Ayah tirinya sedang memasukkan pakaian ke dalam tas. Dia
teringat dengan kata-kata Sarani waktu itu padanya, “Karena Ibumu lebih baik dibandingkan denganku”. Spontan Alina
mengucapkan kata-kata yang membuat Pak Budi dan Sarani terkejut, “kenapa kalian
tidak menikah saja?”.
“Kau bicara
apa!” kata Pak Budi.
Sarani nampak
terlihat salah tingkah , itu terlihat lucu di mata Alina. Alina keluar dari
kamar dan duduk di bangku tunggu. Diambilnya buku tabungan saku jaketnya.
Tampak jelas kesedihan dari wajah Alina dan Sarani melihat itu semua dari pintu
kamar. Ketika Sarani mau mendekatin Alina, langkahnya terhenti saat Aina
mendapatkan telpon dari seseorang. “halo… ini siapa…?” yang menghubungin Alina
menggunakan nomor baru, “ya…” lalu mendenggar apa yang di katakana si penelpon,
“baiklah… aku akan datang,” lalu menutup telponnya.
Sarani melihat
Alina nampak tegang, “kau gak apa-apa?” tanyanya.
Alina menolek
lalu berusaha untuk tersenyum.
Setelah Alina
pergi, Sarani kembali masuk ke dalam kamar. “Ayo kita pulang,” sambil membantu
Pak Budi berdiri.
Pak Budi
bingung kenapa Alina tidak nampak, “mana Alina?”.
“Dia buru-buru
pergi. Nanti dia ke rumha,” alasan Sarani yang tidak ingin melihat Pak Budi
salah paham.
“Ohhh gitu,”
nampak kekecewaan dari ekpresi wajah Pak Budi. Dengan bantuan Sarani, Pak Budi
melangkah perlahan-lahan meninggalkan rumah sakit.
***
Alina tiba di
lestoran bintang lima tempat dirinya
akan bertemu dengan orang yang menelponnya tadi. Di lobi lestoran
seorang pria berpakaian stelan jas hitam mendekatinnya, “apa kau Alina?” tanya
pria itu.
Alina
mengangguk.
“Komisaris
sudah menunggu”. Lalu mengantar Alina menemuin komisaris. Komisaris yang
dimaksud pria itu adalah Pak darmawan
Ayah dari Kay. Pria itu mengantar Alina
ke sebuah ruangan, “nona Alina sudah datang komisaris,” kata pria itu pada
Ayah.
Ayah memadang
wanita yang berdiri di belakang anak buahnya, “duduklah,” yang masih
memperlebut nada suaranya.
“Ya,” lalu
duduk.
Ayah membuka
bahan pembicaraan, “ini pertama kali kita bertemu”.
“Ya”.
“Sudah berapa
lama kau mengenal Kay?” tanya Ayah yang mulai serius.
“Baru beberapa
minggu”.
Ayah
memperhatikan Alina apa yang membuat putranya sampai tergila-gila pada wanita
yang duduk dihadapannya itu, “apa yang membuat putraku sampai tergila-gila
padamu??!”.
“Aku gak
tahu,” berusaha untuk tenang.
“Apa kau
mengetahuin Kay akan mewarisin perusahaan-perusahaanku dan Hotel Ratu?”.
“A…apa maksud
anda?” bingung Alina yang tidak tahu apa-apa.
Ayah meihat
kebingungat dari wajah Alina, “jangan bilang kau tidak tahu apa-apa?”.
Alina masih
nampak bingung.
“Apa yang kau
ketahuin tentang Kay?”.
“Yang aku tahu
Kay seorang pengacara”.
Ayah masih
tidak percaya hanya itu yang Alina tahu tentang Kay, “dia putraku dan akan
menggantikanku di perusahaan!” tegas Ayah, “Aku ingin kau menjauhin putraku!!”.
Alina sangat
terkejut. Tanpa disadarinnya air mata membasahin pipinya. Tubuhnya gemetar dan
tak bisa berkata apa-apa.
“Aku tidak
penduli kau mencintain putraku atau tidak. Aku hanya tidak ingin putraku hancur
karena kau!!”. Suasana terhening sejenak, Ayah membuka pembicaraan baru, “kenapa
kau berhenti kuliah? Apa karena tidak ada biaya?!”.
“I…ya…” jawab
Alina gemetar.
Ayah
memerintahkan sesuatu pada anak buahnya. Lalu anak buahnya meletakkan koper
kecil di atas meja lalu membukannya. Di dalam koper penuh dengan uang seratus
ribuan.
Alina langsung
mengetahuin apa yang direncanakan Ayah padanya, air matanya semakin deras
terasa harga dirinya sekarang sedang diijak-ijak.
“Kau bisa
gunakan uang ini untuk kuliahmu. Kalau kurang akan aku tambahkan!!”.
Mata Alina
masih tertujuh pada uang di dalam koper lalu terenyum lebar, “sebelum Ayahku
meninggal pun aku belum pernah melihat uang sebanyak ini,” lalu menarik nafas
panjang dan berusaha menatap Ayah, “trimah kasih,” yang masih tersenyum, “tapi
aku tidak memerlukannya,” lalu berdiri, “aku akan menjauhin Kay… aku jauhin…aku
akan menjauhin Kay…” yang masih menanggis, “pe…mi…sih…” lalu keluar ruangan itu
dan langsung pergi dari lestoran. Air mata terus membasahin pipinya, tubuhnya
gemetar dan sekali-kali hampir jatuh berusaha untuk berdiri.
Setiba di
apartemen. Alina disambut oleh Ceri, “kakak sudah pulang”.
“Kita harus
pergi,” Alina masuk kamar untuk mengambil barang-barangnya.
Ceri
mengikutin Alina masuk ke kamar, “kemana Kak??”.
“Ya pergi!!” bentak
Alina pada Ceri banyak bertanya. “Maafkan aku…” melihat Ceri yang hampir
menanggis, “maafkan aku…” lalu memeluk Ceri sambil menanggis.
***
Ibu Sari
mendapatkan kabar dari orang kepercayaannya bahwa mantan suaminya bertemu dengan Alina. Ibu
sari bergegas menemuin Ayah. Tanpa mengentuk pintu, Ibu sari langsung masuk ke
dalam ruangan kerja Ayah. Ayah tampak terkejut melihat Ibu Sari yang tiba-tiba
masuk keruangannya, “apa sekarang kau tidak ada tata krama lagi!!!?” marah
Ayah.
“Apa yang
kalian bicarakan?!! Dan kenapa kau ingin bertemu dengannya?!!”.
“Kau ingin dia
menjauhin putraku!!” tegas Ayah.
“Apa!!!”.
***
Dan inilah Kay
yang keluar dari bandara Sukarno_Hatta dengan memakai kaca mata hitam dan jaket
ungu. Di benaknya dia ingin sekali segera pulang untuk menemuin Alina. Dia
segaja pulang ke Jakarta untuk bertemu dengan Alina. Kay mendapatkan telpon
dari Heru yang masih di Amerika. “Apakah aku tidak bisa pulang juga,” kata Heru
yang nampak dari suaranya dia sudah bosan di Amerika.
“Selesaikan
tugasmu baru kau boleh pulang!” tegas Kay.
“Apa!!! Hahhh…
kau ini…!!”.
“Nanti aku
telpon lagi,” lalu menutup telponnya. Setelah itu Kay masuk ke dalam taxi. Beberapa
saat kemudian taxi membawa Kay pergi meninggalkan bandara Sukarno_Hatta.
***
Bersambung
Tidak ada komentar :
Posting Komentar